Ied Milad BBW Ke-12
Zaman menjadi kian sibuk. Saking sibuknya, sampai-sampai banyak di antara kita yang tidak lagi punya waktu untuk meneliti motivasi alias niat dari tindakan yang kita lakoni. Fenomenologi ini nampaknya dimanfaatkan dengan apik oleh para penjaja ‘kebencian’. Tanpa sadar, sebagian kita tergerak atau tidak tergerak melakukan sesuatu, menentukan sesuatu atau memilih sesuatu, motivasinya bukan sebuah nilai yang luhur. Melainkan, motivasinya sekedar ‘kebencian’. Yang penting, mereka yang berseberangan dengan saya, jangan sampai menang! Kalau sudah begitu, tanpa sadar kita sudah merusak masa depan kita sendiri.
Rumus movement yang nyaris menjadi mainstream seperti di atas sayangnya tidak berlaku bagi Arek-Arek Bangbang Wetan. Seolah tak sempat bagi mereka mengisi lubang di hati mereka dengan motivasi-motivasi berupa kebencian. Kalau mereka melakukan sesuatu, motivasinya adalah sebaliknya : Cinta dan perasaan suka cita.
Hingga tak terasa, 12 tahun sudah mereka menyelenggarakan sebuah forum yang menjadi assembly point, menjadi titik kumpul bagi siapapun saja yang merasa membutuhkan sinau bareng-bareng tanpa sekat tanpa kualifikasi. Keistiqomahan sepanjang itu, mustahil terjadi apabila energi yang menggerakkan adalah kebencian, atau nilai-nilai nir-murni lainnya.
Mereka mencintai, sebab mencintai, mereka pula dicintai. Twitter @BangbangWetan diikuti lebih dari 33 ribu orang. Fanpage BangbangWetan disukai tak kurang dari 29 ribu orang. Tak pelak Instagram sudah menembus 26 ribu follower.
Semua bermula dari energi mereka di dalam mencintai Mbah Nun dengan demikian tulus. Mencintai yang tidak sekedar, bahkan di hati mereka saya menerka sebetulnya dipenuhi oleh perasaan mengidola. Namun perasaan pengidolaan itu dengan rapi mereka tutup rapat-rapat. Sebab di dalam nilai yang berlaku di tengah komunitas Maiyah, semangat idolatry bukanlah nilai yang keren untuk ditonjol-tonjolkan.
Cukuplah bagi mereka dipendam dalam hati. Lalu diaplikasikan dalam kerja-kerja kepengasuhan yang sefanatik-fanatiknya. Mereka menyambut dan melayani Mbah Nun bisa hingga belasan kali dalam sebulan, dalam berbagai varian forum di mana Mbah Nun hadir di situ.
Seakan tak kenal lelah. Merelakan dicap orang sebagai penganggur. Yang jelas waktu mereka begitu available bagi kerja-kerja pelayanan. Dan bagi mereka para penggiat Bangbang Wetan, Mbah Nun bukanlah Mbah Nun seorang diri, tetapi juga ada Ibu Via ada juga Mas Sabrang lengkap dengan adik-adiknya. Menyambut mereka semua adalah kegembiraan yang tiada berbeda.
Salah seorang penggiat berkisah dengan gembira kepada saya, ketika ia ketiban sampur harus menyambut Mas Sabrang, lengkap hingga menemani sak-delay-delay-nya di Bandara. Dan kejadian seperti itu tidak terjadi sekali waktu.
Pun, begitu dari Arek-Arek itu saya belajar bagaimana mereka memiliki sikap yang begitu care kepada Keluarga nDalem. Entah ada pembagian tugas yang mereka susun rapih, atau memang semua dilaksanakan dengan spontan, masing-masing dari mereka membagi diri untuk mendampingi, mengantar, menjemput, memastikan tidak ada yang kapiran ketika tamu dari Keluarga Menturo hadir.
Pada kesempatan saya membersamai mereka di suatu waktu, saya belajar tentang unggah-ungguh, dari mereka yang di jalanan menampilan diri sebagai bonek, umat protolan, tetapi ketika sedang berperan mendamingi salah seorang keluarga ndalem, hati, perangai penggiat begitu takdzim dan santun. Ing ngarso sung tulodho, sebuah teladan yang baik yang patut saya petik.
Ketika mas sabrang menjadi ambassador sebuah aplikasi penangkal hoax, tidak ada yang melangkah lebih sigap, kecuali arek-arek Bangbang Wetan. Launching perdananya pun berhasil dilangsungkan dengan meriah di Kota Pahlawan beberapa bulan lalu.
Rumusan Silatnas Penggiat Maiyah ke-1 di Batruraden perihal pembenahan literasi, Bangbang Wetan pun tampil di shaf terdepan di dalam berbenah.
Di sebuah forum Musyawarah di Pendopo Rumah Maiyah beberapa waktu lalu, ketika membahas eksperimentasi sosial dan ekonomi, Bangbang Wetan paling banyak disebut-sebut, menandakan sudah begitu banyak eksperimentasi yang sudah mereka kerjakan. Terhenyak saya, betapa sungguh-sungguh mereka mengupayakan munculnya semburat di timur, meriset menjajal menyelenggarakan manajemena aset komunitas, penghimpunan dana sosial, koperasi, merchandising, dan banyak lagi lainnya dengan segenap cerita pilu serta nestapanya.
Jangankan Mbah Nun yang kapiran, bahkan jamaah protolan macam saya saja belum pernah sekalipun waktu berkunjung ke wilayah perdikan Surabaya dan telantar di sana. Sahut-menyahut, bahu-membahu, semuanya meyambut dengan gupuh. Eskpresi dari energi mencintai Mbah Nun yang merambah luas tak bertepi hingga kepada jamaah Maiyah tak pandang bulu, hingga bagi umat protolan seperti saya ini.
Dua belas tahun yang lalu Bangbangwetan berdiri bukan untuk menjadi fanbase bagi Mbah Nun atau bagi KiaiKanjeng. Bukan untuk menggalang masa untuk membuat mania-maniaan. Melainkan Bangbang Wetan bersama-sama dengan lebih dari 60 titik di Nusantara lainnya ingin mengkonstruksi energi positif dari fadhilah Maiyah, dibuatkan ruang transformasi menjadi kemanfaatan yang luas, menjadi sesuatu yang terawat keberlanjutannya. Berharap di negeri ini akan terbangun atmosfir yang saling mendukung pertumbuhan diri satu sama lain. Tidak sebagaimana di luar sana, yang dipenuhi energi saling membenci, saling mengalahkan dan saling mematahkan asa satu sama lain.
Kalau targetnya fanbase, seharusnya mereka sudah punya bendera komunitas yang dikibar-kibarkan setiap berkerumun. Kalau cita-citanya menjadi organisasi kemasyarakatan, jelas tak ada amput-amputnya jika dibanding ribuan ormas yang lahir tahun-tahun belakangan ini dibantu sokongan dana berlimpah dari para pemilik kepentingan. Tanpa target dan cita-cita itu, Bangbang Wetan telah menunjukkan peran nyatanya menjadi bagian dari penumbuhan kecerdasan kolektif. Atas kiprah itu, hayok ormas mana hari ini yang berani menyandingi menandingi?
Selamat ulang tahun Bangbang Wetan yang ke-12. Semoga semburat yang sudah tercipta dapat terus terpelihara, untuk kita pendarkan lagi agar lebih dan lebih mencahayai.[]