Peribahasa? Sudah Lupa Tuh!

“Ada gula, ada semut”. Meskipun di peradaban semut tidak dikenal produk kebudayaan bernama peribahasa, tetapi dari masa ke masa para semut itu senantiasa setia pada peribahasa tersebut.

Peribahasa adalah sekelompok kata atau kalimat yang di dalamnya mengandung suatu maksud menyangkut keadaan, kelakuan atau perbuatan tertentu. Di dalam peribahasa biasanya terkandung aturan dasar perilaku manusia dalam kaitan keberadaannya berada di tengah-tengah masyarakat.

Peradaban manusia mengenal begitu banyak peribahasa. Peribahasa yang mencakup ungkapan, pepatah, perumpamaan, pengibaratan juga tamsil adalah pesan-pesan yang terbebas dari nilai agama dan hukum positif. Namun begitu, peribahasa sering kali menjadi tolok ukur atas baik atau buruk dan indah atau jeleknya sebuah perilaku di tengah-tengah masyarakat.

Kalau peradaban semut tetap setia pada peribahasa dengan tetap tidak bergeming memburu gula, berbeda dengan peradaban manusia masa kini. Ada yang sadar tetapi banyak yang tidak, kita telah melupakan peribahasa-peribahasa yang sebetulnya begitu masyhur di tengah-tengah masyarakat.

Susunan kata atas peribahasa-peribahasa itu mungkin masih rapih tersimpan di buku-buku, juga masih lekat dihafal di benak kita, akan tetapi kandungan pesan yang ada di dalamnya sepertinya sudah pudar menghilang.

Sebut satu contoh peribahasa masyhur “Tong kosong nyaring bunyinya”.  Nyaringnya suara tong adalah pertanda bahwa tong itu kosong. Ketika kandungan pesan yang ada di dalam peribahasa tersebut masih diugemi, orang merasa malu kalau harus nyaring berkoar-koar. Karena akan ketahuan itu pertanda ia hanya ‘tong kosong’ alias ketahuan bahwa pikirannya céthébelaka.

Namun, bukankah hal itu tidak berlaku hari ini? Di jagad sosial media orang justru beradu nyaring. Berharap status dan cuitannya paling melengking didengar orang. Ini seperti kebanggaan jenis baru, sebuah kebanggaan yang tidak diimbangi dengan kesadaran bahwa melalui media sosial begitu mudah orang melacak identitas dan kapasitas diri kita. Akan tetapi memang sepertinya orang tidak lagi peduli, mau ketahuan tong kosong atau bukan tidak menjadi soal.

Contoh peribahasa lainnya yang juga sudah ditinggalkan kandungan pesannya adalah “Karena nila setitik, rusak susu sebelanga”. Setitik nila adalah perlambang atas hal yang remeh temeh, tetapi apabila tidak diwaspadai kehadirannya dapat merusak nilai yang lebih besar (susu sebelanga).

Kemajuan teknologi saat ini mempeluangi orang untuk semakin mudah pamer. Potret dan video mengembang fungsinya tidak lagi melulu untuk urusan dokumentasi. Kalaulah orang membantah dirinya sedang beraksi pamer, yang lebih halus untuk diwaspadai adalah riya’.

Sangking halusnya riya’, sangking lembutnya setitik riya’, bahkan orang yang mengaku tidak sedang riya’ pun tidak jaminan ia benar-benar tidak sedang riya’.

Namun, kewaspadaan kita terhadap riya’ hari ini nampak begitu kendur. Aksi sumbangan sosial dengan diumum-umumkan itu sudah menjadi hal yang biasa. Pada saat tawaf mengitari ka’bah sambil selfie dirasa sebagai hal yang lumrah adanya.

Susunan peribahasa tersebut hari ini sepertinya sudah menjadi terbalik. Susu yang sebelanga sudah tidak dipedulikan. Yang dipedulikan adalah nila, nila dan nila.

Kondisi di atas menggambarkan betapa kita harus mengacungi jempol kepada para semut. Sebab ia lebih setia terhadap peribahasa, setia terhadap gula, setia pada fitrahnya.

Satu gambaran kondisi lagi, pemandangan hari ini kita menyaksikan orang-orang begitu percaya diri dengan rencana-rencana, siasat-siasat bahkan konspirasi-konspirasi yang mereka susun. Dari level rumusan tingkat negara bahkan sampai sekedar konstelasi tingkat RT atau lingkup yang lebih kecil lagi.

Orang-orang sangat percaya diri dengan kepandaiannya. Seolah-olah semua akan berjalan mulus sesuai dengan kehendaknya. Seolah-olah tidak mungkin mereka gagal. Mereka lupa bahwa “Sepandai-pandainya tupai melompat, adakalanya jatuh jua”. [] Rizky Dwi Rahmawan

Previous ArticleNext Article