Sabtu malam minggu (23/7), Yayasan Arsakusuma secara khusus mengundang Keluarga Juguran Syafaat, para sejarahwan dan beberapa tokoh birokrat Purbalingga dalam acara yang bertajuk “Sabda Leluhur, Menemu Kenali Kembali Sejarah Purbalingga”. Acara yang digelar untuk pertama kalinya ini mengambil tempat di Pendopo Candiwulan di Desa Candiwulan, Kec. Kutasari, Purbalingga.
Yayasan Arsakusuma merupakan wadah bagi keluarga besar trah Adipati pertama Purbalingga. Sejak masa tersebut, Purbalingga mengawali cikal bakalnya sebagai Kadipaten mandiri, memekarkan diri dari Kadipaten Banyumas sekitar 2 abad yang lalu. Hingga kemudian pasca berdirinya NKRI, turun-temurunnya tampuk Adipati harus mengikuti keniscayaan modernitas, memasuki era demokrasi hingga sekarang Bupati dipilih langsung oleh rakyat, tidak lagi menganut konsep kebudayaan keraton yang turun-temurun.
Sarasehan malam hari itu menjadi estafet program “mengengahkan sesepuh” yang telah dikerjakan tahap-tahapan sebelumnya oleh Keluarga Juguran Syafaat. Estafet acara terdekat sebelumnya adalah Forum “Menelusuri Ibu Kandung Sejarah Purbalingga” yang digelar pada Februari lalu bersama para sesepuh Purbalingga.
Pada forum kala itu didiskusikan mengenai urgensi membangun kesadaran akan perlunya membangun kontrol sipil terhadap praktek birokrasi dan perekonomian dengan berbasis ketakdziman terhadap sesepuh. Serta didiskusikan pula adanya fenomena delegitimasi format organisasi kultural oleh dominasi format-format organisasi modern.
Menjadi kesinambungan pada forum kali ini adalah mengkaji dan mengoreksi hari jadi Purbalingga. Sejarahwan Tri Atmo menyampaikan bahwa tanggal yang diperingati sebagai hari jadi saat ini yakni 18 Desember 1830 itu sudah bener tapi belum pener.
Penentuan hari jadi yang diperingati saat ini adalah berdasarkan momentum serah-terima keraton kepada pemerintah Hindia-Belanda. Tepat pada momentum berakhirnya perang Diponegoro. Jika landasan berfikir tersebut yang digunakan, itu berarti sesepuh kita pinggirkan. Sementara ada tanggal yang sebetulnya justru relevan, yakni 23 juli 1759. Tanggal tersebut merupakan awal kepindahan pendopo Purbalingga saat ini, dari tempat semula di Kademangan Karanglewas. Peristiwa tersebut bersamaan dengan momentum pemberian legitimasi Kesultanan Pajang terhadap pemekaran Kadipaten Purbalingga dari Kadipaten Banyumas.
Proses pemekaran tersebut berkait erat dengan rekomendasi sesepuh kadipaten kala itu, yakni Adipati Yudhanegara II dan Eyang Arsantaka. Beliau-beliau menjadi semacam Diwan Sesepuh yang menjadi stering comitee dan menginkubasi awal lahirnya tatanan Purbalingga masakini.
Harmoni antara sesepuh dan penguasa yang terpelihara apik tersebut, dicatat apik oleh sejarahwan Tri Atmo. Beliau bahkan telah berjuang berkali-kali sejak era bupati-bupati sebelumnya untuk menepatkan peringatan hari jadi Purbalingga agar tidak meninggalkan spirit dari para sesepuh tersebut. Namun upaya selalu terganjal, “saya sudah putus asa memperjuangkan.”
Hasil dari acara tersebut menjadi usulan ke DPRD. Kemudian akan dibentuk tim khusus untuk menindaklanjuti proses teknisnya di lapangan. Upaya perbaikan tanggal hari jadi Purbalingga ini bukanlah program sepenggal, karena hal ini merupakan upaya untuk mereposisi peran dan keberadaan leluhur dimana mereka memiliki andil yang besar dan nyata dalam terwujudnya tatanan Purbalingga masakini.
Berselang dua hari dari acara, kabar yang menghentakkan hati tersiar Sejarahwan Tri Atmo yang menjadi pancer narasumber di acara tersebut, beliau tutup usia, berpulang ke Rahmatullah. Beliau purna tugas dunia di usia 74 tahun. Semoga khusnul khotimah, nafsul muthmainah. Dan generasi muda yang hadir dalam forum terakhir yg dihadiri Almarhum Bapak Tri Atmo tersebut mampu melanjutkan estafet perjuangan beliau.[] RedJS