Refleksi Hari Pahlawan
Di zaman ini Bangsa kita diberi anugerah yang disebut dengan Bonus Demografi. Pada tahun-tahun ini dan terus akan mencapai puncaknya pada seputaran 2030 kita akan dilimpahi jumlah penduduk usia produktif, usia angkatan kerja.
Menjadi anugerah bonus demografi itu adalah ketika ketersediaan sumber daya manusia produktif berimbang dengan ruang-ruang dan lahan-lahan produktif yang tersedia. Namun sebaliknya, bisa berpotensi menjadi malapetaka ketika ruang-ruang dan lahan-lahan produktif tidak memadai jumlahnya.
Tidak perlu membayangkan kengerian petaka seperti apa, hari ini saja kita sudah mengalaminya. Bagaimana orang berebut atas jumlah lapangan kerja yang semakin mengecil rasio ketersediaannya.
Belum lagi persoalan ketimpangan pendapatan. Dua orang lulusan dari satu sekolah yang sama, salah seorang dari mereka mendapat posisi pekerjaan dengan gaji selangit sementara seorang lainnya nyaris mati putus asa berburu lowongan. Terbayangkankah bagaimana ketegangan batin antara dua orang itu?
Belum lagi ketegangan itu diperbesar skalanya sampai sejumlah produksi baju toga wisuda. Kalau di absen, hampir tiada hari tanpa wisuda di Negeri ini, betapa laju pertambahan usia siap kerja amat sulit dikejar, bukan?
Kalau yang disebut petaka adalah kebakaran rumah, hari ini kita menyaksikan ‘puntung rokok’ potensi sumber kebakaran adanya dimana. Ya, di awal zaman bonus demografi, ditengah terus berhimpit-himpitannya para pencari kerja.
Siapapun yang dapat melihat puntung rokok tersebut, sebetulnya dia melihat peluang aksi kepahlawanan. Itu kalau terminologi pahlawan masih menisbat pada orang yang berhasil menyumbang solusi untuk zaman mendatang. Berbeda cerita apabila pahlawan sudah bergeser pengertiannya. Misalnya, pahlawan adalah siapa saja yang berhasil menuruti selera publik.
Apakah mungkin pengertian pahlawan menjadi bergeser? Pertanyaan itu dikembalikan kepada diri kita masing-masing. Bahwa selain deretan nama pahlawan yang ada di daftar pahlawan nasional, selanjutnya siapa sajakah yang hari ini sedang kita subya-subya keberadaannya?
Sudah ditelitikah orang-orang yang kita subya-subya itu, apakah mereka sedang bersungguh-sungguh menyiapkan zaman baru, termasuk mengatasi potensi petaka masa mendatang salah satunya petaka bonus demografi, ataukah orang-orang yang kita idolakan itu nampak ‘wah’ bak pahlawan sebab berhasil memenuhi selera publik?
Misalnya publik sangat berselera dengan Singapura, Jepang dan Korea dengan segala kemajuannya. Maka apa saja sumber daya yang ada diorientasikan untuk bagaimana kita ke-Singapura-Singapura-an, Ke-Jepang-Jepang-an atau Ke-Korea-Korea-an.
Yang semua itu belum tentu berhubungan dan mensolusii masalah yang nyata-nyata akan hadir di hadapan kita, yang hari ini percik-perciknya saja sudah begitu mengerikan.
Tulisan ini semata-mata lahir dari kegundahan penulis yang tak kunjung menemukan hubungan yang masuk akal antara gencarnya pembangunan infrastruktur yang menggiurkan selera masyarakat negeri ini, dengan apa yang benar-benar dibutuhkan oleh anak negeri ini : penciptaan lapangan kerja yang masif.
Kalaupun ada hubungannya, terciptanya lapangan kerja yang masif adalah efek saja, bukan target utama. Sebab target utama adalah negeri kita nampak makmur seperti Singapura, Jepang dan Korea.
Padahal bahkan jika rintisan penciptaan lapangan kerja berhasil mencapai sejumlah yang akan dibutuhkan di zaman bonus demografi mencapai puncaknya nanti, belum jaminan solusi sudah dipegang.
Bagaimana kalau setiap anak negeri taruhlah semua bisa bekerja dan berpenghasilan, apakah mereka mampu menjadi generasi yang memiliki kontrol gaya hidup yang memadai? Sebab, apalah gunanya pekerjaan dan penghasilan, kalau gaya hidupnya tidak pernah puas, selalu merasa kurang.
Nyata-nyata hari ini kita butuh program pembangunan yang seimbang, bukan hanya infrastruktur tetapi juga suprastruktur. Peluang kepahwalanan hari ini ada di situ.[] Rizky D. Rahmawan