Catatan Juguran Syafaat edisi ke-76, Juli 2019
Pelipur Bagi Orang yang Terpental dari Arena Sosial
Di zaman serba mudah ini, kita dapat mengambil bahan belajar bisa dari berbagai macam sumber. Kecanggihan teknologi informasi malah makin memanjakan aktivitas perburuan ilmu. Cukup duduk santai sembari minum kopi di rumah, maka layar ponsel kita siap menyajikan pengetahuan hampir apa saja yang kita inginkan. Tak ayal lagi, di dalam ponsel saya, kini tersimpan ratusan file, link tautan, dan video yang mengupas berbagai tema kehidupan semesta dan diskursus pengetahuan.
Menengok sedikit ke belakang. Lebih dari satu dekade, saya berjibaku dengan dunia dalam rangka mengisi pundi-pundi rekening bank demi keamanan finansial hari ini dan esok. Kala waktu senggang dan sambil melepas penat, menyendiri seraya berselancar di alam maya lebih menjadi pilihan. Menyimak berita perkembangan sosial-politik regional, nasional dan internasional melalui media daring.
Awalnya, segala aktivitas hidup keseharian yang saya jalani terasa baik-baik saja. Makan, kerja, tidur, lalu otak-atik ponsel. Makan lagi, kerja lagi, tidur lagi, dan otak-atik ponsel lagi. Sampai kemudian pada suatu titik waktu, saya merasa ada yang ganjil dalam proses perjalanan hidup saya. Ada semacam ketidakseimbangan hidup.
Masa peralihan dari manusia pelajar (anak sekolah) menjadi manusia pekerja (buruh) menimbulkan konsekuensi buruk. Kehidupan saya di ranah sosial terguncang hebat. Secara perlahan, saya kemudian tumbuh menjadi seorang individualis dan manusia egois. Kehilangan banyak teman, tentu saja. Di sisi yang lain, PR besar untuk mengenal Tuhan dan menemukan hakekat hidup tak kunjung rampung. Pada posisi ini, hidup sebagai manusia terasing (teralienasi) adalah pengistilahan yang pas.
Adalah perdebatan bid’ah ritual sholawat yang justru menjadi pintu masuk bagi saya untuk kembali semangat belajar mengenal Tuhan. Sambil mencermati argumen dua kubu yang berseteru, saya malah coba-coba mendengarkan lantunan sholawat ‘Syi’ir Tanpa Waton’ yang dilantunkan Zainul Arifin dan Yuli Astutik dengan iringan gamelan KiaiKanjeng. Saya dengarkan berulangkali via earphone. Semakin diresapi liriknya, semakin membuat hanyut terbuai oleh iramanya. Cukup menjadi embun penyejuk bagi jiwa yang tengah mengalami kegersangan spiritual, sekaligus menjadi obat pelipur lara akibat terpental dari arena sosial.
Bermodal kejumudan hidup, saya akhirnya memberanikan diri bertandang ke Juguran Syafaat (JS) di Purwokerto. Niat hati pasang kuping demi mendinginkan suasana jiwa lewat nyanyian lagu dan sholawat yang dibawakan oleh Ki Ageng Juguran (KAJ) yang saya anggap sebagai representasi grup musik KiaiKanjeng. Membaur bersama orang-orang lintas minat dan lintas karakter juga menjadi alasan mendasar untuk segera keluar rumah. Keluar dari sudut “goa gelap”. Orang yang terlalu lama berada dalam “goa” alias kuper (kurang pergaulan), memiliki resiko tinggi terjangkit penyakit merasa paling benar. Dunia begitu semrawut dan kompleks. Dunia yang serba rumit ini rasanya mustahil jika dikenali melalui satu pendekatan pemikiran saja.
Urun Rembug Tentang Apa Yang Benar
Wacana mengenai kebenaran (truth) merupakan diskursus lama yang selalu saja menarik untuk disimak. Disampaikan oleh Titut Edi Purwanto, ada tiga rumus dasar kebenaran, yaitu kebenaran individual, kebenaran umum, dan kebenaran hakiki milik Tuhan. Namun, tiga prinsip dasar kebenaran yang telah berlaku dan diterima masyarakat luas ini nampaknya tidak secara otomatis bisa meredam konflik perbedaan pandangan di masyarakat. Intrik dan konflik selalu saja muncul, dengan tema dan bumbu persoalan yang beragam. Mulai dari konflik perbedaan preferensi politik, keyakinan agama, sampai perbedaan memilih pasangan hidup yang diilustrasikan oleh Kukuh sang Moderator : “Mendingan kamu milih Dessy tinimbang Sinta!”.
Malam itu, di Juguran Syafaat 13 Juli 2019, obrolan ihwal kebenaran dibuka oleh Yunus, Jamaah Maiyah asal Solo yang baru saja merampungkan pendidikannya disebuah perguruan tinggi negeri di kota Purwokerto. Ia yang sedang menekuni trading ternyata kurang mendapat respon positif dari keluarganya. Dengan bekal pendidikan yang sudah diperoleh, sang Ibu lebih menginginkan agar Yunus bekerja sesuai jalur dan bidangnya, yaitu peternakan. Adiknya Ibu atau Paman yang bekerja di sebuah peternakan besar malah sudah menyediakan kursi lowong sebagai tempat Yunus berkarir.
Dilema kisah Yunus menarik untuk diulas. Menuruti kehendak Ibu tentu mulia. Banyak dalil agama yang menunjukan arti penting ibu. Misalnya, ridlo Ibu adalah ridlo Allah. Atau juga, surga berada di telapak kaki Ibu. Namun demikian, sikap Yunus yang sungkan menerima tawaran kerja di perusahaan paman dengan alasan kolusi-nepotisme patut kita apresiasi. Diterima masuk kerja melalui jasa perantara orang lain juga menimbulkan beban tersendiri bagi Yunus.
Dalam khasanah sejarah Islam klasik yang membahas takdir manusia, antara sekte Jabariyah dan sekte Qadariyah, masing-masing mengklaim argumen pihaknya yang paling benar. Secara ringkas, Jabariyah menganggap bahwa manusia hanya wayang pasif yang tunduk atas sekenario Tuhan. Sebaliknya, Qadariyah berpandangan bahwa manusia itu memiliki kehendak bebas (free will), terlepas dari kuasa Tuhan dan bisa menciptakan sejarahnya sendiri.
Diuraikan lebih lanjut oleh Agus Sukoco selaku mata air ilmu Juguran Syafaat, perdebatan kebenaran juga pernah dialami oleh Imam Maliki dan Imam Syafii. Dua imam besar ini berbeda pandangan tentang sifat rizki. Imam Maliki berkeyakinan bahwa rizki bisa diperoleh tanpa didahului dengan ikhtiar. Sedangkan Imam Syafii meyakini sebaliknya, bahwa rizki hanya bisa dikejar atau dengan ikhtiar, seperti burung yang keluar sarang untuk mencari pakan.
Perbedaan ini tidak lantas membuat Imam Maliki me-negasi-kan pandangan dari Imam Syafii. Hubungan mereka berdua tetap terjalin baik-baik saja. Ada kebesaran jiwa dan kedewasaan berpikir serta sikap tawadhu’ dalam menyikapi perbedaan pendapat. Teladan kebijaksanaan ini mungkin akan terdengar absurd, mengingat kualitas mereka sebagai ulama besar yang matang. Tapi, setidaknya kita telah memiliki role model untuk terus berproses menuju arah kebijaksanaan hidup seperti mereka. Jadi, kalau saya boleh urun rembug untuk Yunus, ngobrol atau diskusi dari hati ke hati pada sang Ibu adalah solusi yang paling mungkin ditempuh. Hanya saja, jalan proses diskusi yang menghasilkan win-win solution juga bukan perkara enteng. Adakalanya kita sering terjebak pada proses diskusi yang win-lose solution.
Mencoba Hal Baru
“Coba bayangkan, apa jadinya bila kita duduk njugur semalaman tanpa kehadiran musik!”, begitu kata Kusworo ketika mengestafeti moderasi forum di sesi kedua. Atas alasan itulah JS memberi ruang bagi yang memiliki bakat-bakat tertentu untuk turut membersamai malam Juguran agar atmosfir kebahagiaan tetap terjaga. “Saling berbagi kegembiraan, karena rasa sakit yang tak terperi bukanlah sakit radang sendi, tapi rasa sakit hidup sendi-rian”, kata Agung Totman. Jamaahpun terbahak, tertawa.
Kelompok musik Pena Pagi dan Selebgram Alan Asprilla, dengan keunikan mereka yang khas, tampil memukau di panggung Juguran. Memberi energi positif terhadap tumbuh-kembangnya jiwa. Pena Pagi lewat syair lagu yang puitis, mengajak jamaah untuk menunduk dan merenung. Alan Asprilla yang kocak, mengajak jamaah untuk tetap bahagia meskipun ora duwe duit. Kegembiraan malam itu makin “mantul” dengan cameback-nya duet maut “Tom and Jery” setelah tiga bulan absen.
Ikhda sang vokalis telah rutin hadir memberi nuansa di setiap Juguran Syafaat, akan tetapi baru kali ini Ia lengkap dengan grup musik Pena Paginya digali dengan meluas dan mendalam. Seru sekali perjalanan kolaborasi mereka, dari cerita panggung ke panggung, romansa latihan ke latihan hingga interaksi batin cemistris diantara mereka.
Tamu lain yang hadir semakin membuat jangkep malam hari itu adalah Gus Luqman, seorang mubaligh muda yang begitu fasih membawakan falsafah cinta. Audiens yang lebih dari separoh adalah kaum milenial nampak antusias menyimak uraian Sang Gus yang begitu Panjang. Waktu seolah berjalan dengan tak terasa, Juguran Syafaat hingga jam 03.00 lewat baru dapat diakhiri. [] Febri Patmoko/RedJS