Konsep dasar hidup bersama di mana Tuhan langsung yang membentuknya yakni kodrat alamiah berupa jalinan ikatan darah yang kita sebut sebagai keluarga. Dengan berkeluarga masing-masing orang, anak, bapak, ibu, pak dhe, pak Lik dan seterusnya menjadi saling terikat untuk membangun dan merasakan kebersamaan.
Jadi, keluarga merupakan jenis kebersamaan yang dibentuk oleh kodrat alam. Saudara sekandung. Ideologi yang memaksa untuk bersama adalah kesadaran se-darah. Dalam beberapa kesempatan Mbah Nun mengatakan bahwa Tuhan tidak menyuruh kita bikin negara, kerajaan, kesultanan, khilafah dan seterusnya. Yang langsung diperintah Tuhan adalah berkeluarga.
Ini berarti bahwa keluarga adalah nilai yang harus dipakai untuk menjadi dasar inspirasi kebersamaan yang lebih luas. Artinya, jika kita bikin negara, kerajaan, kesultanan atau apapun jenis konsep hidup bersama, yang harus adalah bagaimana kita berangkat dari sangkan-paran nilai otentik bernama keluarga.
Pertanyaannya ialah, apakah bisa orang membangun nuansa kebersamaan kekeluargaan tanpa ikatan darah? Apakah mungkin ada jenis pijakan yang sekuat ikatan darah untuk merangkai sekian watak, karakter, kecenderungan psikologis serta kepentingan antara sesama manusia?
Kalaulah ada jenis persaudaraan yang lebih kuat dari persaudaraan sedarah, persaudaraan jenis itu yakni persaudaraan se-iman. Lalu, apakah itu iman?
Iman adalah titik pusat orientasi Ruhani manusia. Pusat orientasi itu secara teologis orang menyebutnya sebagai Tuhan, Allah, Sang Hyang Wenang dan seterusnya. Asalkan kita memiliki metode yang tepat untuk memproses masyarakat agar memiliki kesamaan pusat orientasi ruhaniahnya, maka kebersamaan akan dapat terwujud. Kebersamaan dalam skala kecil maupun skala besar sekalipun.
Pengalaman kita ber-Maiyah, diantara kita mungkin ada yang mengalami perasaan saling rindu melebihi kerinduan dengan saudara kandung sendiri. Bukan bermaksud apapun, hanya dalam kepentingan mengilmui, hal tersebut bisa kita baca sebagai indikasi bahwa metode Maiyah memang telah efektif menjadi laboratorium persaudaraan. Yakni laboratorium tempat membentuk sebuah kebersamaan yang memiliki kekuatan setara bahkan melebihi persaudaraan sedarah. Yakni laboratorium tempat mengeksperimentasi apa yang dinamakan sebagai persaudaraan se-Iman.
Hari ini, kebersamaan kita sebagai Bangsa belum dibangun berdasarkan prinsip Iman maupun prinsip keluarga. Kalaulah Bangsa ini rumah, suasana huniannya belumlah membuat betah kerasan.
Kenapa kita tidak merasa bahwa kita sedang dirundung krisis rasa kekeluargaan? Sebab tak menyadari, maka tak ada itikad untuk membenahi. Bahkan dalam beberapa kasus, masing-masing saling menegaskan keterbelahan, nyaman dengan pemilah-milahan dan begitu menikmati pengkutub-kutuban.
Di panggung politik nasional—kalau saya salah membaca mohon dikoreksi, Yang saya baca saat ini orang ber-NU harus bermusuhan dengan FPI. Menjadi PDI-P berarti harus berani berhadap-hadapan dengan Gerindra. Situasi yang lebih pragmatis berikutnya, mengapa tak ada yang merasa gusar melihat Islam dibelah dua, Islam yang NU dimagnet oleh PDIP, Islam yang FPI terpikat pada Gerindra.
Sementara Saya dan orang-orang Maiyah memilih setia dibelakang Mbah Nun. Beliau kita saksikan saat ini masih mempersaudarai semua fihak, demi menyongsong keadaan yang lebih baik. Apa yang Saya saksikan tersebut menjadi dasar keyakinan bagi Saya untuk optimis terhadap Maiyah. Bahwa Maiyah adalah mandat dari Tuhan untuk membangun kebersamaan keluarga di Indonesia ini. [] Agus Sukoco