“Ojo Kagetan, Ojo Gumunan”, materi semester satu yang nampak sepele padahal penting sekali. Efek buruk orang mudah takjub diantaranya adalah menjadi mudah meremehkan diri sendiri. Minderan jadinya. Orang minderan itu ibarat lomba lari sudah mengambil titik start mundur beberapa meter. Kalah di era serba bersaing seperti hari ini adalah nasibnya.
Efek berikutnya dari orang yang gampang gumunan adalah angan-angan untuk meniru. Meniru apa yang sudah ada alias meng-KW sebagus apapun tetap saja tidak bisa menjadi lebih baik dari yang ia tiru. Oleh sebab itu itulah, petuah untuk tidak mudah terkejut dan tidak mudah takjub itu berhubungan sangat erat dari angen-angen Mbah Nun supaya anak cucunya ndang menjadi orang-orang yang otentik.
Manfaat dari menjadi otentik diantaranya adalah kita tidak ikut pada arus yang sudah jenuh dan keruh. Penyeragaman apa saja, mulai dari seragam sekolah sampai cara dan gaya hidup yang diseragamkan dengan dirijen berbentuk kotak bernama televisi membuat orang di mana-mana nyaris sama. Sama yang ia butuhkan, sama yang ia kejar-kejar, sama yang ia takutkan. Ini mempermudah penyedia kebutuhan hidup untuk menyediakan apa saja secara mass-production.
Murahlah jadinya sebab sekali membuat langsung banyak, untung besarlah mereka. Lantas, bersaing dengan yang sepantaran kita saja berat sekali hari ini, apalagi sekarang harus bersaing dengan mereka yang sudah memiliki sarana-prasarana mass-production. Semakin mustahil-lah untuk memenangkan pertandingan hidup. Dengan menjadi otentik, memperkecil pula tingkat konsumsi terhadap hal-hal yang disajikan secara seragam itu.
Masih berkaitan dengan otentisitas diri berikutnya adalah bahwa sebetulnya hidup itu sederhana, kebutuhan sehari-hari, sedikit piknik, tabungan secukupnya dan asuransi untuk jaga-jaga. Untuk memenuhi semua itu tak perlu rasanya kita mesti memusuhi tiga belas keluarga terkaya di dunia yang konon simbolnya segitiga itu. Kita mah bukan ‘amput-amput’-nya mereka.
Kebutuhan kita sebetulnya tercukupi melalui barter dengan pelayanan diri terhadap kebutuhan orang lain yang sepantaran kita. Mestinya itu cukup. Yang membuat tidak cukup adalah pelayanan yang kita berikan tidak bisa optimal, nilai tambah yang kita berikan terlalu pasaran, solusi yang bisa kita tawarkan terlalu biasa-biasa saja. Andai kita terus menerus mengasah gergaji sisi tajam di dalam diri, mungkin yang kita bisa barterkan kepada orang lain bisa lebih bermutu. Proses saling barter otentisitas satu sama lain pun kemudian terjadi.
Terlepas nanti orang menganggap kita otentik atau tidak, sebutan orang itu nomor dua. Yang utama, kebutuhan orang lain kita penuhi, kebutuhan diri kita dipenuhi oleh orang lain. Melayani dengan motif barter kebutuhan seperti di atas rasa-rasanya juga tidak kalah mulia kok dari kegiatan melayani yang landasannya adalah semangat altruisme.[] Rizky D. Rahmawan