Reportase: Jejak Ibrahim

Sakdermo Palgunadi

Catatan Maiyah Juguran Syafaat Februari 2018

Yang Dinanti Telah Hadir

Segelas kopi yang saya sruput pelan. Bagi yang lain ditemani rokokan, tidak dengan saya. Saya tak merokok, oleh karenanya rokok tawaran teman disebelah saya biarkan saja. Saya balas dengan senyum simpul. Hujan masih deras mengguyur Purwokerto dan sekitarnya. Sejak ‘Isya. Sebuah pertanda alam. Dan saya biasanya menyebutnya berkah.

Saya sengaja duduk dibelakang panggung. Sembari mencuri pandang, ekspresi orang-orang yang datang ke Juguran Syafaat malam hari ini. Karena malam ini spesial. Simbah Guru kami, Maulana Muhammad Ainun Nadjib berkenan hadir di forum bulanan kami. Menginjak forum ke-59, kami mencoba tetap istiqomah. Banyak sedikit orang yang datang tidak pernah jadi masalah. Pindah tempat berkali-kali tak mengapa.

Sedari sore saya bergerak turut membersamai penggiat mempersiapkan forum bulanan ini. Tugas saya adalah bagian penjemputan. Maghrib sudah saya jemput kaum intelektual dari Progress. Garis depan literasi website ibu informasi, caknun.com. Mereka adalah Mas Helmi dan Mas Jamal. Bersama Mas Agus, driver setia Rumah Kadipiro, mereka meluncur dari Yogyakarta ke Purwokerto.

Mbah Nun hadir di pendopo didampingi oleh saudara kami dari Kenduri Cinta dari Jakarta. Kedatangannya pukul 23.15 disambut hangat oleh jamaah yang sudah sedari tadi menunggunya dengan setia. Hujan belum juga reda. Sebuah musik dengan judul “Untuk Simbah Guru” dari KAJ menyambut mesra Sang Guru yang sudah dinantinya.

Mbah Nun menyapa hangat para jamaah. Dengan duduk yang tegapnya, beliau menceritakan bahwa Maiyah harus mampu bersikap terhadap Indonesia. Tidak ada anjuran dalam Maiyah untuk bisa mengatasi masalah yang ada di Indonesia. Maka yang dianjurkan justru bagaimana memastikan diri mereka supaya bisa menjadi rahmat bagi orang lain.

“Maiyah kepada Indonesia harus menentukan sikap. Seberapa yang kamu bisa atasi dan yang kamu tidak bisa atasi. Maka, Anda pribadi, keluarga dan sekumpulan jamaah ini harus memastikan bahwa Islam menjadi rahmat bagi Anda. Jadi, Anda melakukan apa saja memakai rahmatnya Islam. Kalau nanti ada lebih-lebihnya, ada mampu-mampunya, Anda bisa membantu Indonesia. Kalau tidak ya tidak apa-apa.

Maiyah juga tidak berharap apa-apa. Maiyah itu memastikan kalaupun kita tidak bisa ikut mengatasi masalah, kita harus memastikan bahwa kita tidak menambah masalah. Anda sendiri jangan menjadi manusia masalah, Anda jangan sampai mendapat julukan Mr. Problem. Jangan sampai Anda jadi masalah siapa-siapa. Banyak orang yang menjadi masalah bagi dirinya sendiri.

Allah mengatakan, ‘Aku tidak pernah menganiaya seorang hamba pun melainkan dia sendiri yang menganiaya dirinya sendiri’.”, Mbah Nun.

Ajakan Untuk Meneliti

Salah satu poin yang saya dapat malam itu adalah, ajakan untuk terus meneliti diri kita sendiri. Pada setiap kejadian hidup yang kita lalui, teruslah niteni mana yang memang benar-benar hasil ikhtiar kita dan mana yang seratus persen kekuasaan Allah. Disitulah kita akan menemukan makna yang sejati, bahwa hidup akan lebih banyak hal yang tidak terduga.

Sambil menyimak dari belakang panggung, sambil permenungan terus berjalan betapa tidak berdaulatnya diri saya selama ini. Kedaulatan itu bukan melulu urusan negara, tetapi mulai dari urusan yang lembut dan sederhana seperti kedaulatan menentukan ukuran terhadap diri sendiri, saya masih seringkali menakarnya menggunakan ukuran orang lain. Padahal ikhtiar saya dengan orang lainnya berbeda, nasib yang ditimpakan Tuhan kepada saya dan kepada orang lain juga berbeda.

Mbah Nun menyampaikan, “Anda itu harus niteni yang anda alami itu, endi sing hasil ikhtiarmu endi sing nasibmu, endi sing ketentuan Alloh. Kalau anda tidak tahu ini qodlo-qodar atau hasil ikhtiarmu, Anda tidak bisa meletakkan rasa syukur dan ikhlasmu.

Landasan manusia, Islam kuwe pokoknya menyerah sama Alloh, menyerah itu artinya ora ngganjel, ikhlas. Kalau itu ketentuan Alloh ya saya ikhlas, apa saja bentuknya, apa saja rasanya. Kebahagiaan atau penderitaan saya akan ikhlas. Acuan dasarnya, bersyukur itu tidak hanya atas kekayaan, tapi harus siap-siap bersyukur juga atas kemiskinan – kalau kemiskinan itu merupakan qodlo dan qodar, ini yang harus anda temukan. Bersyukur itu tidak hanya atas anda punya jabatan, tapi tidak pernah punya jabatan anda juga bersyukur. Asalkan anda tahu bahwa itu memang qodlo.

Misalnya saya ini, pintero koyo ngopo arep ora denggo sopo-sopo. Mbok aku nafsiri Qur’an koyo ngopo wae tetep aku ora deakoni sebagai mufassir. Apabila Gus Dur, lahir sudah sebagai ‘Gus’, dan sepanjang hidup dia duduk di kursinya Mbah Hasyim. Jadi dengan persyaratan sedikit-sedikit saja dia sudah bisa duduk. Sementara, biarpun saya punya sepuluh kali lipat memenuhi persyaratan tapi saya tidak akan pernah duduk di kursi apapun. Makanya Mas Titut tadi mengatakan kene gawe kursi dewe, moga-moga kursine dewe kiye yo pethilan kursine Alloh SWT.

Maka, doa kita ‘Walaa ya uuduhuu khifdhuhumaa wahuwal ’aliyyul ’adziim’;  wasyi’a kursiyyuhussamaa waati wal ard. Wasyi’a itu artinya Alloh memperluas kursinya jadi mudah-mudahan Maiyah ini adalah bagian kecil dari perluasan kursinya Alloh.”

Anak-Anak yang Antusias

Hingga lingsir wengi saya melihat anak-anak kecil yang hadir beberapa masih antusias. Bagi orang dewasa seperti saya, pilihan hadir dan tidak hadir di Maiyahan itu adalah keputusan sadar, maka Maiyahan adalah sebuah penempuah toriqoh. Berbeda peristiwasanya bagi anak-anak, mungkin hadir di Maiyahan kadarnya setara diajak piknik orang tuanya.

Saya terkantuk dalam letih, beberapa orang dewasa yang menunduk ‘naik dimensi’ juga terjangkau oleh pandangan mata saya. Ironisnya, anak-anak justru masih berbinar matanya antusias menatap Simbah. Fenomena apakah ini? Sampai tulisan ini ditulis belum lekang besitan iri, betapa indahnya menjadi anak-anak. Tak ada tanggungan bertoriqoh, baik toriqoh dalam bentuk wirid, maupun bentuk-bentuk toriqoh yang lebih substantif lainnya.

Mbah Nun sangat indah dan sederhana mengungkapkan kepada jamaah Juguran Syafaat malam hari itu tentang toriqoh, “Setiap orang menjalankan toriqoh. ‘Aku bisnis apa ya? Bisnis knalpot sudah kebanyakan, Aku bikin ini saja!’, itu juga namanya torikoh.

Sabil itu arahnya, Syariat itu jalan yang disediakan oleh Allah, tapi cara kamu menempuh dan memimpin jalan itu namanya toriqoh. Misal, kalau seperti ini saya tidak usah memakai mobil, memakai motor saja biar lebih lincah, itu namanya toriqoh. Jadi, toriqoh itu bukan hanya wiridan. Wiridan itu kan toriqoh literer, toriqoh kalamiyah. Kalau kita kan torikot hayatiyah, torikot haliyah, orang Jawa menyebutnya sebagai iguh.”

“Toriqoh itu mencari ijtihad. Tidak ada yang tidak berijtihad, semua manusia berijtihad ijtihad itu adalah menempuh jalan toriqoh, pekerjaannya namanya ijtihad, jalannya namanya toriqoh, Tapi jalan toriqoh harus berada dalam koridor syariat.”

Majlis Lir-Ilir

Majlis toriqoh-kah malam hari itu? Daripada berdebat, bolehkah saya menyebutnya sebagai Majlis lir-ilir saja. Dari Bayi sampai lansia merangsek di dalam saf-saf yang tidak membentuk aturan. Saf-saf itu memancer ke tengah membentuk lingkaran sangat kecil, narasumber dan jamaah berjarak tidak lebih dari 2 meter saja, mirip ilustrasi di lukisan Sunan Kalijaga pada tayangan yang membawakan lagu lir-ilir.

Mas Agus Sukoco, Pak Titut dan Mbah Hadi para sesepuh Juguran Syafaat turut menemani Simbah sepanjang acara. Mbah Hadi yang paling uzur usia dengan apik membawakan sebuah puisi tentang Arjuna dan Palgunadi. Tak dinyana, Mbah Nun memberikan respon yang saya baru pernah mendengar ulasannya pada kesempatan itu.

Palguna itu Arjuna, Dananjoyo, Djanoko lan sa’piturute banyak alias-aliasnya. Palgunadi ini tidak ada hubungan darah sama Djanoko, dia adalah orang dari wilayah lain dan dia tidak punya hak, tidak punya sertifikasi untuk jadi mahasiswanya Pendito Kumboyono atau Durna.

Nah, ini fenomena pertama adalah anda tidak harus berada pada posisi Arjuna, kalau Anda memang harus berposisi sebagai Palgunadi atau Bambang Ekalaya, ya tidak mengapa. Yang satu sekolah formal, mempunyai dosen namanya Durno, yang satu tidak punya dosen. Akhirnya, Bambang Ekalaya membuat patung Durno, membayangkan “Iki guruku”.

Dia berlatih terus dan ternyata dia lebih hebat dari pada Arjuna. Hasilnya orang yang tidak sekolah ini lebih hebat daripada yang sekolah. Nah, tapi kehebatan ini untuk apa? Kehebatan nanti kan tetep akan tergantung semua hal dalam hidup ini tetep tergantung qodho dan qodar. Kamu kuliah Sastra Arab ternyata pekerjaanmu nggiling tahu, bisa to? Kamu tukang kayu ternyata jadi Presiden. Itu namanya qodho dan qodar. Anda harus ikhlas, untuk berposisi apapun asalkan itu kehendak Allah, kita harus siap dengan keikhlasan dan keridhoan dan kepasrahan. Mengislamkan diri kita itu artinya kita tidak ngeyel sama kehendak Allah.

Faktanya secara ilmiah dan secara elmu Kanuragan Bambang Ekalaya atau palgunadi ini lebih sakti daripada Arjuno, bahkan Arjuno mati di dalam peperangan melawan Bambang Ekalaya, mergo bojone Bambang Ekalaya Iki digendhak Karo Arjuno, diselingkuhi oleh Arjuno. Maka marahlah dia sehingga mereka duel dan Arjuno meninggal. Tapi nanti dulu, ada qodho dan qodar, meninggalnya Arjuno ini membuat utusan Bethoro Wisnu yang namanya Prabu Kresno terlibat.

Dia pengatur nasib manusia, dia aplikatornya Bethoro Guru, Bethoro Wisnu, dkk. Nah, yang melaksanakan adegan di dunia ini Kresno. Kresno ini tidak terima sebab belum perang Baratayudha tetapi Arjuno sudah mati. Akhire dihidupkan lagi dengan kembang Wijoyo Kusumo. Kemudian lagi,  Kresno menaruh tanda matinya Bambang Ekalaya di Patungnya Durna. Orang kemudian akan menuduh Durna lah yang membunuh Bambang Ekalaya.

Nah, jadi ini ada qodho dan qodar, ini bukan berarti Kresno malaikat, ini contoh saja bahwa ada qodho dan qodar. Wis Cetho de’e kalah ampuh, tur wis mati, Ning mergo ada ketentuan tentang nasib, urung mangsane, maka dia dihidupkan kembali karena dia harus mimpin perang Baratayudha.

Nah, sekarang bagaimana cara kita menilai? Apakah Arjuna adalah orang yang beruntung dan Bambang Ekalaya adalah orang yang sial? Kan tergantung cara kita melihat. Kemuliaan nya Arjuna terletak pada perannya dan kemuliaannya si Bambang Ekalaya terletak pada nasibnya. Kalau dia ikhlas dengan nasibnya itu, dia akan mendapatkan jannatun tajri min takhtihal Anharu kholidina fiha.

Seperti Saya ini kan Sakdermo Palgunadi. Saya bisa mateni Arjuno okeh banget dan saya bisa memenangkan semua. Gampangane lah, nek arep ampuha-ampuhan, dadi misale Saiki aku dike’i gelar doktor honoris kausa iku kan mesti pekewuh to aku, lah koe telat kok banget. Kudune taun 80-an biyen. Soal karya, prestasi segala macam, saya tahun 73 itu umur 20an entah bagaimana ceritanya saya diminta untuk mengisi kuliah umum di kongres Nasional Himpunan Mahasiswa Islam. Kuwi kan intelektual nomor satu, HMI jaman semono. Ampuh tenan HMI.

Nah, Saya ngomong opo wektu Kuwi? Wong saya ora kuliah, saya dudu intelektual mung penyair. Rambut saya gondrong sakmene Iki, saya belum tahu bercelana yang baik, berbaju yang baik. Ning waktu itu saya ya sudah Doktor harusnya, kalau mau umuk-umukan. Tapi saya kan palgunadi.”

Ada Ibrahim yang mengalungkan kapak di badan berhala, ada Kresna yang meletakkan tanda kematian Palgunadi di patung Durna. Silakan masing-masing menarik refleksi sendiri atas dua kisah tersebut, korelasi dan elaborasinya.

Saya melihat sendiri, teman saya Agung Totman menangis sesunggukan pada saat salaman dengan Mbah Nun. Sebuah peristiwa langka yang saya saksikan. Agung Totman adalah seniman penuh kegilaan dalam setiap pertunjukkannya. Dan pernah ia mengeluh pada saat acara Maiyah di Purwokerto kemarin, Mbah Nun kurang padat memberikan insight-nya, dan terjawab malam hari ini. Saya kira, memang kadar Maiyahan pada acara Maiyah diluar dengan yang di forum tersendiri berbeda. Semua tergantung audiensnya.

Dari begitu padatnya apa yang disampaikan Simbah, dari begitu indahnya suasana malam berbalut hujan kala itu, saya tidak bisa mengelak untuk menjadikan momentum malam hari itu sebagai salah satu turning point revolusi hidup saya. [] Hilmy Nugraha & Tim Redaksi JSCOM

Previous ArticleNext Article