Mukadimah: HOLOPIS KUNTUL BARIS

Momentum itu sesuatu yang bisa kita dapatkan dengan kita menungguinya. Tetapi apabila menunggu sesuatu yang tak pasti adalah pekerjaan yang menjenuhkan, lebih baik momentum itu kita sendiri yang menciptakannya. Untuk menggotong sebuah benda yang berat, beberapa orang dapat mengangkatnya bersama-sama dengan diberi aba-aba agar energi terkumpul sehingga tercipta sebuah momentum. Diaba-abailah “Satu..!!dua..!! tiga..!!” dan sebuah lemari besar pun terangkat.

Aba-aba tak harus ditunggu dari siapa pun. Kita yang sedang menggotong dengan beramai-ramai dan beramai-ramai pula meneriakkan aba-aba itu pun bisa. Ini seperti lazim nya di jaman kakek buyut kita dahulu, mereka menggotong kayu gelondongan berukuran begitu besar, tanpa alat berat. Mereka terbantu oleh teriakan serempak mereka sendiri “Ho..!!lo..!!pis..!!kun..!!tul..!!ba..!!ris..!!”. Beban yang begitu berat pun bisa terangkat. Satu teriakan, satu tahapan gerakan atau langkah. Begitu pulalah, satu aba-aba yang disetia, melahirkan satu tahapan movement.

Kalau hari ini kita sudah beramai-ramai berkumpul, kalau hari ini kita sudah berpadu sinergi tetapi movement yang kita harapkan tak kunjung terjunjung, bahkan di antara kita ada yang begitu solidnya mengorganisir diri, tak cukup itu, mereka me-merger tak hanya waktu dan tenaga bersama-sama, tetapi juga pikiran bahkan hingga modal, ada yang membentuk dari mulai korporasi hingga koperasi,tak sedikit yang staminanya terkuras untuk bejibun program kepedulian sosial dan berbagi, tetapi gelondongan perubahan tampak masih gagal untuk bergeser. Apakah gerangan sebabnya?

Sebab nya jangan-jangan adalah, suara masing-masing kita hanya menjadi suara gaduh belaka, sehingga tidak berfungsi menjadi sebuah aba-aba. Sehingga momentum perubahan pun tak kunjung tercipta.[RedJS]

Mukadimah: DUNYA LA TARHAM

Kok, waktu berjalan terasa begitu cepat? Cobalah toleh orang di kiri kanan dan tanyakan, ternyata banyak dari mereka pun merasa yang sama. Sebuah kebetulan belaka, atau fenomena apakah perasaan kolektif seperti ini? Mungkin fenomena ini adalah salah satu bagian dari sikap dunia. Dunia sedang ingin menunjukkan dirinya bahwa ia tidak lagi berpihak pada kita, kepada umat manusia. Sehingga waktu mempersempit diri, tidak lagi terasa leluasa.

Padahal zaman semakin maju, semakin tak terhitung pencapaian-pencapaian modern yang sudah berhasil di buat umat manusia. Salah satu pencapaian kemajuan itu adalah kita dimanjakan dengan gaya hidup malas. Hingga kenapa sebagian orang ingin kaya? Agar bisa membeli gaya hidup malas. Dunia seolah ada di pihak kita, mau memfasilitasi manusia untuk menjadi malas. Akan tetapi, ternyata malas itu adalah sebuah jebakan. Sebab dunia kini memberlakukan hukumnya : hukum kompetisi.

Kesempatan-kesempatan hanya berpihak pada segelintir orang. Mereka harus berebut untuk lolos. Dan hanya yang beruntung, atau yang sungguh-sungguh, atau yang banyak pahala, atau yang rajin tirakat saja yang pada akhirnya lolos test kemampuan dasar di dalam kompetisi hidup. Sementara terhadap dunia yang semakin menunjukkan sikap tidak berpihaknya, kita tak kunjung sempat bernegosiasi atau sekedar omong-omong untuk ngemong. Malahan kita satu sama lain justru membuat kesibukan sendiri. Yakni sibuk menunjukkan ketidakberpihakan satu sama lain dengan sesama kita. Dari politik sampai ekonomi, ada saja jalan untuk membuat dalihnya.

Memang, menunjukkan ketidakberpihakan itu sebuah hal yang bisa memacu adrenalin. Sensasinya bahkan melebihi sekedar naik kapal setan, tornado dan roller coaster. Ini lebih menantang, lebih menyenangkan.[]

Belajar Alamiah ala Anak Alam

“Di sini ada Sekolah Taman Siswa?”, Tanya Pak Toto kepada saya. Saya menggeleng tidak tahu. Saya baru tahu kalau Sekolah Taman Siswa ada di sini setelah besok harinya diantara peserta bedah buku yang hadir adalah guru di Sekolah Taman Siswa di Purwokerto.

Bapak Pendidikan kita adalah Ki Hajar Dewantoro. Tetapi apa yang Ki Hajar laksanakan di Taman Siswa yang ia dirikan, kita tidak tahu menahu. Yang mainstream berlaku hari ini adalah sistem pendidikan yang masih segaris dengan apa yang menjadi haluan pendidikan Gubernur Jenderal Daendeles, ketika tanah ini masih berpemerintahan Hindia-Belanda.

Kesempatan yang langka, Pak Toto Raharjo hadir lengkap bersama Bu Sri Wahyaningsih atau Bu Wahya, istri Beliau. Pak Toto dan Ibu hadir dalam rangka memenuhi agenda kegiatan bedah buku yang diprakarsai oleh Pemkab Purbalingga.

Buku yang didiskusikan adalah buku “Sekolah Biasa Saja” yang baru saja cetak ulang untuk kedua kalinya. Tidak mainstream, nyleneh dan berkebalikan dengan yang wajar berlangsung, itulah Sanggar Anak Alam (SALAM) Yogyakarta, wahana pendidikan yang menjadi pokok bahasan di dalam buku yang menurut saya justru menyuguhkan sejatinya pendidikan itu harus diselenggarakan seperti apa.

Sejak malam hari sebelum acara, Pak Toto sudah mewedar cara berfikir yang beyond yang membuat saya berkali-kali terbelalak. Dengan runut dan sederhana, meskipun melalui diskusi santai di beranda rumah transit, tetapi Pak Toto bisa membuat saya tersadar harus bagaimana berposisi terhadap realitas hari ini. Realitas keluarga, realitas pendidikan, realitas sosial, hingga realitas politik.

Tanpa doktrin dan tanpa afirmasi, Pak Toto menyadarkan saya bahwa ternyata saya masih terlalu “anggur-angguran”, sehingga menyediakan waktu yang melebihi porsinya untuk menyimak berita politik. Akibatnya, realitas yang lebih penting untuk diperhatikan, justru menjadi terabaikan.

Memang pendidikan itu bukan hanya kewajiban anak-anak saja. Sepanjang kita masih membutuhkan ilmu untuk menghadapi realitas-realitas hidup, sepanjang itu pula kita masih harus terus belajar mendidik diri sendiri.

Acara diskusi berlangsung di Pendopo Cahyana, Rumah Dinas Wakil Bupati Purbalingga. Peserta yang hadir mulai dari kalangan pendidik, mahasiswa hingga ibu rumah tangga. Para penggiat Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) dan penggiat Taman Baca Masyarakat (TBM) juga banyak yang hadir pada acara di hari Minggu (7/10) kemarin. Bukan hanya dari wilayah Purbalingga, tetapi juga Purwokerto, Banjarnegara, Cilacap dan Pemalang.

Dari sistem pendidikan di Salam Jogjakarta, salah satunya Pak Toto dan Bu Wahya menyampiakan bahwa siswanya melakukan riset atau penelitian langsung dalam hal-hal yang nyata. Juga, interaksi langsung dengan para ahli di bidangnya. Jarang sekali sistem belajar-mengajar dilakukan di kelilingi tembok-tembok, papan tulis, dilakukan dengan mendikte dan metode yang mempersulit anak-anak lainnya.

Naelul Fauzi selaku pembedah buku menyampaikan intisari dari bab-bab di dalam buku dengan runut dan dikomparasikan dengan realitas yang Ia hadapi di keseharian sebagai pengajar di daerah terpencil. Sangat menarik apa yg di sampaikan para narasumber, ketika siswa turun ke kebun milik pak tani, melihat langsung, mengamati, meneliti dan apabila ada pertanyaan terkait bisa langsung tanya ke ahlinya, yaitu pak tani. Dan ketika siswa turun ke kebun, ternyata tidak melulu belajar mengenai tanaman, tapi belajar menulis, hitung-hitungan matematika, interaksi sosial dengan kondisi lingkungan, ilmu pengetahuan alam, dan banyak sekali dalam waktu sekaligus termasuk pelajaran agama, karena apabila di simpulkan dari hasil pengamatannya akan mengerucut kepada Sang Maha Pencipta.

Bagaimana semua aspek pembelajaran yang banyak, namun dikonsep menarik bagi para siswa, seperti halnya mainan, menyenangkan namun dasar-dasar mengenai apa itu belajar, tersampaikan dengan apik. Seperti bagaimana falsafah pendidikan sejak awal yang di gaungkan oleh Bapak Pendidikan Ki Hajar Dewantoro, bahwa sekolah itu ada untuk mengisi waktu luang di tengah masa-masa bermain anak, dan sekolah yang pertama kali berdiri adalah taman, bukan sekolah, yakni Taman Siswa.

Kata taman identik dengan keindahan, menyenangkan suasananya dan alamiah. Bukan suasana penjara dimana tembok, pagar besi yang mengelilingi berdirinya sebuah sekolah. Tembok dari segi bangunan, juga tembok pembatas dalam berkreasi, bernalar dan dalam menempuh pendidikan.

Peserta begitu aktif merespon dan bertanya. Hingga acara ditutup tentu masih banyak yang belum terpuaskan, Rizky sebagai moderator acara menyampaikan bahwa Sanggar Anak Alam terbuka untuk siapa saja yang hendak berkunjung atau sekedar mampir, untuk menuntaskan ketidakpuasan di acara tersebut.

Sanggar Anak Alam memang tidak seperti sekolah alam pada umumnya. Yakni bukan sekolah yang harus ada di alam, tetapi bagaimana Pak Toto dan Bu Wahya mengembangkan pemebelajarn untuk anak alam, yakni sesuai kodrat anak, sesuai alamiahnya bakat, modalitas dan gaya belajar anak.[]

Mukadimah: SEMAU-MAUMU

Kita tengah memasuki apa yang dinamakan screen culture. Budaya dimana layar sentuh memalingkan segalanya. Sepetak kecil layar yang membuat berita tidak lagi berjalan satu arah. Sepetak kecil layar yang potensinya mengalahkan mahalnya properti tepi jalan raya. Sepetak kecil layar yang membuka kesempatan bagi banyak orang untuk lebih bisa sama-rata.

Touchscreen dengan segala cache-nya menjadi saksi dari mana diantara kita yang benar-benar sibuk dan mana yang diam-diam masih selow. Sibuk memproduksi konten, atau selow menebar komentar. Sibuk menyerap realitas, atau selow sehingga terbius arus.

Masing-masing menentukan alat analisanya sendiri-sendiri. Apakah kita bagian dari generasi yang adaptif menghadapi cepatnya transformasi teknologi informasi, atau kita adalah bagian dari the nervous generation yang gagap dan gugup digulung kebaruan-kebaruan yang datang dengan begitu cepat.

Mereka membuat hoax dengan semau-mau, dengan berasumsi semua penyimaknya akan termakan terpedaya. Sementara kita memilih menyimak sekadarnya saja sembari terus menerus melatih geraham dan taring berfikir kita, untuk semakin peka mengamati pola-pola manipulasi yang hari ini terjadi. Sebab kita sadar bahwa hoax barulah bentuk manipulasi yang paling kasat mata. Sadar bahwa, yang sedang membombardir kita hari ini dengan begitu halus adalah narasi-narasi yang dibuat dengan semau-mau.

Kita berada di medan ‘Perang Narasi’. Data digunakan untuk melawan data. Fakta digunakan untuk menelan fakta. Data dan fakta dipaksakan untuk membuat sebuah cerita, dipakai untuk membuat argumentasi, yang semuanya dibuat dengan semau-mau. Kabur kebenarannya, digiring kaca mata kudanya sedemikian rupa, disediakan ranjau-ranjau hasutan tak kasat mata. Pikiran-pikiran yang tidak diasah bersiap-siap disihir oleh insepsi alur berfikir yang tidak nalar, yang dibuat dengan semau-mau, entah untuk kepentingan siapa. Sehingga merasa keadaan sedang baik-baik saja.[RedJS]

Mereka Memang Bukan Fanbase

Zaman menjadi kian sibuk. Saking sibuknya, sampai-sampai banyak di antara kita yang tidak lagi punya waktu untuk meneliti motivasi alias niat dari tindakan yang kita lakoni. Fenomenologi ini nampaknya dimanfaatkan dengan apik oleh para penjaja ‘kebencian’. Tanpa sadar, sebagian kita tergerak atau tidak tergerak melakukan sesuatu, menentukan sesuatu atau memilih sesuatu, motivasinya bukan sebuah nilai yang luhur. Melainkan, motivasinya sekedar ‘kebencian’. Yang penting, mereka yang berseberangan dengan saya, jangan sampai menang! Kalau sudah begitu, tanpa sadar kita sudah merusak masa depan kita sendiri.

Rumus movement yang nyaris menjadi mainstream seperti di atas sayangnya tidak berlaku bagi Arek-Arek Bangbang Wetan. Seolah tak sempat bagi mereka mengisi lubang di hati mereka dengan motivasi-motivasi berupa kebencian. Kalau mereka melakukan sesuatu, motivasinya adalah sebaliknya : Cinta dan perasaan suka cita.

Hingga tak terasa, 12 tahun sudah mereka menyelenggarakan sebuah forum yang menjadi assembly point, menjadi titik kumpul bagi siapapun saja yang merasa membutuhkan sinau bareng-bareng tanpa sekat tanpa kualifikasi. Keistiqomahan sepanjang itu, mustahil terjadi apabila energi yang menggerakkan adalah kebencian, atau nilai-nilai nir-murni lainnya.

Mereka mencintai, sebab mencintai, mereka pula dicintai. Twitter @BangbangWetan diikuti lebih dari 33 ribu orang. Fanpage BangbangWetan disukai tak kurang dari 29 ribu orang. Tak pelak Instagram sudah menembus 26 ribu follower.

Semua bermula dari energi mereka di dalam mencintai Mbah Nun dengan demikian tulus. Mencintai yang tidak sekedar, bahkan di hati mereka saya menerka sebetulnya dipenuhi oleh perasaan mengidola. Namun perasaan pengidolaan itu dengan rapi mereka tutup rapat-rapat. Sebab di dalam nilai yang berlaku di tengah komunitas Maiyah, semangat idolatry bukanlah nilai yang keren untuk ditonjol-tonjolkan.

Cukuplah bagi mereka dipendam dalam hati. Lalu diaplikasikan dalam kerja-kerja kepengasuhan yang sefanatik-fanatiknya. Mereka menyambut dan melayani Mbah Nun bisa hingga belasan kali dalam sebulan, dalam berbagai varian forum di mana Mbah Nun hadir di situ.

Seakan tak kenal lelah. Merelakan dicap orang sebagai penganggur. Yang jelas waktu mereka begitu available bagi kerja-kerja pelayanan. Dan bagi mereka para penggiat Bangbang Wetan, Mbah Nun bukanlah Mbah Nun seorang diri, tetapi juga ada Ibu Via ada juga Mas Sabrang lengkap dengan adik-adiknya. Menyambut mereka semua adalah kegembiraan yang tiada berbeda.

Salah seorang penggiat berkisah dengan gembira kepada saya, ketika ia ketiban sampur harus menyambut Mas Sabrang, lengkap hingga menemani sak-delay-delay-nya di Bandara. Dan kejadian seperti itu tidak terjadi sekali waktu.

Pun, begitu dari Arek-Arek itu saya belajar bagaimana mereka memiliki sikap yang begitu care kepada Keluarga nDalem. Entah ada pembagian tugas yang mereka susun rapih, atau memang semua dilaksanakan dengan spontan, masing-masing dari mereka membagi diri untuk mendampingi, mengantar, menjemput, memastikan tidak ada yang kapiran ketika tamu dari Keluarga Menturo hadir.

Pada kesempatan saya membersamai mereka di suatu waktu, saya belajar tentang unggah-ungguh, dari mereka yang di jalanan menampilan diri sebagai bonek, umat protolan, tetapi ketika sedang berperan mendamingi salah seorang keluarga ndalem, hati, perangai penggiat begitu takdzim dan santun. Ing ngarso sung tulodho, sebuah teladan yang baik yang patut saya petik.

Ketika mas sabrang menjadi ambassador sebuah aplikasi penangkal hoax, tidak ada yang melangkah lebih sigap, kecuali arek-arek Bangbang Wetan. Launching perdananya pun berhasil dilangsungkan dengan meriah di Kota Pahlawan beberapa bulan lalu.

Rumusan Silatnas Penggiat Maiyah ke-1 di Batruraden perihal pembenahan literasi, Bangbang Wetan pun tampil di shaf terdepan di dalam berbenah.

Di sebuah forum Musyawarah di Pendopo Rumah Maiyah beberapa waktu lalu, ketika membahas eksperimentasi sosial dan ekonomi, Bangbang Wetan paling banyak disebut-sebut, menandakan sudah begitu banyak eksperimentasi yang sudah mereka kerjakan. Terhenyak saya, betapa sungguh-sungguh mereka mengupayakan munculnya semburat di timur, meriset menjajal menyelenggarakan manajemena aset komunitas, penghimpunan dana sosial, koperasi, merchandising, dan banyak lagi lainnya dengan segenap cerita pilu serta nestapanya.

Jangankan Mbah Nun yang kapiran, bahkan jamaah protolan macam saya saja belum pernah sekalipun waktu berkunjung ke wilayah perdikan Surabaya dan telantar di sana. Sahut-menyahut, bahu-membahu, semuanya meyambut dengan gupuh. Eskpresi dari energi mencintai Mbah Nun yang merambah luas tak bertepi hingga kepada jamaah Maiyah tak pandang bulu, hingga bagi umat protolan seperti saya ini.

Dua belas tahun yang lalu Bangbangwetan berdiri bukan untuk menjadi fanbase bagi Mbah Nun atau bagi KiaiKanjeng. Bukan untuk menggalang masa untuk membuat mania-maniaan. Melainkan Bangbang Wetan bersama-sama dengan lebih dari 60 titik di Nusantara lainnya ingin mengkonstruksi energi positif dari fadhilah Maiyah, dibuatkan ruang transformasi menjadi kemanfaatan yang luas, menjadi sesuatu yang terawat keberlanjutannya. Berharap di negeri ini akan terbangun atmosfir yang saling mendukung pertumbuhan diri satu sama lain. Tidak sebagaimana di luar sana, yang dipenuhi energi saling membenci, saling mengalahkan dan saling mematahkan asa satu sama lain.

Kalau targetnya fanbase, seharusnya mereka sudah punya bendera komunitas yang dikibar-kibarkan setiap berkerumun. Kalau cita-citanya menjadi organisasi kemasyarakatan, jelas tak ada amput-amputnya jika dibanding ribuan ormas yang lahir tahun-tahun belakangan ini dibantu sokongan dana berlimpah dari para pemilik kepentingan. Tanpa target dan cita-cita itu, Bangbang Wetan telah menunjukkan peran nyatanya menjadi bagian dari penumbuhan kecerdasan kolektif. Atas kiprah itu, hayok ormas mana hari ini yang berani menyandingi menandingi?

Selamat ulang tahun Bangbang Wetan yang ke-12. Semoga semburat yang sudah tercipta dapat terus terpelihara, untuk kita pendarkan lagi agar lebih dan lebih mencahayai.[]

Mukadimah: TAKKAN BISA KAU HENTIKAN LANGKAHNYA

Kalau ada di antara kita yang mempunyai gagasan-gagasan baik, kita dukung dengan menerjemahkannya ke dalam langkah demi langkah. Kalau ada di antara kita yang sedang mengerjakan langkah-langkah baik, kita dukung dengan menjaga lurus niatnya. Kalau ada di antara kita yang berhasil mengerjakan hal-hal kebaikan, kita berikan apresiasi dengan seimbang. Termasuk juga kalau ada di antara kita yang gagal mewujudkan itikad-itikad baik, kita dukung dengan menggenapi kekurangannya.

Sebab berbuat baik tidak hanya ada dalam bentuk menyuruh dan melarang, yakni menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang kepada yang munkar, tetapi juga dalam bentuk melibatkan diri memberi dukungan dengan tindakan. Ketika kita berada di depan mendukung dengan memberikan contoh panduan. Ketika kita berada di tengah mendukung dengan hal-hal yang mengisi semangat. Ketika kita berada di belakang kita dukung dengan memberikan dorongan.

Kalau kita tidak bisa memberikan dukungan, paling tidak kita tidak mengendorkan semangatnya. Kalau kita tidak bisa menggenapkan yang kurang-kurang, paling tidak kita tidak menambahkan beban. Kalau kita tidak bisa menghalau hambatan-hambatan, paling tidak kita tidak memadamkam harapannya. Kalau kita tidak bisa menyediakan batu-batu pijakan, paling tidak kita tidak membuatnya frustasi.

Meskipun hanya sekedar mengipuk-ipuk memberi motivasi. Meskipun hanya sekedar ngancani. Meskipun hanya sekedar nggedeake ati. Sebetulnya tidak ada yang nilainya hanya sekedar. Sebab dengan semua itu, setidaknya kita sudah memastikan diri bahwa kita tidak sedang menjadi dream stealer, pencuri mimpi atas orang-orang di dekat kita sendiri.