Ketika zaman serba apa-apa saja dinominalkan, apa-apa saja dipertandingkan, imbas ditimpa gangguan jiwa menjadi sebuah konsekuensi logis. Populasi berisi orang-orang yang berhasil mengejar nominal, berhasil memenangkan pertandingan. Tetapi populasi lebih banyak terisi oleh orang-orang yang gagal dan kalah.
Gangguan jiwa menjadi wajar apabila menimpa orang-orang yang memilih hidup searus dengan zaman yang semelelahkan itu. Sedangkan mereka yang berjalan kaki tanpa busana di pinggir jalan di pasar-pasar, yang tampil tidak waras itu, penelitiannya harus lebih panjang. Sebab, bagaimana orang yang tidak ikut mainstream kok bisa tertimpa ketidakwarasan?
Seorang ahli bedah saraf mengungkap fakta bahwa rasio kematian akibat bunuh diri itu lebih tinggi ketimbang akibat serangan penyakit maupun korban perang. Bunuh diri sebab paling banyaknya adalah gangguan jiwa, dalam bentuk dan ekspresi yang beraneka rupa yang dalam bahasa lain disebut sebagai: depresi.
Orang mengalami depresi pola paling umumnya adalah sebab ia gagal merespons perubahan. Ia dikungkung pertanyaan: Apa ini sebetulnya yang sedang terjadi? Perubahan bisa mencakup perubahan diri, perubahan pada social cyrcle terdekatnya, perubahan pada masyarakat yang lebih luas atau perubahan pada populasi manusia keseluruhan.
Gagal respons itu mengakibatkan kekacauan kimiawi di otak, sehingga produksi hormon yang dibutuhkan dan yang mestinya dihindari menjadi tidak berimbang proporsional. Ya, otak di dalam tubuh kita itu terkoneksi dengan keadaan di luar diri. Jembatan penghubungnya bernama interpretasi.
Maka pertolongan pertama pada populasi yang gagal menangani anomali reaksi pada otaknya masing-masing—orang sekarang sangat sedikit memperhatikan otak, habis waktu tersita untuk memperhatikan perut dan kantong celana, pertolongan pertamanya adalah berhenti sejenak, mem-pause segala interpretasi atas apa yang terjadi di luar, supaya bisa mendengarkan suara di dalam diri yang lebih ‘sejati’.
Sepanjang 29 hari mengurus perut dan dompet di kantong celana, mengambil satu hari jeda demi untuk memerhatikan otak supaya yang ada di dalamnya menjadi meneb. Mungkin ini kiat bisa mengurangi resiko depresi.
Jadi mereka yang berjalan kaki tanpa busana di pinggir jalan di pasar-pasar, yang tidak satu hari pun dalam setiap 30 hari yang mereka miliki, yang mereka tidak pernah merasa perlu untuk memikirkan perut dan dompet di kantong celana, bagaimana mungkin orang seperti mereka itu mengalami gangguan jiwa. Jangan-jangan mereka hanya pura-pura tidak waras saja. (Rizky D. Rahmawan)