Di era tahun 2000-an, aktivis dakwah muda akrab dengan yel “Nggak ngaji, nggak trendy”. Kalimat pendek tersebut ampuh untuk mengantarkan masuknya agen-agen dakwah ke dalam sekolah dan kampus.
Kegiatan mengaji tak lagi terlokalisir di pesantren. Kegiatan mengaji juga tidak lagi menjadi milik anak-anak usia dini semata. Pelajar tingkat menengah dan mahasiswa pun menjadi merasa percaya diri untuk rajin mengaji. Nuansa dakwah di kampus pun menjadi hidup oleh adanya kegiatan halaqah, ta’lim dan berbagai jenis forum bermuatan keagamaan lainnya.
Yel tidak sembarang yel. Selain memberi dampak pada masuknya proses dakwah di lingkungan pendidikan secara masif, dampak berikutnya adalah terdukungnya kader-kader dakwah untuk masuk ke gelanggang politik. Partai Islam pun menggeliat kala itu.
Seiring bergulirnya waktu, khasanah Islam juga merambah ranah ekonomi. Setelah ada da’i sejuta umat, kemudian mencuat di tengah-tengah pengenalan publik yakni da’i milyuner. Dimotori oleh Aa Gym dengan brand“Manajemen Qalbu”-nya. Aa Gym berhasil menciptakan aksen entrepreneurship, bahwa pendakwah juga bisa sukses loh.
Tidak berselang lama, hadir ke tengah-tengah umat sebuah istilah baru“Matematika sedekah”. Secara moderat maupun radikal, orang didakwahi untuk mengeluarkan banyak-banyak sedekah. Ustadz Yusuf Mansyur sangtrend-setter getol menceramahi umat dimana-mana bahwa matematika Allah itu 10 – 1 = 19. Sebab setiap satu kebaikan sedekah, balasannya adalah 10 kali lipat.
Kemudian ikut mewarnai khasanah Islam berikutnya adalah duet guru & murid Ustadz Faudzil Adzhim dan Salim A. Fillah. Kalimat yang populer kala itu adalah “Nikah dini keren”.
mereka getol mengangkat tema dakwah yang membuat berbunga-bunga siapa saja yang mendengarnya, yakni pernikahan. Buku nasihat pernikahan karya mereka pun kemudian menjadi pilihan kado favorit untuk dibawa kekondangan kala itu. Seminar Pra-Nikah juga menjamur di kampus dan lingkungan komunitas muda.
Kurang lebih satu dekade, yel-yel tersebut mewarnai khasanah dakwah di negeri ini. Nampak sederhana kalimatnya, tetapi tidak sederhana efeknya. Kemudian waktu terus bergulir, dari yel-yel yang adem dan menenteramkan seperti di atas entah alami atau ada yang mengatur kemudian menjadi berubah.
Menjelang tahun 2010 menjadi ramai yel-yel “Save Palestine”. Kader-kader dakwah digiring untuk memiliki kesadaran internasionalisme dengan melek terhadap gejolak geopolitik di Timur Tengah wa bil khusus di Palestina.
Yel yang tidak adem dan menenteramkan lainnya adalah lahirnya teriakan“Anti Islam liberal” membuat siapa saja yang ber-Islam dengan cara tidak biasa kemudian halal dicurigai sebagai agen JIL (Jaringan Islam Liberal).
Tanpa pernah mencapai klimaks, yel tersebut kemudian meredup. Namun, yel bertema anti-antian entah mengapa setelah itu kok menjadi begitu digandrungi oleh umat.
Berganti dengan yel yang cukup garang, yakni penolakan terhadap aliran-aliran yang dianggap sesat. Yang paling santer diantaranya adalah “Syiah bukan Islam”. Bersamaan dengan memanasnya konflik Arab Saudi dan Iran, muncul resistensi anti Iran juga anti Syiah. Indonesia yang tidak terlibat dalam konflik kedua kubu tersebut tak kalah ramai ikut memekikkan yel-yelnya.
Lagi-lagi tak ada klimaks, sentimen anti syiah kemudian sepi.
Yang tak kalah menarik perhatian massa adalah yel “Anti Tabbaruk-Bid’ah-Churafat”. Pekikkan yel yang berhadap-hadapan dengan terpeliharanya tradisi budaya lokal di tengah-tengah umat.
Belum tuntas terurai anti-antian itu. Lantang yel baru terdengar “Anti Pancasila” dari mereka yang meyakini Khilafah adalah harga mati. Bentuk respons pemerintah atas sentimen terhadap Pancasila ini diantaranya adalah tahun ini mulai dicanangkan yakni Pekan Pancasila. Tidak cukup sehari memperingati hari lahir Pancasila.
Lalu kemudian orang bertanya-tanya, yel apalagi yang akan menjadi ramai setelah ini?
Apakah tidak merasa lelah apabila kita harus mengikuti silih bergantinya yel demi yel? Terlebih, kita tidak pernah tahu berganti-gantinya yel-yel itu apakah memang alamiah atau ada yel-setter nya?
Untungnya agama bukan sekedar yel. Karena kalau agama hanya sekedar yel, maka mudah sekali umat dikendalikan oleh pemilik kepentingan. Di satu waktu lantang berteriak tentang stau hal, di waktu yang lain mendadak diam. Diam bukan sebab kebenaran yang ia teriakkan telah terwujud, tetapi diam sebab yang lain juga sudah menjadi diam. Diam sebab setting yel-nya sudah ada yang mengganti.
Maka menjadi PR bagi kita, apabila konsentrasi beragama kita masih seputar teriakan-teriakan yel, berarti harus lebih telaten kita untuk mendalami agama. Sebab yang lebih mendalam dari agama adalah bagaimana kita menjadikan agama sebagai sarana untuk menuju Tuhan.
Kalau pemahaman dalam beragama sudah sedalam ini, yel berganti-ganti tak membuat kita kepincut untuk latah mengikuti.
Kalau pemahaman dalam beragama sudah sedalam ini, bahkan kita tidak lagi meyakini bahwa adanya agama adalah wujud dari adanya keberagaman.
Sebab orang beragama itu sejatinya seragam, yakni sama-sama menuju Tuhan. Caranya saja yang beragam, berbeda satu dengan lainnya. [] Rizky Dwi Rahmawan