Silang sengkarut tatanan sosial masyarakat begitu terasa dalam kehidupan di sekeliling kita. Hal itu saya alami alami di meski saya tinggal di daerah pedesaan. Diantara suasana silang sengkarut yang terasa adalah terdapatnya pola pikir orang tua yang tidak nyambung dengan anak-anaknya. Wejangan orang tua dianggap oleh anaknya hanya sesuatu yang tidak relevan dengan cara hidup masa kini.
Anak mungkin merasa wejangan orang tuanya tidak mewadahi kebutuhannya. Kemudian lama-kelamaan orang tua lebih memilih banyak diam menyaksikan tingkah polah anak-anaknya. Ketika anaknya tersesat dan terjerumus, baru di situlah wejangan orangtua keluar. Itupun sebetulnya bukan sebuah wejangan, tapi lebih pada sikap menyalahkan dan mengutuk : “Kamu jadi anak susah diatur, tidak nurut, kemlithak, tuh lihat si anu, jadi anak nurut sama orangtua, tiap hari rajin ngaji, tidak bikin ulah yang membuat malu orang tua!”.
Lalu, sang anak bukannya sadar tetapi malahan semakin mencari inovasi kenakalan-kenakalan lainnya.
***
Wejangan populer dari orang tua yang hampir semua orang tua di desa saya atau mungkin di desa-desa lainnya bunyinya: “Nak, sekolah yang rajin, yang pinter, biar dapat pekerjaan yang enak, yang gajinya gede, JANGAN seperti bapak yang rekasa berpanas-panas seperti ini.”
Wejangan atau kudangan itu begitu melekat dan memang itu saya kira sesuai dengan yang menjadi kemauan anak. Imbas dari kudangan orang tua itu sudah bisa kita lihat hari ini, anak memilih pergi meninggalkan desa, merantau dan bertualang. Anak inginnya mencari pekerjaan yang enak-enak saja, tidak mau bersusah payah seperti yang pernah orang tuanya alami. Kemudian yang terjadi, desa dan orang tuanya menjadi kehilangan penerus.
Orang tua di desa kini banyak yang mulai merasa kewalahan, pekerjaannya ia harus lestarikan sendiri, tidak ada yg membantu, tidak ada yang menjadi kader. Ketika anak di suruh ke sawah alasannya enggan berpanas-panas, tidak bisa mencangkul dan banyak lagi alasan lainnya.
Waktu terus berjalan, generasi baru sudah tumbuh. Akankah kelak pekerjaan di sawah betul-betul akan terhenti pada orang-orang yang saat ini menjadi orang tua? Mungkinkah pekerjaan sawah kehabisan regenerasi? Saat ini saja menemukan pekerja sawah yang handal susah, mempekerjakan pemula tidak sabaran dan tidak efektif. Mereka kurang terlatih dan kurang jam terbang. Ya sudah, sawah dikerjakan sendiri saja. Mengerjakan sawah sembari merenung: kalau suatu saat nanti generasi ini sudah habis, siapa lagi yg akan mengerjakan sawah ini?
Sambil merenungi pertanyaan itu, jadi teringat wejangan yang dulu : “Kowe nggoleta gawean sing kepenak aja nganti rekasa kayak bapakmu kiye.”
Seharusnya memang dulu anak-anak tidak diberi kudangan tentang bagaimana hidup enak, tetapi mereka diajari ilmu hidup yang benar. Rekasa yang dialami Bapaknya bukan untuk dihindari, tapi di-sinaui-i dengan sebaik mungkin. Sehingga hal itu tidak menjadi kesalahan yang berulang.
Rekasa yang dialami orang tua, menjadi trukah untuk kelanjutan ilmu, kelanjutan hidup, pembelajaran kontinyu warisan bagi anak-anaknya.[] Karyanto