Melalui pesatnya pembangunan, negara ini nyaris menyusul apa yang kini sudah dicapai oleh negara-negara maju. Gedung-gedung pencakar langit, sistem transportasi massal yang modern, less cash society dan berbagai indikator pembangunan lainnya. Prestasi pembangunan tersebut bersanding dengan problematika di masyarakat yang tidak sederhana. Kesenjangan sosial yang semakin menganga dan maraknya isu radikalisme yang mendominasi media akhir-akhir ini.
Radikalisme mencuat dengan membawa label agama. Penempuh agama yang terlalu eksklusif dianggap menjadi ruang persemaian tumbuhnya bibit-bibit radikal. Radikalisme berupa sikap berontak tidak diteliti kelahirannya oleh akibat dari kesenjangan ekonomi yang kian menganga. Tugas generasi mendatang untuk meneliti indikasi ini.
Sementara ini kaum radikalis di Indonesia menisbat diantaranya kepada kaum pejuang Khilafah. Perjuangan mendirikan Khilafah pertama didengungkan di Indonesia pada era 80-an. Yakni bersamaan dengan masuknya ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Organisasi yang berdiri di Timur Tengah tahun 1953 ini masuk ke Indonesia sebagai sebuah partai politik berideologi Islam. Meskipun partai politik, sebab HTI tidak mengakui sistem demokrasi, HTI tidak ikut mendaftarkan diri menjadi Parpol peserta Pemilu. Hizbut Tahrir sendiri secara harfiah berarti Party of Liberation. Demokrasi dianggap sebagai kungkungan dimana masyarakat harus membebaskan diri atasnya.
Setelah keluar dari kungkungan demokrasi, cita-cita mereka adalah mendirikan Daulah Islam. Daulah Islamiyah yang mereka cita-citakan merupakan ejawantah dari kerinduan mereka terhadap masa-masa dimana Kekhalifahan Islam menjadi adidaya dunia. Yakni pada era Kekhalifahan Bani Umayyah, Abbasiyah hingga Turki Utsmani selama tujuh abad lamanya.
Pergerakan Hizbut Tahrir ketika Orde Baru masih sangat terbatas, yakni pada ruang-ruang diskusi dan dakwah di kampus-kampus. Hizbut Tahrir justru ikut merayakan gegap gempita demokrasi baru pasca reformasi, karena setelah reformasilah mereka baru menghirup kebebasan yang begitu leluasa dalam berpergerakan.
Cita-cita pendirian Daulah Islamiyah menjadi kewaspadaan banyak pihak. Keberagaman komponen masyarakat Indonesia melahirkan keberagaman persepsi pula atas mencuatnya isu radikalisme. Banyak kalangan menghendaki agar ormas tersebut dibuat saja segera dibubarkan menyusul Gafatar ormas yang telah dibubarkan beberapa waktu yang lalu.
Ketimbang kita masyarakat awam ikut berteriak-teriak menambah riuh gelombang anti-radikalisme. Menurut hemat saya, lebih baik sikap kontra dan konfrontatif diserahkan saja kepada yang berwajib dan berwenang. Kecuali memang kita meragukan kapasitas dari TNI dan Polri yang kita miliki.
Radikalisme adalah kewenangan penuh dari aparat. Apakah pemerintah akan membubarkannya sebagai ormas. Atau bisa juga aparat melakukan penangkapan pada elit-elitnya sebagaimana penangkaapan 10 pelaku makar yang sempat heboh menjadi berita beberapa waktu yang lalu.
Sebagai masyarakat awam, yang lebih produktif bagi kita ketimbang menambah gaduh suasana dengan meneriakkan yel-yel anti-radikalisme adalah kita melakukan kegiatan-kegiatan edukasi. Edukasi untuk mendudukan pemahaman yang tepat atas gejala seperti apa radikalisme yang sedang santer hari ini. Sangat sedikitnya edukasi bagi masyarakat membuat banyak diantara kita gagal paham atas ancaman seperti apa sebetulnya jika Daulah Islamiyah itu benar-benar berdiri nanti?
Apakah ancaman yang menyerupai gerakan DI/TII (Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia) di era Orde Lama. Atau ancaman seperti NII (Negara Islam Indonesia) yang sempat membuat gempar di masa-masa pasca reformasi kemarin. Atau konsep Daulah yang mereka usung sama sekali berbeda dengan konsep negara modern yang kita anut hari ini?
Cita-cita kekhilafahan adalah cita-cita kepemimpinan tunggal dunia. Dunia berada dalam satu kekuasaan tunggal yakni dibawah seorang Khilafah. Kalau itu tidak tercapai, seminim-minimnya Daulah Islam menjadi Daulah atau Negara yang lebih besar dari semua negara yang ada. Menjadi negara Adidaya.
Maka yang perlu diberikan edukasi kepada masyarakat adalah, ancaman dari radikalisme yang saat ini santer bukanlah penggantian ideologi NKRI. Tetapi adalah adanya ancaman peleburan negara-negara ke dalam sebuah adidaya baru yang mereka cita-citakan, lahir sebuah sistem global dan mau tidak mau kita harus tunduk ke dalam sistem tersebut. Termasuk jika mereka memaksa kita harus meninggalkan Pancasila yang merupakan ideologi NKRI.
Kalau globalisasi adalah misi memberlakukan sistem tunggal dunia, maka seperti itu pulalah sistem Khilafah dicita-citakan. Bedanya, globalisasi merupakan Euro/Americano-sentris, sementara itu kekhilafahan merupakan sesuatu yang Arabo-sentris.
Kalau paham ini, kita tidak lagi salah memasang kuda-kuda kewaspadaan. Kalau mau waspada kepada radikalisme yang saat ini santer, bukan lantas kita berlagak menjadi prajurit rakyat yang ikut-ikutan menumpas Kartosuwiryo dan pasukan DI/TII. Tetapi caranya adalah dengan sungguh-sungguh mempelajari apa ancaman dari globalisasi. Sebab itulah ancaman yang sesungguhnya kita hadapi hari ini dari didengungkannya cita-cita berdirinya Daulah Islamiyah.
Globalisasi tidak mengancam terhapusnya identitas sebuah negara. Globalisasi itu mengancam hilangnya fungsi dari negara. Negara tetap eksis, tetapi fungsinya berkurang, semakin hilang dari waktu ke waktu. [] rz