Refleksi 5 Tahun Juguran Syafaat
13 April 2013-13 April 2018
Menepi
Enam puluh putaran rutinan Juguran Syafaat telah terselenggara, setiap bulan, tanpa satupun sela putus. Pada sejauh jumlah putaran itu dilangsungkan dengan tidak ada satu pun yang merasa mumpuni berorasi, merasa piawai public speaking.
Hal itu setidaknya menjadi bukti bahwa Juguran Syafaat sebagai komunitas, hadir di tengah-tengah masyarakat dan zaman tidak untuk membuat semakin bertambah-tambahnya inflasi informasi.
Kita hanya berkumpul, dengan ubarampe yang tidak diada-adakan, dengan memilih jadwal dan lokasi yang dihitung paling tidak mempersulit untuk dijangkau didatangi. Siapa pun yang berbicara di depan mungkin sesungguhnya tidaklah penting-penting amat. Mengapa? Sebab yang lebih penting dari diskusi dhohir adalah diskusi di wilayah bathin masing-masing.
Ada ribuan percakapan di dalam aplikasi diri kita masing-masing, yang kalau notifikasinya tidak di silent, pastilah ia lebih ramai dari banyaknya notifikasi grup whatsapp, line dan telegram yang kita ikuti. Atau meskipun tidak di silent sekalipun, tidak akan kita mendengar notifikasi-notifikasi itu, sebab kita hidup di tengah zaman yang demikian hiruk pikuk seperti hari ini.
Kalau se-abad yang akan datang Juguran Syafaat belum lekang dari ingatan, cukuplah ia dikenal menjadi petilasan, tempat orang-orang pernah duduk menepi dari hiruk-pikuk, untuk mendengarkan dialog batinnya sendiri sembari ‘berpura-pura’ menyimak bagaimana forum diolah dan penampilan-penampilan dipersembahkan.
Meningkat
Kita hidup di negara yang tidak risau meski tidak punya garis-garis besar haluan yang menjadi panduan pembangunannya. Kita hidup di negara yang tidak gundah membuntuti kemajuan negara-negara lain yang justru mereka sedang menuju arah surutnya.
Meski begitu di Juguran Syafaat amat sedikit mendiskusikan negara. Sebab di samping di antara kita amat minim ilmu ketatanegaraannya, alih-alih kita membicarakannya lebih dahulu tidak sampai hati kita memprihatininya.
Dan memang untuk sekedar belajar arah hidup, belajar haluan masa depan diri dan keluarga, kita tidak harus berharap dari negara. Tidak harus menunggu sosialisasi dari kementerian manapun. Di Juguran Syafaat kita belajar mulai dari ilmu tata cara berfikir, ndeder hasil berfikir sampai menyemai pemikiran.
Semua itu dilakukan bukan untuk membenahi apapun di luar diri kita. Melainkan untuk digunakan bagi kita sendiri, menata hari ini, membidik masa depan dengan mengambil sumber daya dari masa lalu.
Kalaupun negara tidak merasa perlu memikirkan arah dan haluan, minimal masing-masing kita merasa perlu memikirkan dan bertahap mengerjakannya. Kalaulah di dalam muhasabah 5 tahun Juguran Syafaat kita menghitung-hitung kemajuan dan peningkatan, semoga itu bukan urusan eksistensialisme. Melainkan ungkapan syukur bahwa kita mengerjakan apa yang tidak dikerjakan oleh negara sekalipun.
Menjadi
Kalau 5 tahun yang lalu tidak diadakan Juguran Syafaat, kemungkinannya adalah sampai hari ini kita sebatas menjadi jamaah setor kuping. Orang-orang yang lelah oleh hiruk pikuk dan mengalami disorientasi oleh ketiadaan haluan hidup, yang kemudian menemukan ketenteraman dari modalitas auditory-nya.
Simpul-simpul Maiyah menjadi pemacu modalitas kinestetik kita, untuk setelah tentram kemudian mengerjakan sesuatu. Atau minimal mempelajari sesuatu secara praktikum. Kesempatan berpraktek mengembangkan ekspertasi olah forum, literasi, media digital, multimedia dan kesenian.
Sebab ada sejumlah kelas-kelas praktikum di dalam kawah candradimuka kepemimpinan hidup yang masih harus kita tempuh. Sebelum benar-benar setiap kita mampu menerima estafet zaman.
Lepas dari baik atau buruk, benar atau jahat sang sutradara zaman hari ini, mereka adalah the invisible hand yang cakap juga kompak. Lepas dari seberapa baik dan seberapa tulus kita. Harus diukur seberapa jauh proses yang musti kita tempuh untuk menjadi sekompak dan secakap mereka hari ini. Padahal pergantian zaman sudah di depan mata. [] Rizky/RedJS