Mukadimah : Tradisi Diskusi

Kita mungkin masih bisa melacak sejak kapan masyarakat kita menganut tradisi menonton diskusi. Yakni sejak tontonan-tontonan diskusi berupa talkshow dan sejenisnya menjamur di channel televisi. Namun yang pasti, kita akan kesulitan melacak sejak kapan masyarakat kita menjadikan diskusi sebagai tradisi hidup sehari-hari. Di desa atau di kota, di dalam ruangan atau di luar ruangan, dengan atau tanpa meja, diprogramkan atau spontanitas, diskusi-diskusi sudah demikian melekat dalam tradisi keseharian masyarakat kita sejak entah dimulai di jaman kapan.

Tradisi njugur, nyangkruk atau kongkow kemudian dihadapkan pada keniscayaan modernitas yakni mewabahnya individualisme. Hingga pada akhirnya orang kemudian jengah dengan gempuran gaya hidup individualistis.  Akan tetapi, orang-orang kadung tidak lagi memiliki kompetensi diskusi yang  baik. Skill berdiskusi tidak lagi malakah mendarah daging sebagaimana matangnya kecerdasan interpersonal mbah-mbah kita jaman dulu . Kecerdasan alamiah yang menjadi modal dasar membangun hidup yang kaya raya : sugih sedulur.

Bisa jadi hilangnya skill kompetensi dan menurunnya kecerdasan jenis tersebut yang membuat tradisi menonton diskusi menjadi hal yang begitu dinikmati oleh kebanyakan diantara kita. Juga fenomena ketimbang berdiskusi dengan kawan di kiri-kanan saat perjalanan, orang kini lebih happy memasang handsfree memilih berdiskusi dengan entah siapa di balik layar berukuran tidak lebih dari 6 inchi.

Entah apapun bentuk pilihan diskusinya, kita mendapati ada diskusi yang menyenangkan, ada pula diskusi yang menjenuhkan. Ada diskusi yang menyelesaikan masalah, juga ada diskusi yang justru menambah jumlah masalah. Yang disalahkan mungkin bukan diskusinya, melainkan manusia yang berdiskusi. [] RedJS

Previous ArticleNext Article