Di awal masa berdirinya NKRI yang ditandai dengan peristiwa Proklamasi 1945, di tanah ini bernaung tidak kurang 782 kerajaan. Kerajaan-kerajaan tersebut mendiami sebuah teritori wilayah terentu di tanah Nusantara ini. Hingga saat ini, sebagian dari kerajaan-kerajaan tersebut masih eksis, menggabungkan diri dalam Asosiasi Kerajaan dan Kesultanan Nusantara.
Penduduk di kerajaan-kerajaan tersebut adalah kelompok masyarakat yang menjadi bagian dari yang kita kenal sebagai orang Pribumi. Atau sebutan lainnya adalah Bumiputera. Selain dari penduduk yang menjadi bagian dari kerajaan-kerajaan Nusantara, terdapat pula masyarakat yang juga tinggal di sejengkal tanah Nusantara, hidup di tanah-tanah perdikan, yakni wilayah yang berada di luar otoritas kerajaan manapun.
Sejak Pra Kemerdekaan, orang Pribumi menempati kasta terendah. Kasta tertinggi melekat pada orang-orang Hindia-Belanda dan Jepang. Kemudian kasta kelas dua dilekatkan pada orang-orang Tionghoa dan Arab. Orang Hindia-Belanda merupakan kasta tertinggi, sebab memang Hindia-Belandalah yang berdaulat menjalankan pemerintahan di tanah Nusantara saat itu. Sedangkan Jepang barulah menjadi bagian dari kasta tertinggi, setelah dunia mengakui kemenangannya atas perang terhadap Rusia. Sementara itu Tionghoa dan Arab menempati kasta kedua, karena memang strata ekonomi mereka yang relatif mapan, yang tidak lain kebanyakan adalah kaum saudagar.
Oleh karenanya, pada saat pra-Kemerdekaan kala itu, orang sulit untuk bangga dijuluki seorang Pribumi. Stigma ekonomi paling rendah, dari pusaran kekuasaan paling jauh keberadaannya. Tidak sedikit orang-orang yang justru berjuang untuk menjadi bagian dari kasta yang paling tinggi. Caranya adalah dengan ngenger kepada pemerintahan Hindia Belanda yang berkuasa saat itu. Tak apa hanya menjadi antek Hindia-Belanda. Asalkan derajatnya bisa sedikit naik dibanding orang Pribumi.
Kemudian setelah puluhan tahun NKRI merdeka, saat ini sentimen pribumi dan non-pribumi menyeruak kembali. Namun, situasinya adalah kebalikannya. Jika dulu orang enggan untuk distigma sebagai seorang Pribumi, akan tetapi hari ini yang terjadi justru kebalikannya. Banyak orang orang ingin diakui ke-Pribumi-annya.
Di satu sisi ada kebanggaan, bahwa Nusantara sekarang sudah menjadi identitas yang membanggakan. Mungkin disebabkan oleh segala kemajuan dan kemasyhurannya. Tetapi di sisi lain, membetikkan pertanyaan juga, ada apa gerangan semua ini? Terlebih polaritas Pribumi dan non-Pribumi justru terjadi memanas di pusat-pusat metropolitan, dan juga di pusaran-pusaran intelektualitas.
Beberapa orang mencoba menyelisik dari banyak parameter untuk mengurai polaritas Pribumi dan Non-Pribumi. Ada yang berdasarkan sejarah eksodus masyarakat Nusantara sejak era purbakala. Ada pula yang menyelisik berdasarkan komposisi genetik manusia Nusantara, dimana ada unsur genetik ras-ras dunia berkumpul di tubuh manusia Nusantara.
Namun, jangan-jangan persoalannya tidak serumit itu. Tidak menyangkut urusan sejarah kepurbakalaan dan komposisi gen. Sentimen Pribumi dan Non-Pribumi yang hari ini nglilir hanya disebabkan oleh masyarakat Nusantara bangun dari amnesianya. Yakni amnesia pada kondisi sosiologis di era Bayi NKRI lahir. Dimana ratusan kerajaan Nusantara dan ribuan tanah perdikan, di stratifikasi sosial hanyalah mendapat terbawah. Terungguli oleh kaum saudagar dari Timur Tengah dan Utara sebab mereka menang secara kapasitas ekonomi.
Yang patut dicurigai menjadi sebab kebangunan kesadaran masyarakat adalah, masyarakat terhenyak oleh tidak berubahnya piramida dominasi ekonomi. Dimana hari ini fakta yang tersaji adalah lebih dari 70% penguasaan ekonomi masih dipegang oleh mereka yakni para kaum saudagar.
Sementara orang-orang yang menjadi bagian dari kerajaan Nusantara dan tanah-tanah perdikan yang bernaung di jengkal-jengkal tanah Nusantara ketika NKRI berdiri kala itu tetap saja berposisi jauh dari keadilan ekonomi.
Yang mendominasi ekonomi saat ini bukan berasal dari etnis yang memang menempati sebuah wilayah di peta Nusantara pada saat NKRI berdiri. Bukan oleh etnis Aceh, Batak, Melayu, Betawi, Sunda, Jawa, Madura, Dayak, Bugis, Ambon atau tidak juga etnis Asmat. [] Rizky Dwi Rahmawan