Reportase: Transformasi ataukah ‘TransBengkalai’

Reportase Maiyah Juguran Syafaat September 2017

Subjek dan Kebahagiaan

Bulan demi bulan pada kurun waktu terakhir Juguran Syafaat dirundung kabar-kabar yang membahagiakan. Akhirnya sepasang demi sepasang penggiat Juguran Syafaat bertemu dengan yang seharusnya memang ditemukan. Maka tiba juga saatnya bagi masing-masing tersebut untuk mengakhiri masa-masa penindasan dan pem-bully-an sebab takdirnya menyandang status jomblo. Telah tiba saatnya untuk mulai sibuk menyiap-nyiapkan diri, mengerjakan transformasi hidup.

Nderes Qur`an sebelum acara dimulai. Foto: Anggi FS

Nuansa sukacita oleh karena dirundung bahagia tersebut kemudian disempurnakan dengan persembahan nomor-nomor dari KAJ The Accoustic. Lagu “Akad” kepunyaan Payung Teduh dibawakan oleh Fadhel pada vokal, lalu ada juga Alda yang menyuguhkan “Surat Cinta untuk Starla”. Sehingga nyaris sempurnalah kebahagiaan sedulur-sedulur Maiyah yang malah hari itu datang untuk ber-juguran bersama-sama di Pendopo Soepardjo Roestam, Sokaraja, Banyumas.

Pada putaran ke-54 kali ini, Juguran Syafaat mengangkat tema : Transformasi ataukah ‘Terbengkalai’. Selama hampir lima tahun perjalanan Juguran Syafaat ada banyak transformasi-transformasi yang telah dilakukan. Diantaranya dari segi publikasi, kalau dulu masih half offline-half onlinesaat ini sudah full online. Poster dan Banner kegiatan tidak lagi ditempel dan di pasang di spot-spot pinggir jalan, kampus-kampus atau tempat umum, tetapi sekarang sistem publikasi sekarang diorganisasi melalui media online.

Pemfokusan sistem publikasi event pada media Online alasannya adalah sebab titik tumpu efektivitas publikasi saat ini ada pada media online. Lalu alasan lainnya adalah dalam rangka agar persiapan penyelenggaraan Juguran Syafaat bisa sesederhana mungkin dengan tidak membuat repot siapapun sama sekali bila perlu. Sebab memang Juguran Syafaat bukanlah kegiatan yang diada-adakan. Karena sesuatu yang diada-adakan biasanya mengandung kepentingan tertentu.

Sebagaimana termaktub pada mukadimah kegiatan, Juguran Syafaat  hendaknya disesuaikan agar tidak jauh-jauh amat keluar dari irisan-irisan peri kehidupan individu-individu yang nyengkuyung-nya. Karena yang harus diingat adalah bahwa subyek Juguran Syafaat bukanlah wadah atau identitas dari Juguran Syafaat, melainkan subjeknya adalah orang-orang yang  ikut terlibat di dalamnya.

Maka kalaulah di dalam penyelenggaraan Juguran Syafaat harus ada target. Target paling maksimal adalah bagaimana sebisa-bisa forum juguran ini bisa menjadi kebagaiaan bagi seluruh subjeknya.

Mengambil “Sate” Kebahagiaan

Hal yang selaras dengan visi penyederhanaan forum tersebut contoh lainnya adalah pada sesi awal Juguran Syafaat selalu diisi dengan sesi “Satu jam bersama KAJ The Accoustic”. Mulai jam 20.00 sambil menyambut jamaah yang hadir KAJ tampil. Penampilan tersebut sekaligus sebagai sarana latihan pemantapan bagi para musisi KAJ The Accoustic. Metode ini bertujuan untuk mengefisienkan durasi latihan.

Satu Jam bersama KAJ The Accoustic. Foto: Anggi FS

Usai “Satu Jam bersama KAJ The Accoustic” tepat jam 21.00 dimulailah seremoni Tilawah dilanjut dengan Tawasul dan Sholawat bersama-sama. Kemudian forum dilanjutkan dengan diskusi ringan yang dimoderatori oleh Karyanto dan Kukuh. Dinamika menang dan kalah kesebelasan kebanggaan U-19 menjadi sorotan diskusi. Bahwa prestasi tidak melulu bergantung pada menang dan kalah, tetapi bagaimana kualitas permainan. Sedangkan kualitas permainan hadir sebab dari awal pembibitan sudah baik adanya.

Mas Agus Sukoco dan Mbah Hadiwijaya bergabung bersama-sama jamaah pukul 22.30. Mas Agus Sukoco nggelar klasa dengan tema besar ‘kebahagiaan’. Bahwa Tuhan hanya menganugerahkan kebahagiaan, kesengsaraan tidak. Maka hendaknya kita sibuk mengambil hak dari Tuhan yang bernama kebahagiaan itu.

Analogi yang disampaikan Mas Agus adalah, Tuhan memberi kepada kita sate, tetapi kita malah pusing sendiri tak kunjung menemukan posisi sate berada dimana. Begitulah, Tuhan hanya memberikan sate, tidak memberikan pusing. Pusing itu dibuat sendiri oleh kita.

Mbak Mukminati merespons bahwa analogi yang dibeberkan Mas Agus selaras dengan tadabbur di surat Al-Qomar bahwa Tuhan tidak memberikan kemiskinan, Tuhan hanya memberikan kekayaan dan kecukupan.

Kusworo mengelaborasi bahwa adanya kesengsaraan yang harus dideteksi pertama kali adalah pada ranah dismanajemen.

Menakar Usia Juguran Syafaat

Giliran Mbah Hadiwijaya menyapa jamaah. Pelukis senior Banyumas yang juga pensiunan guru Sejarah SMAN 4 Purwokerto ini setia hadir pada juguran demi juguran. Mbah Hadiwijaya mengaku kangen dengan kebahagiaan yang tercipta di tengah kebersamaan semua yang hadir pada setiap Juguran Syafaat.

Menakar usia Juguran Syafaat. Foto: Anggi FS

Mbah Hadiwijaya memantik jamaah untuk menerka-nerka apakah NKRI ini akan berumur panjang atau pendek. Hendaknya kita harus berkaca pada apa yang termaktub dalam sejarah. Kerajaan Demak hanya bertahan 48 Tahun. Kerajaan Pajang lebih pendek lagi, sebab ia hanya transformasi menuju kelahiran Kerajaan Mataram atau hari ini adalah Yogyakarta.

Dari apa yang disampaikan Mbah Hadiwijaya, Rizky menarik refleksi tentang sejauh mana jangkauan berpikir kita sebagai penggiat dan jamaah Maiyah. Kalau forum PadhangmBulan sudah hampir 25 tahun, lalu akan seberapa lama usia dari forum Juguran Syafaat ini? Ajakan Rizky untuk memiliki jangkauan jauh ke depan ini terpantik juga oleh Fikry. Ketika memberikan respons, Fikry menyampaikan keluhannya merasa masih sangat terbatas bisa memiliki intensitas untuk berkumpul bersama dulur-dulur Maiyah. Fikry memohon ijin untuk harus lebih banyak membersamai anak dan istri sebab anak masih usia batita.

Artinya, Fikry memiliki jangkauan berpikir bahwa Juguran Syafaat ini masih akan berlangsung lama, setidaknya setelah anak-anak tumbuh besar, bisa disapih, maka ia mempunyai kesempatan untuk intens secara lebih.

Lebih jauh lagi jangkauan berpikirnya, Rizky mendoakan secara khusus semoga Zidan dan Zahid dua anak laki-laki Fikry nantinya akan menjadi penerus setia dari Maiyah. Entah pada masanya nanti sudah bertransformasi menjadi seperti apa bentuk-bentuk Maiyahan berlangsung.

Kok Malah Ketinggalan dari Barat?

Dunia Barat saat ini sedang habis-habisan menggali segala sesuatu yang diluar nalar manusia. Fikry menyambung respons dengan  memberikan sharingtentang apa yang sedang intens ia simak. Ia menyimak tengang penelitan Barat yang sudah sampai pada pemahaman bahwa manusia itu sesungguhnya saling terhubung satu sama lain. Dan setiap orang bisa mengakses masa lalu dan masa depan.

Juguran Syafaat September 2017. Foto: Anggi fs

Ternyata ilmu pengetahuan Barat sudah mulai paham bahwa mengakses masa lalu adalah pintu gerbang untuk mengakses masa depan. Lebih jauh harus ditanyakan lagi, apakah misalnya pergi ke kuburan yang notabenenya adalah tempat leluhur masa lalu bersemayam adalah murni peristiwa klenik, dan seterusnya.

Pak Hardi seorang pekerja Sosial di Banyumas kemudian bergabung dan turut mengelaborasi. Dari pengalamannya melakukan jelajah sejarah lokal Banyumas, Pak Hardi sepakat dengan yang disampaikan oleh Fikry bahwa ada banyak pola-pola yang terjadi dalam sejarah yang sebetulnya adalah bahan forecasting atau pemroyeksian masa depan.

Menanggapi perihal pergi ke kuburan, Mas Agus Sukoco membuka tema diskusi Juguran Syafaat awal-awal. Pertama, bahwa ketika saya pergi ke kuburan, Mas Agus Sukoco menuturkan, maka saya tidak sedang menemui orang mati. Cara berpikirnya harus tidak boleh materialisme. Kita datang sebab sedang membangun persambungan dengan orang yang hidup di dimensi berbeda. Leluhur itu hidup, hanya saja hidup dengan cara yang berbeda dengan cara kita hidup. Klenik adalah ketika kita meminta pada benda mati, salah sendiri membangun konsep mati seperti itu.

Kedua, bahwa leluhur itu bukan masa lalu, tetapi masa depan. Sebab, Mbah dan Buyut kita di sana itu sudah menempuh rute dari apa yang hari ini belum kita tempuh. Begitulah, seinci pergeseran cara berpikir saja bisa menyebabkan perubahan dalam hidup.

Bahagia Tanpa Syarat

Bagi seorang calo motor, seluruh alam dunia dianggap adegan primernya adalah jualan motor. Sama halnya seperti orang yang masuk komunitas burung dara, komunitasnya, informasinya apa saja yang ia jumpai adalah tentang burung dara. Begitulah kita sangat tergantung dalam kesadaran mana kita berada.

Tuhan itu menjatah kita kebahagiaan. Foto: Anggi FS

Pun demikian ketika kita berada pada keadaran bahwa kebahagiaan adalah hak kita yang diberikan oleh Tuhan. Maka, untuk bahagia kita kita tidak lagi harus menunggu negara menjadi maju dahulu. Iya, kalau negara nantinya maju.

Lebih lanjut Mas Agus Sukoco mengurai bahwa Tuhan itu menjatah kita kebahagiaan. Sementara informasi di Qur`an, kita diciptakan Tuhan untuk mengabdi. Maka yang sesungguhnya berlaku di bumi adalah sebuah sistem di mana bumi hanya menerima pengabdi, selain pengabdi tertolak.

Sistem bumi sebagai ruang pengabdian membuat kalau seseorang enggan membangun kesadaran dan sikap sebagai seorang pengabdi, maka siap-siaplah ia kehilangan hak kebahagiaan. Walhasil yang muncul adalah penderitaan dan kesengsaraan.

Bepikir transformatif itu bagaimana kita harus menemukan satu kesadaran bahwa meskipun kita hidup di tengah keadaan yang seolah-olah tidak memungkinkan untuk bahagia, kita tetap bisa memutuskan untuk merdeka dengan bahagia.

Rusaknya sistem sosial dan lain-lain itu urusan yang sifatnya luas. Tapi yakinilah bahwa Tuhan mempunyai otoritas atau kewenangan untuk menaikkan kita agar tidak terkena oleh efek kerusakan hidup. Cara mendaftarnya adalah dengan bagaimana kita selalu berupaya berpikir transformatif.

Di antara bekal untuk berpikir transformatif adalah hendaknya kita mempeluas radius berpikir kita. Bahwa tidak semua yang tidak kita tahu itu tidak ada. Bahwa persoalannya kita belum tahu, itu soal kita belum mencapainya. Analoginya adalah jangan sampai kita menjadi seperti ikan yang mentahayulkan dan membid’ahkan katak ketika katak mengabarkan bahwa di luar air itu ada habitat bernama daratan.

Semakin Luas Jangkauan, Semakin Berkualitas Proses Tranformasi

Di tengah sesi sempat Fadli merespons dengan berkeluh kesah tentang masa depan petani. Persoalan komplek mengenai menurunnya jumlah petani dan hilangnya jiwa petani direspons oleh Pak Slamet dan KAJ dengan lagu “Pak Tani dari Koes Plus.

Menyanyikan lagu Pak Tani dari Koes Plus. Foto: Anggi FS

Pak Hardi dengan dilengkapi Fikry mengurai panjang lebar mengenai radio dan frekuensi. Hikmah yang bisa dipetik diantaranya adalah bagaimana hasil proyeksi kita atas segala sesuatu akan ditentukan oleh jauh dekatnya jangkauan yang kita bangun.

Memang benar bahwa kualitas transformasi akan dipengaruhi oleh seberapa jauh daya jangkau kita. Bahkan apabila tanpa daya jangkau, sebuah perubahan yang hari ini nampaknya sebuah transformasi adalah sesuatu yang kelak di kemudikan hari dikenang sebagai proses menuju keterbengkalaian.

Lebih mistis Pak Hardi mengurai bagaimana sistem frekuensi pada saat kita mencoba membuat persambungan dengan luluhur itu bisa dipelajari. Dalam etika radio, Pak Hardi menjelaskan, siapa yang paling berkualitas adalah siapa saja yang ketika dipanggil dia yang paling cepat nyaut merespons.

Sebagai penutup, Mas Agus Sukoco menyampaikan bahwa hendaknya kita memiliki seluas-luasnya jangkauan. Seluas-luasnya jangkauan adalah kita jangan sampai ditindih oleh bayangan masa depan dan diberatkan oleh beban penyesalan masa lalu. Sebab itu membuat kita kehilangan kesempatan mengerjakan masa kini.

Seluas-luasnya jangkauan adalah masa lalu dan masa depan dijadikan bahan-bahan untuk mengerjakan hari ini. Masa lalu dan masa depan ada di dalam hari ini. Ruang dan waktu ada di dalam diri kita. Kuda-kuda yang tepat untuk memiliki cara berpikir tersebut harus senantiasa kita upayakan setiap saat.

Begitulah Juguran Syafaat berlangsung sampai 02.40 dinihari ditutup dengan bersalam-salaman diiringi Sholawat. [] RedJS

Previous ArticleNext Article