Sepanjang sudah menjadi kelaziman umum, suatu hal tidak akan disebut sebagai sebuah tindakan berlebih-lebihan. Misalnya, dalam hal kita memandang pembangunan di negeri ini.
Lazimnya membangun adalah menjadi lebih gemerlap, menjadi lebih mewah. Sebuah negara sudah selazimnya dibangun sedemikian rupa, agar bisa mendekati apa yang kita bisa saksikan di negara-negara maju.
Terlebih negara ini, setelah tercengkeram dalam rezim panjang yang dirasa orang begitu kakunya sehingga tirakat menjadi kewajiban penuh setiap warganya, maka hari ini adalah giliran kita untuk menikmati pesta poranya membangun.
Setidaknya pembangunan yang sifatnya fisik hari ini bisa kasat dilihat oleh mata bagaimana pesatnya. Hari ini tampaknya tak ada satu pun kota yang tidak memiliki taman-taman indah sebagai landmark-nya. Tiap jengkal jalan aspal perlahan tapi pasti terus-menerus dibuat semakin lebar. Lampu-lampu yang kian gemerlap, bangunan-bangunan dibuat kian modern.
Satu kota berkompetisi dengan kota lainnya, tak ada yang mau dianggap tertinggal dalam membangun. Kemajuan yang sekarang dipunyai Singapura tampaknya tak lama lagi segera tersusul. Negara kita sebentar lagi tak perlu lagi inferior dihadapan tetangga-tetangganya. Ini berkat kita terus membangun, membangun dan membangun.
Namun ada yang mesti kita coba sadari. Bahwa dari gencarnya pembangunan itu, adakah kita sudah menakar atau setidaknya mengira-iratentang berlebih-lebihan atau tidaknya pembangunan itu? Andaipun ada yang sudah mengira-ira, jelas jawabannya adalah: tidak ada sisi berlebih-lebihan sama sekali dari pembangunan kita.
Apa sebab? Sebab masih banyak negara yang jauh lebih maju dari apa yang bisa dibangun oleh negara kita hari ini. Sebab lainnya mungkin kita telah kelalahan karena sudah terlalu lama bernegara dalam rundungan keterbatasan dan keprihatinan.
Padahal berlebih-lebihan atau tidak bisa tetap dilihat dan diukur. Misalnya, sumber dana yang digunakan untuk membangun yang tidak sedikit itu, memang berasal dari dana yang negara miliki atau dana yang memang secara sengaja diada-adakan?
Atau lainnya, taruhlah kita membuat skala prioritas, apakah tidak ada program pembangunan yang sebetulnya lebih prioritas justru terabaikan oleh program-program pembangunan lainnya yang kalah prioritas?
Atau lainnya lagi, apakah dipilihnya sebuah program pembangunan benar-benar sebuah solusi yang paling low cost-high impact? Kita ambil contoh misalnya urusan peningkatan kelas jalan dengan cara melakukan pelebaran. Dengan dana yang sama mana yang lebih hemat biaya tetapi lebih besar dampaknya antara memborong aspal besar-besaran untuk pelebaran, atau untuk membuat sistem transportasi kota yang terintegrasi?
Namun yakin saja, bahwa semua itu pasti tidak kurang akan adanya tim ahli yang menangani. Bahwasanya para ahli sudah bekerja dengan baik atau belum sehingga satu bayi lahir hari ini sudah menanggung utang negara 13 juta rupiah, hal itu adalah suatu hal yang butuh stamina melelahkan untuk kita telusuri.
Rumit sekali kelihatannya memikirkan negara. Sedangkan urusan diri sendiri saja belum kita benahi. Maka ada baiknya fenomena keberlebih-lebihan dalam pembangunan yang disebutkan di atas cukup kita hikmahi saja.
Menghikmahi dengan cara kita jadikan kerangka analogi saja. Kerangka analogi yang kita gunakan untuk meneliti ada tidaknya potensi berlebih-lebihan pada kehidupan pribadi kita sendiri.
Jangan-jangan bukan hanya negara yang berlebih-lebihan. Ternyata kita sebagai pribadi juga setali tiga uang alias sama saja. Terlihat kecil urusan pribadi dibanding urusan negara yang besar. Akan tetapi kalau orang yang serupa dengan kita banyak jumlahnya, tak pelak negara menjadi kerepotan adanya. Repot mengerem inflasi, repot meluaskan lapangan kerja, repot membooster pendapatan, repot menjaga daya beli masyarakat.
Untuk menjadi renungan pribadi-pribadi, dalam hal memenuhi kebutuhan makan misalnya, apakah kita berlebih-lebihan atau tidak? Walau tidak kekurangan kompor gas dan penerbitan buku resep masakan, tempat-tempat makan kok tumbuh dengan begitu menjamur.
Lalu dalam hal belanja bulanan. Apakah semua yang ada dalam daftar belanja adalah apa yang hanya kita butuhkan, berapa banyak yang sekedar ingin membeli tanpa guna yang berarti.
Kemudian hal lainnya, perihal konsumsi suplemen mental, berapa alokasi biaya yang kita belanjakan untuk itu. Apakah benar-benar olah mental tidak bisa dilakukan secara mandiri sehingga harus membayar jasa-jasa pemberdayaan diri?
Dan seterusmya, sambil kita menyempatkan diri untuk mendata satu demi satu komponen biaya yang selama ini kita keluarkan setiap bulannya. Memang hal itu kita lakukan kalau benar-benar mempunyai waktu saja. Sebab tidak pasti besar juga kegunaan kita melakukan muhasabahakuntansi pribadi semacam itu. Terlebih kalau kita mengandai-andai dampaknya sampai pada soal kepedulian sosial atau soal penurunan indeks gini (kesenjangan sosial).
Namun begitu, kesenjangan sosial yang kian menganga parah hari ini tak akan bisa kita mulai mengatasinya. Kalau tidak dimulai dengan tiap-tiap dari kita yang berkecukupan atau berkelimpahan bersedia mencoba hidup bersahaja. Dan sikap bersahaja tidak bisa hadir tanpa didahului muhasabahkebutuhan versus keinginan. [] Rizky Dwi Rahmawan