Ketika di tengah malam saya terbangun, sebab terasa lapar di perut maka segera saja saya menyantap makan malam. Sehabis makan, sudah menjadi ritual saya adalah menyecap sebatang rokok.
Pada saat itu saya habis rokok. Sebab di desa, warung-warung sudah tutup.
Masih menjadi kebiasaan di desa saya pada waktu itu, warga buang air di sungai. Tepat saya membuka pintu hendak mencari angin di luar sebagai pelipur tak ada rokok, tiba-tiba seorang warga melintas di depan rumah saya. Rupanya ia baru saja kembali dari sungai, selesai buang hajat.
Mampirlah seseorang tersebut, berbincang berbasa-basi dan menawarkan sebatang rokok.
Siapa gerangan yang mengepaskan adegan bangun malam saya dan adegan buang hajat seorang warga itu? Sehingga pada malam itu saya ‘seolah-olah’ diantari sebatang rokok di saat saya membutuhkannya?
Kalau saya bangun lima menit saja lebih lambat, atau seorang warga itu selesai buang hajat 5 menit lebih cepat, tidak terjadi kejadian itu.
Dari peristiwa yang nampaknya sederhana itu, sebetulnya yang terjadi tidaklah sederhana. Tinggal bagaimana kita bisa melihat Tuhan di momentum hadirnya sebatang rokok malam hari itu. [] RedJS