Hobi Berbagi

Marak akhir-akhir ini seolah lahir hobi baru yang digandrungi masyarakat yakni hobi berbagi dan berkegiatan sosial. Tentu saja butuh penelitian yang panjang untuk mendeteksi apakah betul ada diantara berjenis-jenis hobi itu kemudian muncul hobi baru yakni hobi berbagi dan berkegiatan sosial?

Banyak orang mengartikan apa itu hobi. Pada dasarnya hobi adalah sesuatu yang disenangi dan kerap sekali dilakukan. Menurut Wikipedia, hobi adalah kegiatan rekreasi yang dilakukan pada waktu luang untuk menenangkan pikiran seseorang. Kata Hobi sendiri merupakan sebuah kata serapan dari Bahasa Inggris, yakni Hobby.

Kebiasaan kebanyakan kita yang berfikir serba formalistis membuat kita memandang segala sesuatu secara terpisah-pisah. Kenapa kita butuh menenangkan pikiran kita sendiri dengan cara berbagi dan berkegiatan sosial, diantara sebabnya adalah karena kita jengah dengan kegiatan mencari nafkah yang notabene-nya merupakan kegiatan komersial.

Bagi seorang yang mencari nafkah dengan jalan menjadi pengusaha, apa yang ia kejar adalah laba. Sementara bagi seorang yang mencari nafkah dengan jalan bekerja, yang ia kejar adalah gaji. Gaji sebetulnya tak ubahnya berupa laba pula. Bedanya, apabila pengusaha laba didapatkan dari selisih harga yang ia dapat dari penjualan dikurangi dengan harga yang ia habiskan untuk berproduksi. Sedangkan gaji adalah laba berupa selisih perolehan kemampuan daya beli dikurangi dengan pengorbananresourches berupa waktu, tenaga dan keringat.

Apa yang jelek dari menghimpun laba? Sehingga banyak diantara kita merasa belum tenang apabila belum berbagi dan berkegiatan sosial? Biasanya diwujudkan dengan cara menyisihkan sebagian kecil dari laba atau pendapatan yang kita peroleh.

Tidak ada yang jelek dari menghimpun laba. Yang jelek adalah ketika laba dikejar mati-matian hanya dimanfaatkan untuk dirinya sendiri. Ditutup rapat hingga mampat untuk kemungkinan orang lain merasakan manfaatnya juga. Bagi orang semacam itu, yang dalam agama disebutkikir atau bakhil, berbagi dan berkegiatan sosial adalah pilihan terapi yang baik untuk mengikis sifat buruknya tersebut.

Setelah diri sendiri berhasil diterapi dari penyakit kikir dan bakhil, jangan lantas merasa sudah menjadi pahlawan sosial terlebih dahulu. Masih ada PR-PR yang harus dikerjakan kemudian.

Yang harus dikerjakan berikutnya adalah kita menarik maju memandang aktivitas kita sendiri. Apakah proses kita dalam memperoleh laba itu eksploitatif sehingga merugikan orang lain. Ataukah proses kita memperoleh laba itu eksploratif sehingga sambil kita menghimpun laba sambil ada orang-orang yang merasakan manfaat dari kegiatan kita.

Apa gunanya kita menyisihkan misalnya 10% perolehan laba kita untuk berbagi dan berkegiatan sosial, kalau kita dalam bekerja merugikan kepentingan orang lain berkali lipat lebih besar. Lebih baik kita berbagi dan berkegiatan sosial hanya dengan mengalokasikan 2,5%, toh setiap dari perniagaan dan kerja yang kita lakukan memberi dampak positif kepada orang lain.

Ketika kita sudah melangkah maju memetakan kecenderungan apakah eksploitatif atau eksploratif karier kita, kita akan punya kewaspadaan lebih dalam memandang kesibukan kita dalam berbagi dan berkegiatan sosial. Apakah kesibukan kita dalam berbagi dan berkegiatan sosial itu merupakan hobi yang merupakan dorongan nurani yang tulus dan murni, ataukah sebetulnya pencitraan diri demi menutupi potensi jiwa merugikan dari aktivitas karier kita.

Hal ini tampak sederhana. Sekalipun setelah kita kaji dan renungi, kewaspadaan hati dalam berbagi dan berkegiatan sosial ternyata bukanlah hal yang sederhana. Kita saksikan fenomena hari ini, kesenjangan sosial bukan hanya berada di ranah perolehan nafkah atau dunia karier. Tetapi kesenjangan sosial juga terjadi di ranah volunteringatau dunia berbagi dan berkegiatan sosial.

Sebuah contoh, di banyak daerah ada tempat-tempat ibadah yang kewalahan menampung sodaqoh jariyah dari para jamaahnya. Tetapi yang menjadi ironi, dalam radius tidak jauh dari tempat-tempat ibadah tersebut masih ada kaum dhuafa yang tidak terjangkau teruluri pertolongan. Dan ada berderet-deret contoh dimana prosesi berbagi dan berkegiatan sosial terbukti tidak menggunakan kemanfaatan sebagai skala prioritasnya.

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia”
(HR. Ahmad)

Bolehlah dimaknai adanya hadits tersebut sebagai pesan dari Nabi kita untuk menjadikan kebermanfaatan sebagai acuan skala prioritas. Kalau asas kebermanfaatan menjadi acuan skala prioritas, maka kita tidak akan mengalami kesenjangan dalam berbagi dan berkegiatan sosial. Tidak ada harta sedekah menumpuk di satu tempat, sementara di tempat lain terjadi kondisi yang mendesak dan bahkan berbahaya.

Maka yang harus kita waspadai adalah : Apakah gerangan hal-hal yang menjadi pengganggu? Sehingga ada skala prioritas lain selain kebermanfaatan. Setidaknya ada beberapa hal, pertama : Niat yang hanya ingin melipur hati sendiri dari kegalauan sebab sudah ber-karier secara eksploitatif. Kedua : Pencitraan diri agar dianggap sebagai orang yang hobi berbagi dan berkegiatan sosial. Padahal hobi jenis ini belum tentu ada betulan.

Dan ketiga adalah : Pamrih non-materiil, yakni kalkulasi perolehan pahala yang berbeda-beda antara sedekah di sebuah tempat dan sedekah di tempat lainnya. Kalau hal ini penyebabnya, pantaskah kita mempertanyakan : Apakah pahala masih menjadi sesuatu yang baik untuk kita jadikan pamrih, sedangkan karena perbedaan besar dan kecilnya pamrih pahala, di muka bumi justru timbul persoalan berupa kesenjangan distribusi sosial? [] Rizky Dwi Rahmawan

Previous ArticleNext Article