Catatan Juguran Syafaat edisi ke-70, Januari 2019
Jadi begini, Maiyah itu bukan mahdzab, sekte dan bukan pula organisasi formal. Maiyah tidak akan nambah-nambahin jumlah aliran yang memang sudah berkembang sangat banyak dalam masyarakat saat ini. Kami hanya duduk melingkar untuk bertukar pikiran, berbagi pengetahuan untuk membunuh kesombongan intelektual. Di sini tidak ada yang paling pintar atau pun dungu, semua berproses mencari kebenaran sejati. Di sini tidak saling tuding menyesatkan pandangan.
Simpul Maiyah di Banyumas-Purbalingga menamai dirinya dengan Juguran Syafaat. Membentuk diri sebagai wahana untuk melaksanakan ‘maklumat’ tersebut di atas. Hari Sabtu, 19 Januari 2019 lalu, forum lintas kultural ini menapaki gelaran episode yang ke 70.
Masing-Masing Membawa Pisau untuk Mengupas Makna Resolusi, Ilusi dan Kesuksesan
Setahun tanpa jeda, kami njugur dengan lesehan di forum ini. Selalu saja ada hal-hal yang membuat Saya nampak bodoh pada setiap pertemuannya. Mungkin rutinan bulanan malam itu merupakan moment yang paling menjerumuskan Saya ke dalam jurang kemiskinan pengetahuan.
Bermula dari sesi pembuka yang mengangkat secara umum terlebih dahulu tema Resolusi Ilusi, audiens hanyut dalam lalu lintas percakapan mengenai makna resolusi. Beberapa nampak canggung, tapi sebagian besar terlihat argumentatif saat mendefinisikan pengertian resolusi.
Ternyata memang narasumber itu tidak harus seseorang atau tokoh tertentu. Apabila masing-masing membawa pisau ‘cara berfikir’, maka sebuah obyek pembahasan bisa kita kupas bersama-sama. Masing-Masing menjadi narasumber. Seperti cara berfikir tentang resolusi, ilusi dan kesuksesan yang pada malam hari itu dikupas beramai-ramai, dengan menggunakan banyak pisau hasilnya menjadi lengkap dan lebih genuine.
Sementara diri Saya ini yang melewati akhir dan awal tahun yang baru ini tanpa evaluasi-refleksi apapun, Saya hanya bisa menelan ludah berkali-kali. Takjub. Saya jadi tahu bahwa ternyata ada manusia yang menjalani pola perencanaan hidup begitu terukur. Namun sebaliknya, ada juga manusia yang dalam hidupnya tidak memburu sukses.
Aura kebodohan Saya makin memancar tatkala Juguran Syafaat dihangatkan oleh seniman muda berbaka. Ada duet kakak beradik Tama & Wulang dari Komunitas Banyumas Muda.
Malam hari itu juga hadir grup musik ‘Kambing Aqiqah’ dari anggota Teater Sianak FISIP Unsoed yang membius audiens lewat alat musik Icik-icik Slonjor.
Iya, Saya memang bombong banget menonton kebolehan mereka dalam bermusik. Tapi sebagai orang yang fakir dalam pengetahuan seni, kegembiraan ini tak ubahnya riang bocah bayi dengan mainan balon thoet-thoet di tangan. Tak mampu menyibak makna yang simbolik tersembunyi.
Resolusi yang alakadarnya, sebab Kebanyakan Ilusi
Acara berlanjut dengan suguhan atraksi sulap Mas Kim dari komunitas pesulap Banyumas, “Plat R”. Ini adalah kali pertama Saya bersaksi dari jarak dekat atas adegan ekstrim tanpa melalui layar kaca kecuali Kuda Lumping. Deg-degan luar biasa, takut kalau-kalau Mas Kim mengalami malpraktek terhadap dirinya sendiri.
Suasana tegang dengan iringan dentuman musik jedag-jedug membuat pikiran Saya sontak beralih pada wajah tampan Hirdan Ikhya dan Kang Faisal atas perannya meramu tata sound serta mengatur ruwetnya kabel-kabel ruangan Pendopo Wakil Bupati Banyumas. Cukup piawai mereka kelihatannya, tidak seperti Saya yang hanya paham kabel rem pit “Pederal”.
Puncak keluguan Saya mencapai derajat paling mencengangkan begitu adegan teatrikal kolaborasi Mbah Titut dan Mbah Hadi dipentaskan. Tanpa rencana, tanpa gladi resik tapi mampu membawakan lakon secara luwes dan apik. Lakon tentang kematian tersebut dipentaskan tepat jam 01.36 WIB. Saat dimana para Malaikat Allah SWT turun ke bumi membawa dua buah keranjang, yaitu keranjang ampunan dan rizqi.
Kembali ke Mas Kim sang magician alias pesulap. Sayang sekali Ia buru-buru pulang, padahal Saya ingin sekali menanggap apa sebetulnya rahasia dibalik atraksi-atraksi ilutifnya tadi. Mulai dari mengubah daun jadi uang sampai membersihkan upil dengan bor mesin. Tapi andai tidak buru-buru pulang pun Saya jamin Mas Kim tidak akan membocorkan rahasianya.
Satu hal yang Saya tangkap adalah, bahwa kita jangan terjebak oleh ilusi. Tidak semua yang nampak riil adalah ilusi. Terlebih ilusi-ilusi yang tanpa sadar kita ciptakan sendiri. Misalnya merasa ‘ah, Saya bodoh’, ‘ah ,Saya tidak berbakat’, ‘ah, paling Saya gagal lagi’. Itu seolah riil sekali, karena kejadiannya pernah ada di masa lalu. Padahal. Padahal kalau yang nyata adalah saat ini, bukankah masa lalu sudah menjadi ilusi?
Lalu, kenapa kita harus menyusun target masa depan yang alakadarnya saja sebab pikiran kita dipenuhi ilusi kemalangan, kegagalan, malprestasi dan segala keburukan yang mendera nasib kita di masa lalu?
“Ngodor”, Sebuah Adversity Quotient
Mas Akhmad Karim hadir pada episode yang tepat. Seorang anak desa dari pedalaman Wonosobo yang telah berhasil menjadi salah seorang lulusan terbaik di Indiana University, Amerika Serikat. Pengalaman masa lalunya adalah ilusi-ilusi buruk. Bagaimana bisa ia menyusun resolusi untuk diterima SNMPTN di UGM padahal sudah dua tahun dia tidak lolos seleksi ujian masuk perguruan tinggi tersebut. Tapi dia ngodor, pokoknya harus masuk UGM. Meski harus hidup dengan cara yang teramat alakadarnya kala itu, demi bisa bertahan di Jogja.
Kalau menyadari kemalangan hidup adalah riil, bukan ilusi. Harusnya ia downgrade saja itu resolusi dirinya. Kuliah di yang kampus biasa saja kek. Atau balik kampung, bertani juga potensinya besar loh di Wonosobo. Nyatanya Ia kembali ngodor untuk kuliah di luar negeri mengejar program Masternya, meski Bahasa Inggrisnya pas-pasan. Dan betul, Mas Karim berkisah betapa tidak mudah proses yang ia tempuh meskipun sudah menapakkan kaki di negeri Paman Sam kala itu. Matrikulasi Bahasa Inggris pun ia tempuh di sana. Keahlian di luar Bahasa Inggris ia presentasikan dengan apik.
Program Master pun ditempuh. Eh lah, ajaib, dengan IELTS dibawah 6 sekarang bisa diterima program doktoral di salah satu universitas terbaik dunia, Amsterdam University. Itu karena ia berhasil meyakinkan bahwa dirinya bisa menutupi kekurangannya dalam hal bahasa dengan kemampuannya di bidang yang lain. Celah ke-ngodor-an semacam itu mana bisa didapatkan ketika seseorang fokus pada kemalangan masa lalu, bukan pada resolusi masa depan?
Mas Karim menjadi inspirasi untuk kita tidak perlu terjebak oleh pengalaman buruk kemalangan yang sudah kita alami. Oleh kenyataan hidup yang tidak seindah feed Instagram kawan-kawan kita. Nyatanya semua itu kalau kita pandang sebagai ilusi, ya ilusi kok. Dan Mas Karim sudah membuktikan ‘kecerdasan ketahan-malangannya’ alias adversity quotient.
Maiyah itu Jalan Pengamanan
Beranjak dari sajian kreatif teman-teman seniman dan inspirasi sukses ala Mas Karim, kita sekarang kelontaran-lontaran hikmah dari para narasumber lainnya. Saya hanya sanggup membawa pulang dua bahan menarik yang nyantel di kepala. Yaitu cerita yang disampaikan secara lugas dan apik dari Mas Agus Sukoco yang menjelaskan bahwa Islam dari langit itu satu dan merupakan wahyu kebenaran mutlak, tapi menjelma beraneka rupa saat menyentuh realitas bumi manusia.
Kebhinekaan di dalam ber-Islam ini terkait faktor dinamika akal dan hati. Seturut dengan uraian Mas Agus, terlintas ingatan Saya atas pangendika Mbah Guru Emha Ainun Najib, “Untuk apa kamu pakai Al-Quran tapi tidak dengan akal! Untuk apa kamu pakai Syariat Islam tapi tidak dengan hati! Tumbu ketemu tutup. Setali tiga uang dengan Mas Agus Sukoco yang menekankan pentingnya akal dalam mengurai kandungan Al-Quran sebagai pedoman hidup dari Allah SWT.
Mas Karim yang sedang meneliti peran pengamanan masyarakat yang dilakukan oleh Maiyah itu mengatakan bahwa arti penting Maiyah adalah perannya membangun dan mengamankan nalar sehat masyarakat agar senantiasa presisi atau jangkep dalam menghadapi setiap fenomena kehidupan. “Jadi kalau menurut Pak Toto Raharjo Maiyah adalah jalan untuk merebut ruang belajar, kalau bagi Saya Maiyah adalah jalan pengamanan. Di Maiyah kita mengamankan cara berfikir kita”.
Suasana nyata kegembiraan Juguran Syafaat edisi awal tahun ini dapat terbaca dari betahnya penggiat minoritas kaum hawa yang nyengkuyung bareng sampai acara tuntas dini hari. Mondar-mandir ceria sang maskot kocak Juguran Syafaat, Kang Totman, Dalang Wayang Jemblung Banyumas yang menjelajahi hampir semua sudut balai pendopo hingga menepi ke area parkir demi mencari posisi ternyaman dalam berkontemplasi adalah sudut baca Saya yang lain malam hari itu.
Seiring bergulirnya waktu, forum gendhu-gendhu rasa tua-muda itu harus diakhiri. Sekitar jam 03.00 dini hari, kelompok musik KAJ melantunkan “Hazbunallah” untuk mengiringi salam-salaman perpisahan. [] Febri Patmoko/RedJS