Gethuk itu produk dari singkong, Rahmatan lil ‘alamin itu produk dari ajaran bernama Islam. Produk keagamaan kita haruslah menjadi sesuatu yang bisa dinikmati oleh siapa saja. Dengan pemahaman semacam itu, maka pluralisme menjadi bukan barang tabu yang mesti kita hindari.
Jadi, pluralisme yang benar itu adalah ibarat gethuk siapa saja boleh menyantapnya. Sedangkan perjuangan pluralisme menjadi keliru bila pemahamannya melampaui menjadi : yang memasak gethuk boleh siapa saja.
Begitulah proporsi perjuangan pluralisme. Di sana kita tetap menjaga dapur tempat kita memasak hanya bagi kita sendiri.
(Diolah dari: Agus Sukoco)