SEBELUM MARAK penggunaan kantong kresek, orang-orang jaman dulu menggunakan tenggok untuk wadah belanjaan mereka. Wadah dari anyaman bambu yang cantik hasil kreativitas nenek moyang ini dahulu bisa dibuat semua orang, sehingga tidak perlu membelinya. Selain tidak perlu membeli, wadah ini juga dikenal sangat go green. Tenggok tidak mengandung bahan yang tidak dapat didaur ulang, karena tenggok terbuat dari bambu 100%, tanaman yang memiliki siklus tanam yang pendek, regenerasinya cepat dan pertumbuhan populasinya terpelihara.
Untuk perkakas minum, sebelum mengenal kemasan galon dan dispenser, orang-orang dulu menggunakan gogok, wadah air minum dari bahan tembikar, yakni tanah liat yang dibentuk lalu dibakar. Selain gogok itu ramah lingkungan, gogok diakui aman karena tidak bereaksi terhadap air yang diwadahinya. Bahkan bukan hanya aman, tetapi juga mampu menjaga kualitas pH air.
Kertas nasi yang terbuat dari kertas berlaminasi bahan plastis juga tidak dikenal oleh orang-orang dulu. Daun pisang dan daun jati menjadi pilihan untuk alas nasi dan aneka makanan lainnya. Daun yang dipilih oleh orang-orang dulu adalah daun yang mengandung lapisan lilin alami.
Centong nasi dibuat dari glugu atau kayu kelapa, tidak seperti sekarang terbuat dari plastik, bonus saat kita membeli rice cooker. Sebelum kita mengenal rice cooker dan kini juga ada slow cooker, penanak nasi yang digunakan oleh orang-orang dulu adalah pasangan antara dandang tembaga dan kukusan. Kukusan terbuat dari anyaman bambu yang dibentuk kerucut. Cara kerjanya, kukusan diisi beras yang sudah diliwet sebelumnya, dikukus diatas air didalam dandang.
Kalau hari ini kita memilih puasa kresek nasional, sebetulnya kita baru membuka pintu untuk tenggok melenggang kembali di keseharian dan peradaban kita. Itu juga kalau tidak dicegat oleh tas trendy berbahan kain yang benangnya jangan-jangan masih mengandung zat plastis pula. Kampanye puasa kresek nasional ini akan dapat diefektifkan jika tenggok dikampanyekan sebagai gaya hidup, sehingga ibu-ibu atau remaja tak lagi merasa malu dan gengsi tapi justru merasa bangga ketika pergi berbelanja ke supermarket atau ke mall dengan menenteng tenggok. Lebih akan efektif lagi jika anak-anak sekolah dan mahasiswa diberi ekstrakurikuler khusus pembuatan tenggok. Sehingga tenggok akan menjadi piranti milik warga, bukan lagi ditangkap sebagai komoditas oleh para penguasa modal.
Setelah paket kebijakan puasa kresek nasional dan ekstrakurikuler pembuatan tenggok itu berhasil. Kita juga masih mempunyai PR panjang dalam rangka mewujudkan kebiasaan go green di masyarakat. Kita harus mengkampanyekan juga gogok, daun pisang, daun jati, dandang, kukusan, centong kayu, siwur (gayung batok kelapa), ilir (kipas dari anyaman bamboo), rinjing (container box berbahan bambu) dan masih banyak piranti ramah lingkungan lainnya.
Beruntung teknologi ramah lingkungan itu ada di negeri kita sendiri, warisan orang-orang dulu, sehingga tak perlu impor pengetahuan. Beruntung tanah kita masih subur, kebun kita masih luas, bambu, kayu dan daun-daunan masih leluasa untuk kita membudidayakannya. Tinggal gaya hidup kita saja, mau berubah atau tidak.[] Rizky Dwi Rahmawan