Buah Ilmu dan Nilai dari Negeri Tarhim

Hujan deras menyapa kami pada jum’at pagi ini, hari kedua kami berada di Tinambung. Anak-anak sekolah nampak berlarian dengan riangnya menikmati hujan yang mengantarkan mereka ke sekolahnya. Seragam coklat mereka menua, berarti kuyub sudah pakaian mereka. Mereka mampu bergembira sekalipun pakaian mereka basah, sementara kami yang semakin menua ini, justru semakin manja.Sepertinya, kami masih perlu belajar tentang kegirangan anak-anak Sekolah Dasar tersebut yang mampu menikmati hujan untuk pergi menuntut ilmu.

Agenda untuk mandi di sungai yang menjadi tempat Mbah Nun dulu membersihkan diri pun mesti ditunda. Konon ceritanya, orang yang sudah minum air di Mandar, berarti dia orang Mandar. Namun, legitimasi tersebut rasanya akan lebih terasa jika dibersamai dengan mandi di Sungai Mandar. Sembari napak tilas perjalanan Mbah Nun.

Tak lama setelah hujan mereda, Pak Aslam langsung menghampiri kami untuk mengajak ke tempat Bapak Nurdin sebelum berziarah dan shalat jum’at di Masjid Imam Lapeo. Bapak Nurdin ini merupakan salah satu sesepuh Teater Flamboyan yang dulu adalah seorang Guru dari Ali Sjahbhana.

Rumah beliau berada tepat di tepi Jalan Raya, sedangkan suara Bapak Nurdin sangatlah lirih. Tentu saja, hal tersebut tidak menjadi sebuah penghalang dari kami untuk dapat mencari ilmu dari beliau. Menurut Bapak Nurdin, Cak Nun itu Abstrak, “kadang berbudaya, kadang religius”. Tentu beliau mengungkapkan hal tersebut bukan tanpa alasan. Beliau sering mengikuti Mbah Nun melalui media elektronik. Ketika salah satu dari kami menanyakan apa yang menarik dari Mbah Nun, beliau menjawab cepat dengan menyatakan, “yang menarik adalah caranya.” Tentang bagaimana seorang Mbah Nun mampu menjaga keseimbangan, istiqomah merangkul dan menemani masyarakat hampir setiap malam.

Lalu, ketika Bapak Nurdin juga ditanya mengenai radikalisme, beliau secara panjang lebar menjabarkan tentang sejarah Islam. Setelah selesai, beliau balik bertanya kepada kami, jika sejarahnya seperti itu, bagaimana mungkin kita tidak mengenal islam? “Maka dari itu iqra’, bacalah!” nasihat Pak Nurdin. Beliau mengakui bahwa beliau sangatlah radikal, karena jika kita tidak mampu berfikir radikal, nanti kita akan mudah terombang-ambing. Dengan kata lain, radikal menurut beliau adalah kedaulatan berfikir agar tidak mudah terbawa arus oleh isu-isu yang menjauhkan diri dari cinta dan kebersamaan.

Sekitar pukul 11.00 WITA, kami melanjutkan agenda menuju Masjid Nurut Taubah K.H Muhammad Thahir atau yang sering dikenal dengan Imam Lapeo. Selepas menunaikan ibadah shalat Jum’at, rombongan kami pun langsung menuju makam Imam Lapeo yang berada tepat di ujung sebelah kanan kanan serambi masjid.

Selanjutnya, kami diajak ke salah satu tempat keturunan dari Imam Lapeo yang lokasinya tidak jauh dari Masjid. Rumah yang begitu tampak sejuk karena dibangun hampir 90% menggunakan kayu ulin dari Kalimantan. Ternyata, disana kami sudah dinanti oleh banyak orang. Bahkan, Imam yang tadi mengimami shalat Jum’at sudah berada di rumah tersebut. Sedikit cerita yang sanggup tercatat dari salah satu cicit Imam Lapeo adalah tentang perjalanan Imam Lapeo yang dulunya merupakan murid dari Syaikhona Kholil, Bangkalan. Imam Lapeo sendiri baru menginjakkan kaki di Tanah Mandar pada usia sekitar 80 tahunan. Jika melihat suasana yang berada di tanah Mandar sekarang, tentu hal tersebut merupakan berkah karomah atas laku beliau, Imam Lapeo.

Kami pun diajak singgah di Mushola pertama Imam Lapeo di daerah Puppole. Di sana, kami serombongan secara khusus mengirimkan 99 Al-Fatihah kepada Imam Lapeo sesuai dhawuh dari Mbah Nun.

Waktu memaksa kami untuk kembali ke base camp alias rumah Kak Hijrah. Dalam perjalanan pulang, kami mampir ke satu-satunya cucu Imam Lapeo yang masih hidup. Ibu Markhumah, yang tempat tinggalnya persis berada di seberang panggung. Kondisi kesehatan beliau nampak rapuh sejalan dengan usia beliau yang semakin renta. Dari tempat tersebut, kami mendapat stampel khas Imam Lapeo dalam bentuk cetakan di beberapa lembar kertas.

Hari masih terlalu terang untuk tidak memanfaatkan waktu dengan maksimal. Beberapa dari kami ada yang terus menggali sejarah, sebagian lainnya memutuskan beristirahat, sebagian lagi memutuskan untuk napak tilas ke sungai Mandar di dekat kediaman Ali Sjahbhana, tempat yang dulunya menjadi keseharian Mbah Nun untuk membersihkan diri. Seolah kami benar-benar merasakan menjadi orang Mandar setelah sejenak mandi dan berendam di bantaran Sungai Mandar.

Guyonan pun datang ketika sebagian dari kami yang merasa sudah nyemplung di kali Mandar sedikit umuk ke temen-temen yang lain. Terlebih, bagi kakak beradik seniman asal Wonosobo, Mas Akbar dan Mas Wakijo. Saling ejek diantara mereka mungkin sudah biasa bagi mereka, akan tetapi bagi kami, hal tersebut merupakan hiburan kemesraan tersendiri. Terlebih ketika salah satu ada yang nyeletuk, “Lha, kalau belum nyemplung kali berarti iseh Mandar Swasta.” Sontak saja semua yang ada di ruangan ikut tertawa. “Sudah tenang saja, besok pagi kita agendakan ke sungai.”

Kita tentu tidak mau bingung dengan tendensi agenda kegiatan yang cukup padat. Jika diperlukan serius, kita bisa serius. Jika dirasa butuh guyonan ya tinggal guyon saja untuk mencairkan suasana. Karena hampir di setiap tempat bahkan waktu, selalu ada nilai yang seharusnya sanggup untuk didokumentasikan ke dalam tulisan. Bahkan, Mas Yasin dari Surabaya pun sempat mengatakan, andai saja perjalanan ini meski terekam dalam dokumentasi tulisan, bisa saja perjalanan ini mampu mewujud menjadi sebuah buku.

Ba’da isya’ hari kedua kami di Mandar, kami diajak bersilaturrahmi ke rumah Bapak Lattapa. Rumah beliau tidak jauh dari kediaman Bu Hijrah, jadi beberapa dari kami memutuskan untuk jalan kaki. Keluarga Bapak Lattapa sudah siap menyambut kami begitu tiba. Hidangan sudah tersusun rapi hanya tinggal menunggu kami duduk lalu dipersilahkan langsung makan. Acara makan bersama pun tentu dibersamai oleh beberapa anggota Teater Flamboyan yang lain, seperti Abah Tamalele, Pak Aslam, dan Pak Amru.

Pada malam hari itu, giliran kami untuk berbincang melingkar menyerap ilmu dan pengalaman dari Pak Amru. Pak Amru bercerita masa lalu ketika Mbah Nun berada di Mandar. Mayoritas dari kami (anggota Teater Flamboyan), dulunya merupakan preman. Serba tidak jelas baik penghidupan ataupun kehidupannya. Pada awalnya tidak ada yang mengenal sosok Emha, kecuali sebatas teman dari Bang Ali Sjahbhana, yang katanya seorang ahli budaya, dan lihai dalam membaca puisi.

Anggota Flamboyan merasa seperti mendapatkan semangat tersendiri, ketika Mbah Nun bersedia menemani dan berproses melingkar bersama. Pak Amru menyampaikan bahwasanya pada waktu itu Emha menerima kami apa adanya. Dan para anggota Teater Flamboyan pun tidak menerima kebesaran nama Emha pada waktu itu, kecuali hanya sebatas bisa menulis puisi.

Benar saja, pada salah satu pertunjukan puisi di sebuah Gedung. Mbah Nun waktu itu berkesempatan membacakan puisinya yang sanggup membuat suasana haru dan sendu bagi seluruh hadirin yang hadir. “Tidak ada yang istimewa, akan tetapi . . . . “ Pak Amru tetiba berhenti berkata atas kesan yang ingin beliau sampaikan perihal sosok Mbah Nun sembari mengusap-usap dadanya dengan mata yang mulai mengkristal.

Hari kedua pun dipungkasi dengan ngumpul di kediaman Pak Abu. Bernyanyi bersenandung bergantian antara Wakijo dari Semarang dan Teater Flamboyan Muda serta melantunkan sholawat bersama-sama.

Pertemuan hanyalah sebuah pertemuan. Berkesan atau tidak sebuah pertemuan, bukan tergantung kepada apa yang nampak, tapi itu semua tergantung pada bagaimana diri kita memaknainya. Yang spesial dari Tanah Mandar yang belum pernah saya temukan sebelumnya adalah Budaya Tarhiman. Hampir di setiap masjid di semua waktu sholat, sebelum adzan berkumandang, sudah pasti bacaan tarhim dilantangkan. Seperti hidup di negeri Tarhim yang benar-benar terpisah dari segala hiruk pikuk kadunyan.

Beberapa kali Mbah Nun berpesan dalam sinau bareng, bahwa tarhiman itu penting. Saya hanya memaknai, dari sholawat tarhim yang selalu terdengar itu, terpancar kemuliaan yang menaungi tanah Mandar. Terlebih jika sholawat itu selalu meraung, sudah pasti seraya semesta agung ini akan bercengkerama memberikan energi yang positif juga. Dan akhirnya, budaya tarhim ini setidaknya menjadi salah satu keindahan selama tinggal di Tinambung. Semua kemesraan dan cinta yang dirasakan seolah merupakan buah dari tarhim itu sendiri. Wallhu’alam.

Wa ilal muntahaa rufi’ta kariiman

Wa sami’ta nidaa-an ‘alaikas salaam

Shallallaahu ‘alaika

Taufan Andhita Satyadarma. Penulis adalah Penggiat Maiyah Maneges Qudroh, peserta rihlah ke Tanah Mandar 2019, sehari-hari beraktivitas sebagai karyawan swasta di Yogyakarta. 

Previous ArticleNext Article