Suatu hari Panglima TNI hendak berkunjung ke daerah. Ketika seorang pucuk pimpinan hendak berkunjung, maka sudah menjadi adat semua level pimpinan di daerah yang bersangkutan untuk gupuh menyambut.
Pak Pangdam, Pak Danrem, Pak Dandim, Pak Danramil semua mengambil peran tugas penyambutan masing-masing. Alkisah diketahui bahwa kesukaan Panglima salah satunya adalah makanan khas daerah tersebut, yakni pecel. Lebih spesifik dijelaskan bahwa pecel yang disukai Panglima adalah pecel yang ada kembang turinya.
Pembuat pecel banyak. Tetapi bunga turi di cuaca seperti hari ini susah didapat. Aduh, bagaimana ini? Petugas penyambutan pun kebingungan. Tetapi kata aduh tidak keluar dari salah seorang Babinsa yang mendengar permasalahan ini.
Bukan masalah, tetapi peluang ini. Akhirnya Sang Babinsa itu blangsakan ke kebun-kebun, mencari kembang turi. Singkat cerita, didapatkanlah apa yang ia cari.
Sang Babinsa pun merasa senang, meskipun saat menyambut kedatangan Panglima ia tak bisa mengawal dekat sebagaimana Pak Pangdam, tetapi ia telah melakukan tugas yang berguna. Membuat pecel menjadi sempurna seperti klangenan Panglima.
Mencetak sejarah tidak harus membuat peristiwa besar dan heroik. Bayangkan betapa maremnya Sang Babinsa setelah dirinya berguna atas perjuangan mencari kembang turi itu.
Peristiwa yang pasti akan dikenang seumur hidup, untuk cerita anak cucu. Rasa marem yang tercipta me-reaksi pada hormon-hormon. Hormon-hormon mempengaruhi DNA.
DNA kemudian mewaris menjadi ingatan jangka panjang yang entah berapa generasi lagi kelak menjadi energi positif yang berpotensi menjadi energi problem solving di generasi cicit, canggah, wareng dalam formula yang berbeda dan dalam skala yang mungkin lebih besar. (Rizky D. Rahmawan)