Trotoar

TROTOAR, tempat yang diperuntukkan bagi pejalan kaki. Trotoar memiliki fungsi yang amat penting, sebegitu pentingnya sehingga penggunaan trotoar untuk kepentingan selain berjalan kaki adalah pelanggaran.

Buka lapak, berjualan, tidak boleh dilakukan di trotoar. Bukan hanya larangan tertulis, aparat keamanan kota kerap dikerahkan demi menjaga trotoar agar tetap setia pada fungsinya. Nyatanya memang berdagang di ruas trotoar sangatlah mengganggu bagi pejalan kaki. Pejalan kaki harus membelok ketika terhadang warung, terpaksa turun ke ruas jalan. Tanpa berpikir hal itu adalah sesuatu yang membahayakan, karena motor dan mobil lalu lalang dengan kecepatan tinggi. Maka benar saja, mengalihkan fungsi trotoar untuk berdagang adalah tindakan terlarang. Bukan hanya wajib ditegur, bahkan menggusur paksa mereka yang memanfaatkan ruas pejalan kaki untuk berjualan kerap kali dilakukan.

Harapannya, mereka yang berdagang silahkan memanfaatkan ruang yang sudah disediakan. Walaupun ruang ekonomi saat ini lebih banyak tersedia bagi pemilik modal besar, bukan bagi pelapak-pelapak modal dengkul. Itu adalah PR pengelola negara untuk terus meningkatkan ketersediaan ruang bagi pelaku ekonomi menengah ke bawah.  Yang tidak kalah penting dari PR untuk membersihkan trotoar agar senyaman mungkin dapat dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya, untuk berjalan kaki.

Namun waktu terus bergulir, pertumbuhan kelas menengah, peningkatan perputaran uang di masyarakat memicu meningkatnya daya beli motor dan mobil. Masalah kemacetan di jalan datang mendera. Apa solusi yang ditempuh agar kemacetan tak semakin parah? Salah satu solusi yang tahun-tahun ini sedang gencar dilakukan secara kompak oleh pemerintah pusat dan daerah adalah: pelebaran jalan.

Pelebaran jalan diharapkan dapat melegakan kemacetan. Kalau kemacetan bisa dibuat lega, orang tak perlu takut untuk berpikir membeli atau menambah kendaraan bermotor. Kalau orang-orang terus memelihara angan-angan membeli motor dan mobil, maka industri otomotif akan terjamin di masa depan.

Masifnya proyek pelebaran jalan berdampak langsung pada perkembangan industri otomotif di negeri ini. Namun, di sisi lain, masifnya proyek pelebaran jalan dirasakan pula oleh para aparat penegak penertiban kota. Setelah bersusah payah menggusur pedagang kecil, demi mengembalikan trotoar pada fungsi aslinya, eh lah malah trotoar-trotoar justru saat ini tergusur keberadaannya, demi lebih lebarnya jalan.

Para pedagang kaki lima yang dulu digusur-gusur, dengan trotoar yang kini terus tergusur, mereka sepertinya sudah ditakdirkan senasib adanya. Ketertiban adalah ketika trotoar bersih dari kekumuhan para kaki lima. Namun, jangan pula diabaikan makna ketertiban yang lebih hakiki, yakni tertib menjaga konsistensi sikap. Yakni sikap yang proporsional, antara kepada pedagang kecil kaki lima dengan pedagang besar otomotif. [] Rizky Dwi Rahmawan

MAMPIR MEDANG (13) : KEBAIKAN MEMPRODUK KEBAIKAN

Apakah negeri ini mengamalkan Quran atau tidak, tidak bisa serta merta dinilai dari apakah saat ini bentuk negara kita negara Islam atau bukan. Di Era Rasulullah sendiri Madinah adalah kota yang penuh ke-bhineka-an: Muslim, Nasrani dan Yahudi hidup bersama, jadi belum ada konsep negara Islam. Bahkan konsep negara saja saat itu belum ada. Manusia di bumi saat itu baru mengenal konsep konstitusi sebagai kesepakatan hidup bersama yang menaungi semua yang bersepakat didalamnya, Piagam Madinah.

Apakah negeri ini mengamalkan Quran atau tidak, dapat dilihat dari diamalkan tidaknya hukum Quran. Di Quran berlaku hukum, “Faman ya’mal mitsqaala dzaratin khairay yarah, waman ya’mal mitsqaala dzaratin syarray yarah”,  Kebaikan seharusnyalah memproduk kebaikan, sebaliknya keburukan juga memproduk keburukan.

Maka di suatu tempat dimana hukum Quran disebut berlaku, ditempat itu pelaku kebaikan hendaklah memiliki mekanisme untuk memperoleh buah kebaikan. Apakah hal itu berlaku di negeri ini? Orang yang kerja keras 24 jam belum tentu sukses. Walaupun kerja keras adalah kebaikan, tetapi tidak dapat memproduk kebaikan, karena sistem yang carut marut. Justru perilaku korupsi yang itu adalah keburukan, malah tidak memproduk keburukan.

Sementara di negara-negara maju yang sekuler, siapa yang mau bekerja keras, negara mempeluangi dia untuk sukses. Siapa yang malas-malasan, salah sendiri kalau nasibnya buruk.[] RedJS

Adidaya ‘KW’

Amerika menjadi pusat supply kebutuhan dunia. Lalu ia menjadi negara Adidaya. Produk kebutuhan hidup yang tidak mampu dihasilkan oleh kearifan-kearifan lokal dikenalkan dan dikampanyekan oleh Amerika. Dari mobil hingga jam tangan. Dari mesin-mesin hingga fashion. Dunia menyambut dengan antusias, orang-orang penuh kebanggaan ketika memakai produk MADE IN AMERICA.

Amerika menjadi Adidaya yang ‘priyayi’. Kemewahan, keanggunan, ketidak-terjangkauan adalah ciri produk-produk yang mereka supply. Mewah, berharga mahal, high qualitylimited edition. Ditambah dengan kesan-kesan yang sengaja mereka bangun melalui film-film, box office dari Hollywood yang selalu menyuguhkan tema-tema superioritas Negeri Paman Sam. Tidak peduli kesan-kesan yang mereka ciptakan itu sesuai atau justru berkebalikan dengan aslinya.

Kesan superior adalah keunggulan. Namun, di sisi lain kesan superior juga adalah kelemahan. Amerika dengan superioritasnya merasa ‘jaim’ menyediakan supply bagi kebutuhan kelas menengah-kebawah. Kelemahan sang Adidaya inilah yang kemudian menjadi celah. Celah yang awalnya kecil, tapi kini menjadi air bah. Air bah membanjirnya produk-produk ‘kw’ yang harganya miring dengan label MADE IN CHINA.

Republik Rakyat China dengan kebijakan ekonominya, menangkap betul celah-celah pelung untuk mengangkat harkat negaranya. Hingga akhirnya kini mereka berhasil menjadi Adidaya baru dunia. Dimana-mana tersedia produk-produk dari Negeri Tirai Bambu ini, dulu hanya peniti dan benang jahit, sekarang fashion beraneka ragam. Dulu hanya komponen elektronik, sekarang hingga mesin-mesin pabrikasi besar. Dari urusan sparepart sampai bahan pangan, semua terpasok dengan baik, mudah dijangkau dimana-mana. Bukan hanya rantai pasok yang begitu menyebar, sampai harga yang begitu terjangkau, bahkan murahnya menakjubkan. Dari ‘kw-1’ hingga ‘kw-17’, semakin banyak kw-nya semakin miring harganya.

Tak terbayang jika hari ini produk-produk import dari Utara ini di stop. Hendak hajatan kita harus menganyam besek bambu, karena tak ada cething plastik. Hendak membeli peralatan elektronik haruslah merogoh kocek yang banyak, karena tak tersedia barang-barang ‘kw’ yang miring harganya itu.

Tak salah kalau RRC menjadi adidaya baru dunia, adidaya yang ‘nglesa’ bersedia melayani kebutuhan pasokan masyarakat kelas menengah ke bawah. Walau terlihat nominal recehan yang mereka mainkan, tetapi jangan salah, sudah terbukti mata uang mereka, Yuan, kini sudah sejajar dengan US Dollar dan Euro sebagai global currency reserve.

Hal yang harus kita renungkan adalah, sampai kapan negara ini menunggu kebaikan hati sang adidaya untuk mereka mau memberikan transfer teknologi kepada kita? Apakah hal itu bukan harapan yang akan sia-sia belaka? Atau jangan-jangan malah kita tidak menyadari bahwa mereka sebetulnya mempunyai kewajiban transfer teknologi kepada negara yang telah memperkaya pundi-pundi devisa mereka. Tahunya kita wajib membeli produk mereka, sebab kita mustahil bisa menghasilkannya sendiri.

Kita bisa mengambil inspirasi dari para adidaya tersebut, bagaimana mereka berhasil melayani dunia dengan cara mereka. Lalu kita berusaha untuk menjadi produktif dengan cara kita sendiri. [] Rizky Dwi Rahmawan

Reportase: GETOK VIRAL

REPORTASE JUGURAN SYAFAAT JULI 2016

Viral adalah Mekanisme yang Canggih

Sholawat Alhamdulillah dan Ya Imammarusli yang dilantunkan bersama-sama dengan dipandu oleh KAJ Accoustic menjadi penanda dimulainya Maiyahan Juguran Syafaat pada malam hari itu (16/7). Pada Juguran Syafaat penyelenggaraan ke-40 tersebut, tadarus Al-Quran memilih satu juz penuh, yakni juz 8. Setelah tadarus secara bergantian, kemudian jamaah bersama-sama melantunkan Hasbunalloh.

Memasuki diskusi sesi pertama. Pada sesi ini, bertindak sebagai pemandu diskusi di depan adalah Hilmy, Kukuh dan Karyanto. Sesi pertama lebih diisi dengan perkenalan, sharing dan pembahasan ringan dalam bentuk dialog interaktif.

Rohiman dari Banjaranyar, Sokaraja, memperkenalkan diri bahwa dirinya tertarik dengan Juguran Syafaat karena bulan Juli tahun lalu berkesempatan hadir di Mocopat Syafaat di Yogyakarta. Nanang, dari Brebes, turut memperkenalkan diri, bahwa kesempatan hadir di Juguran Syafaat merupakan perjalanannya mencari forum-forum yang ia hausi kedalaman ilmunya.

Hilmy kemudian memperkenalkan KAJ yang merupakan pengisi tetap musik dalam forum Juguran Syafaat. KAJ merupakan grup musik yang terdiri dari dulur-dulur Maiyah yang biasa bersholawat rutin di Purbalingga. Dari kebiasaan rutinan sederhana, kemudian terbentuklah kelompok musik tersebut. Beberapa kali event diluar Juguran Syafaat kerap disambangi oleh KAJ, antara lain diskusi publik, sarasehan budaya, pengajian, event di sekolah hingga acara di cafe.

Terkait tema, Hilmy mengawali bahwa tema ‘Getok Viral’ yang diangkat kali ini merupakan lanjutan dari pembahasan ‘Informasi Ranjau’ bulan lalu. Viral dijelaskan oleh Hilmy yang berarti informasi yang berseliweran di dunia maya dengan begitu cepat persebarannya bahkan dalam hitungan detik. Kukuh menambahkan bahwa viral itu contohnya seperti broadcast dalam media sosial yang sekarang marak diterima kita semua. Karyanto urun awalan bahwa ketika jaman dahulu, informasi mengalir tidak dalam hitungan detik, tapi bisa dalam waktu yang lama. Dan itulah yang disebut dengan sistem informasi getok tular.

Menurut Kukuh, viral adalah mekanisme yang canggih, karena informasi bisa disebar begitu cepat dalam hitungan detik. Tinggal bagaimana kita bisa mem-filter-nya, mana viral yang mempunyai manfaat buat kita dan mana yang justru membodohi kita. Viral adalah mekanisme yang netral, yang bisa berisi kebaikan maupun keburukan, tinggal bagaimana kita memanfaatkan sistem ini.

KAJ menyela sesi diskusi kali ini dengan satu nomor “Ujung Batas”, lagu karya sendiri yang diaransemen ulang dengan konsep akustik.

Hedi dari Purbalingga bercerita tentang kenikmatan sungkem di moment Idul Fitri kepada orang tua, dan kenikmatan yang sangat luas biasaadalah ketika ‘ngabruk’ dan setelahnya sungkem walaupun tanpa kata-kata tapi itu adalah kenikmatan. “Dan yang saya kagetkan di TV, Medsos ada ustadz yang mengatakan sungkem itu tidak ada dasarnya katanya nyembah-nyembah orang tua, ketika ada orang bertanya ‘Bagaimanakah tradisi sungkem itu apakah dibolehkan atau tidak?’, mendengar jawabannya dari ustadz itu jawabannya malah bentak-bentak tidak ada dasarnya. Kemudian saya merasa, wong tradisi seperti ini baik kok malah dihilang-hilangkan.”, tambah Hedi.

Iyus dari Purwokerto, mengingatkan kembali yang pernah Cak Nun pesankan, “Ojo kagetan, ojo gumunan”. Dan juga dari Mas Sabrang, bahwa ada urutan dari data menjadi informasi kemudian meningkat menjadi pengetahuan dan menigkat lagi menjadi kebijaksanaan. “Jadi kalau kita tidak bisa memetakan apa yang penting buat diri kita, kita akan terjebak pada tema kemarin ‘Informasi Ranjau’. Jadi informasi seperti apa yang mana si yang masuk ke dalam lingkar pengaruh kita dan mana yang masuk ke lingkar peduli kita dan mana yang masuk ke dalam lingkar perhatian kita. Yang perlu dalam diri kita adalah resolusi dalam memandang. Kalau ada informasi apapun Mbah Nun selalu bilang ‘Sek to’ jangan langsung dimakan begitu saja. Alhamdulillah kita diperkenalkan dengan Maiyah yang dididik untuk tidak gumunan tidak langsung responsif dan selalu waspada untuk diri kita.”, tambah Iyus.

Feli dari Banjaranyar ikut merespon bahwa viral bisa dijadikan rahmat, bisa juga dijadikan bala, itu semua tergantung oleh diri kita masing-masing.

***

Getok Tular vs Getok Viral

Kusworo memulai diskusi sesi kedua dengan mengajak kembali memaknai perjalanan Idul Fitri kemarin. Mendapatkan apa saja ketika berperjalanan menuju Idul Fitri, karena masing-masing dalam diri kita menempuh jalan, tanjakan dan mungkin rute yang berbeda. Kusworo mengambil beberapa poin yang disampaikan oleh Cak Nun tadi malam di Kenduri Cinta Jakarta. Bahwasanya, yang Cak Nun lakukan dari muda adalah menanam kebaikan yang bentuknya menulis buku, teater, berkarya, berbicara dan lain sebagainya.

“Yang kedua soal ridho, bahwa apa yang kita panjatkan itu mudah-mudahan Gusti Allah ridho sama kita. Kalau kata Mbah Nun wong jane dhewek sing sering ora ridho karo ketentuannya Allah. Nah pelan-pelan kita belajar untuk ridho sama apa yang sudah ditetapkan sama Allah, bahwa kita lahir keluarga yang memang sekarang kita ditakdirkan itu kita ridho, apa saja yang berhubungan dengan kehidupan kita bersentuhan dengan diri kita, kita ridho.”, sambung Kusworo.

Dalam jeda awalan, KAJ mengajak sedulur yang hadir untuk ikut melantunkan sholawat “Ya Rabbi Shalli ‘ala Muhammad” bersama-sama.

Titut Edi pada kesempatan kali ini membawa teken (tongkat), sebagai perlambang bahwa banyak orang yang memegang pegangan tapi sebenarnya tidak memiliki pegangan hidup. Titut juga turut menghikmahi kejadian kemacetan di Brebes kemarin, bahwa mau kelas jabatan seperti apapun semua kena imbas macet jika sudah pada satu jalur. Kalau digambarkan, itu seperti orang yang sudah di depan pintu surga, punya kunci surga tapi tetap saja terhambat untuk bisa masuk kedalamnya.

Rizky menyampaikan bahwa Cak Nun akhir-akhir ini memberi pesan kepada para jamaah Maiyah untuk mempelajari empat hal, yaitu : Aqidah Akhlak, Disiplin, Perhitungan Akuntasi dan terakhir Cyber Technology. Mengenai tema Getok Viral, Rizky menyampaikan bahwa jika orang Jawa dahulu selalu membuat singkatan untuk mengilmui segala apa saja yang ditemuinya, contohnya cangkir (cancang ing pikir), garwa (sigaraning nyawa) dan lain sebagainya, metode ini membuat muatan informasi ia mudah didistribusikan, bahan turun temurun.

“Tapi kalau definisi Viral itu adalah sesuatu yang menyebar sangat cepat dan itu yang terjadi sekarang. Kalau dulu Getok Tular itu sampai puluhan tahun misalnya kisah tentang pantangan Sabtu Pahing bagi orang Banyumas, itu sampai berapa abad baru jadi keyakinan massal. Tapi sekarang Pokemon Go itu hanya tiga hari mungkin sedunia sudah tahu Pokemon Go. Ini kan sesuatu yang bisa kita diskusikan bersama, apakah memang Allah sudah ber-tajalli di IT sehingga sedemikian cepat mengabarkan atau IT ini adalah tuhan yang baru sehingga Allah dengan syiarnya itu kalah dengan cepatnya dakwah IT ini.”, tambah Rizky.

Datang ke Allah dan Mengundang Allah Datang

Agus Sukoco menarik refleksi dari hadits yang mengatakan bahwa kita masuk surga bukan karena amal kita, melainkan karena rahmat Allah semata. Jadi ada yang merupakan regulasi dari Allah dan ada yang merupakan regulasi untuk kita sendiri. Tidak bisa kita menggunakan tafsir bahwa, untuk apa berbuat baik, kalau nantinya yang masuk surga tidaknya itu urusan Allah.

Agus menjelaskan kembali perihal perjalanan menuju ramadhan yang lalu, dimana melewati Rajab yang disitu terdapat peristiwa besar yaitu Isra Mi’raj. Menurut Agus, Rajab itu adalah peristiwa Rasulullah datang ke Allah, kalau Ramadhan adalah peristiwa dimana Allah justru mendatangi Rasulullah dan umatnya.

“Puasa itu untuk-Ku, itu artinya ketika Tuhan mengatakan puasa untuk-Ku maka begitu kita berpuasa, kita menciptakan ruang tak terbatas di dalam rumah batin kita untuk kehadiran Tuhan mau datang ke rumah hidup kita. Puasa untuk-Ku, itu seperti ‘Wis ko gawe kamar, nyong arep manggon nang nggonmu’. Jadi sholat adalah kita datang ke Allah, kalau puasa kita mengundang Allah datang ke kita. Ini salah satu upaya kita men-tadabburi beberapa ayat tadi.”, tambah Agus.

Dalam tafsir ini, Lailatul Qodar adalah bentuk “oleh-oleh” yang dibawa oleh Tuhan untuk umat manusia. “Oleh-oleh” ini berupa hukum atau sistem langit yang berlaku di bumi menjadi peristiwa-peristiwa qudrah, diatas peritiwa sunatullah. “Jadi kalau orang mendapatkan oleh-oleh dari langit itu tadi, maka dia akan menemukan di dalam hidupnya banyak sekali peristiwa-peristiwa yang bentuknya qudroh. Kalau sunatulloh itu normal, qudroh itu keputusan ekstrim Allah dalam ‘melanggar’ hukumnya sendiri, api seharusnya panas tapi kemudian tidak atau peristiwa-peristiwa yang di atas rasional, yang supra rasional. Lailatul Qadar itu di situ ada lebih baik dari seribu bulan, itu artinya ada kualitas yang sepadan yang diperbandingkan dalam semalam itu dengan seribu bulan.”, tambah Agus.

“Esensi puasa bisa tidak hanya di bulan Ramadhan tapi bisa di sebelas bulan ke depan, juga bisa kita terapkan pada konteks sistem sosial atau sistem budaya. Kalau sebuah masyarakat kalau jaman dulu itu banyak sekali batasan-batasan ‘kaya kita ora olih, kaya kae ora olih’, leluhur kita menciptakan satu sistem budaya, satu patok-patok kultural agar memaksa masyarakat menjalani esensi puasa. Ada sebuah daerah yang masih berpegang itu, itu berarti masyarakat di situ terpaksa atau dipaksa secara positif untuk menjalani hakikat puasa. Nah hari ini peradabannya adalah peradaban melampiaskan, bahkan patok-patok yang membuat kita dipaksa untuk berpuasa oleh pagar-pagar kultural tadi itu sekarang justru oleh agama oleh sebuah tarfsir agama tersendiri ‘kue gugu temen kaya kue’. “, tukas Agus Sukoco.

Rizky merespon dengan mengungkapkan pertanyaan, bagaimana merasakan akan kedatangan-Nya pada saat kita berpuasa. Agus menjawab, bahwa puasa adalah bentuk untuk mengundang Allah tanpa modal. Karena ada sesuatu yang berbeda ketika kita berpuasa. Contohnya, setidaknya kita mengurangi untuk berbuat buruk yang mungkin biasa kita lakukan. “Coba njenengan puasa kayane seperti biasa-biasa tapi ada suasana berbeda, jadi salah satu indikator atau penanda dari bahwa kita sedang bersama Allah adalah hidupnya tenang. Jadi kalau tiba-tiba apapun penyebabnya kita gelisah, kalau dalam perspektif teologis maka kita bisa menyimpukan bahwa pokoke lagi adoh karo Gusti Allah.”, sambung Agus.

***

Mendekat pada Alam

Kusworo melanjutkan dengan mengelaborasi apa yang disampaikan Pak Titut bahwa anak sekarang sudah tidak paham mangsa. Sekarang tahunya mangsan Pokemon Go tidak tahu mangsa kesiji, keloro, ketelu dan seterusnya. Artinya kemampuan untuk antisipatif, respon terhadap sesuatu yang di luar dirinya dengan alam sudah sedemikian dijauhkan karena disibukkan untuk sibuk dengan HP. Karena tidak punya daya antisipatif terhadap kondisi di luar dirinya, maka seringkali orang ribut untuk urusan sederhana, misalnya urusan viral di bulan puasa dan di Idul Fitri. Orang sepintas sepertinya wawasannya luas tapi justru dunianya jadi sempit.

Pak Titut menyambung dengan menyampaikan bahwa akibat manusia sudah menjauhi alam, maka wajar menjadi banyak yang tidak beres dalam cara hidupnya. Pak Titut memuji Pak Hardi, orang Jakarta yang memilih hidup di sebuah desa di Banyumas, di sana mendidik anaknya dekat dengan alam untuk mempersiapkan anak untuk bisa lebih tepat merespon gejala alam katakanlah situasi yang di luar perhitungan.

Dan lagi ini salah satu bentuk kemurahan kalau kita teliti betapa kita sudah tidak punya daya antisipatif respon terhadap alam, satu pengetahuan tentang mangsa saja sudah tidak punya apalagi untuk mengantisipasinya. Untungnya kita dianugerahi musim yang masih bisa ditolerir oleh tubuh, tidak kebayang dengan cara hidup seperti kita kemudian kita hidup di luar negeri, seperti yang punya empat musim mereka memang dipacu untuk bagaimana caranya untuk bisa bertahan hidup.

***

Juguran Syafaat sebagai Antibodi Informasi

Hardi dari Banyumas mengestafeti dengan berbagi pengalamannya menyaksikan anaknya teriak-teriak dari dalam mobil ‘imsak!!!’ padahal waktu itu sudah malam takbiran. Anaknya berteriak-teriak karena tidak tahan melihat fenomena orang-orang berjubel di sebuah toko busana muslim terbesar di kota ini, baru saja selesai puasa tapi sudah kalap berbelanja.

Hardi juga memberikan sharing bahwa Buat saya penting banget menemani putri saya sahur di hari kedua syawal. Baginya puasa justru dimulai di syawal hari ke dua karena saat itu makanan lagi banyak-banyaknya, godaan lagi asyik-asyiknya kemudian puasa syawal kita mulai. Hardi menyepakati apa yang disampaikan Mas Agus tentang tantangan untuk mensukseskan menahan diri di 11 bulan mendatang sebagai hakikat puasa yang sesungguhnya.

“Kemudian terkait Getok Viral, saya ingat pada beberapa waktu lalu saat masih sama kawan-kawan jurnalis, ada satu buku yang menarik judulnya political television. Jadi era sebelum ada si android ini, pada saat itu televisi adalah satu-satunya gadget, satu-satunya alat yang paling benar di dunia ini, semua yang di televisi itu benar, semua yang di televisi adalah nyata, saya ingat itu buku keluaran tahun 1954. Tapi betapa hebatnya itu, itu tidak lebih hebat dari pada android, jadi orang bisa saling bunuh gara-gara nonton televisi, orang bisa saling bunuh gara-gara sisirannya itu tidak sama dengan yang di televisi, orang tidak saling nyapa kalau dia tidak tahu acara yang ada di televisi.”, Sambung Hardi.

“Kalau boleh mengkoneksi lagi sama yang materi bulan lalu Informasi Ranjau, saya jadi berbalik lagi wong ranjau itu nggak salah sebenarnya informasi juga nggak salah. Ranjau itu sampai sekarang saya masih tanyakan kepada teman-teman saya apakah itu asalnya dari bahasa sumatera atau itu berasal dari bahasa sunda. Ranjau tugas awalnya itu untuk melindungi dan memberi tahu agar orang tidak celaka tapi sekarang ranjau dibalik tugasnya untuk mencelakakan dan menyakiti orang lain.”, Lanjutnya.

Hardi kemudian mencoba mengaitkan dengan Getok Viral, “Informasi sudah segini banyaknya harusnya kita punya ranjau, benteng diri kita supaya yang gini-gini nggak masuk, kan tugasnya dia memberi batas supaya hewan-hewan itu tidak masuk ke ladangnya tapi tidak menyakiti. Tapi dalam bahasa degredasi lagi ranjau jadi bahasa yang menakutkan buat kita, jadi barang yang jahat.”

“Yang lucu lagi informasi kalau kita kemudian tarik lahirnya kata informasi itu malah kita merasa berdosa, info for afirmation buat afirmasi, terus afirmasi itu mengambil dari atas ke bawah. Info itu kebenaran yang diambil dari sana (atas). Jadi kalau anda melakukan, ini informasi sebenarnya tidak ada yang buruk, pada saat lahirnya bahasa informasi itu dilahirkan untuk hal-hal baik. Jadi kalau orang menyebarkan informasi yang jelek yaitu tadi nama itu jadi degredasi lagi padahal informasi itu kaya berita yang datangnya dari Tuhan. Jadi yang sudah tadi ya kita minta maaf kepada kata informasi dan ranjau itu.”, Pungkas Hardi.

Hardi melanjutkan dengan merespon yang disampaikan Mas Agus “Informasi hendaknya disampaikan karena sasarnya kasih sayang. Tapi dari tahun sejak Perang Dunia I sampai detik ini ilmu pengetahuan yang digunakan itu dasarnya karena dendam. Aku ingin membalas maka tak buatkan senjata, aku mau membalas tak buatkan tekhnologi. Israel punya binnet, mereka sudah tidak pakai segala macam, mereka hanya butuh baterai kekuatan 15 jam, sudah tidak butuh BTS segala macam mereka bisa komunikasi secara langsung point to point tapi kita dibohongin oleh vendor-vendor untuk pakai ini. Jepang punya satelit yang paling besar namanya bulan, mereka mengembangan EME (Earth Moon Earth) ngapain capek-capek mahal-mahal menerbangkan satelit ke sana pakai bulan saja tempak dari bawah rampung wong sudah disediakan Tuhan.”

Hardi kemudian melanjutkan “Belum propagasi, potongan-potongan langit, kalau temen-temen menikmati langit Banyumas bagian selatan itu langit itu indah selalu berkabut padahal tidak ada pegunungan tapi itu teknologi kondensasi yang luar biasa yang dipersiapkan oleh Tuhan dan dipersiapkan oleh leluhur-leluhur dari Banyumas tapi kita lebih percaya pasang AC wong AC nya sudah ada di Banyumas dari dahulu kala, itu AC besar banget, sungai serayu namanya.

Hardi kemudian mengajak untuk jangan tiba-tiba kita terima langsung share. Viral asal katnya serumpun dengan virus. Virus dulu berupa hama, untuk merusak tanaman. Kemudian  viral sekarang juga banyak yang dimanfaatkan untuk merusak. Tugas kita sekarang adalah membentuk antibodi, diantaranya melalui forum Juguran Syafaat ini. Hardi kemudian menyanjung empat pesan Mbah Nun, bahwa pesan tersebut sinkron dengan konsep 4 kuadran personal profiling analisis : Dominan, Ekspresif,  Meable, Enertical. Empat-empatnya dimasukkan sama Mbah Nun tapi dalam bahasa yang aplikatif.

Giliran Ari dari Kedung Banteng menyambung respon, menurutnya media itu mengedepankan “a bad news a good news”. Maiyahlah yang masih menyampaikan informasi secara berintegritas, tidak peduli mau laku atau tidak. Terserah mau dimakan atau tidak. Menurutnya komunitas yang selalu menanamkan benteng-benteng rohani dalam diri yang menyambungkan ke Tuhan ya Maiyah.

***

Political Television vs Political Wali

Beralih kembali ke Kusworo, Ia menyampaikan bahwa disiplin militer tidak selalu dalam makna denotatif.  Tapi justru titik tekannya adalah disiplin kaitannya yang Mas Agus sampaikan soal tatanan, peradaban puasa karena menarik saya minggu kemarin itu ke warung dideket stasiun Kroya jam 5 pagi itu ramai banget kemudian tiap hari buka jam 9 sudah tutup, kalau menurut perhitungan cara pandang saya itu kalau diteruskan mbok sampai sore sampai malam ya warung itu ramai terus. Kemudian ketika ditanya kenapa jam 9 tutup ‘ya mbageni warung sejene’.

“Apa yang disampaikan oleh para perespon tersebut ada sambungan yang menakjubkan. Misalnya satu hal tadi tentang frequensi, kok yang kita pikir frequensi yang bisa memancarkan adalah handphone, televisi, padahal Pak Titut pun mengirimkan frequensi kepada terongnya, nah itu tidak pernah kita pelajari karena frequensi terhadap terong tidak diajarkan oleh barat. Kemudian kita tidak menduga-duga bahwa ketika kita niat berpuasa, satu karena pahala atau kedua karena menjadikan itu riyadhoh seperti yang disampaikan Mas Agus dikira frequensinya tidak beda.”, sambung Rizky.

Rizky juga menyampaikan bahwa hendaknya kualitas puasa kita berbeda dengan puasanya anak umur empat tahun. Bukan malah kita pamer puasa syawal, tetapi bagaimana kita belajar praktek puasa model ibu warung yang rela tutup demi membagi rejeki bagi warung yang lain.

Rizky menyampaikan bahwa di Maiyahan kita tidak sekedar membahas gejala, tetapi mencoba menelusuri hingga asal usulnya. Gejala viral yang meresahkan di bulan puasa dan Idul Fitri kemarin, kita telusuri dan temukan polanya untuk menjadi ilmu. “Betul yang Mas Hedi sampaikan, apa iya wong saya ngga punya salah kok harus meminta maaf saat lebaran. Nah ternyata memang yang substansi bukan minta maafnya, tapi bahwa kita menyambung lagi hubungan dan menegaskan hubungan satu sama lain: oh kamu tentangga saya, oh kamu Pak Dhe saya dan sebagainya. Nah kalau tidak ada momentum Idul Fitri, saya yang tidak  bertemu 20 tahun mungkin sudah lupa kalau itu Pak Dhe saya.”, jelas Rizky.

“Kemudian tentang politic television yang disampaikan Pak Hardi. Ya betul sekali dulu kebenaran itu dari televisi sedangkan sekarang televisi saja menginduk kepada viral di internet sementara kalau masa lalu kalau political Wali apa-apa kan kalau dari Wali atau Sesepuh yang ada di daerahnya itulah kebenaran yang diikuti, ‘Aja lunga-lunga dina setu pahing, aja mbojo karo sing jemuah kliwon. Tapi itu sepertinya kita jauh sekali. Artinya bahwa di tengah kebingungan ini kalau hari ini kita masih menginduk kepada kebenaran adalah apa yang ada di internet, kita curigai bahwa ada jenis kebenaran lain yang itu bisa jadi adalah kebenaran yang disampaikan oleh leluhur. Nah ini bagaimana mengaksesnya.”, Rizky menandaskan.

Fikry memberikan sharing tentang kejanggalan fenomena yang ia temui, ketika di bulan Ramadhan atau Idul Fitri ada hadits yang mendadak populer dan menjadi buah bibir, kemudian pada Ramadhan tahun yang berbeda ia lenyap dan berganti dengan booming-nya hadits yang lain. Ia juga menyampaikan bahwa kita sudah demikian berjarak dengan sumber informasi, sehingga kerap rancu membedakan mana informasi dan mana data. Sementara yang dibangun di Maiyah adalah bagaimana kita menuju sedekat mungkin dengan sumber informasi. Kita menjadi dhzolim kalau sudah dititipi kemampuan memilah, tetapi tidak menggunakannya.

Pak Titut menyampaikan bahwa orang sekarang sudah tidak mempunyai rasa, kalau ada fenomena orang jual nasi atau serabi tapi tidak serakah sehingga jam bukanya pendek,  itu karena mereka masih memiliki rasa, sehingga bisa melihat kepatutan. Jualan serabi sampai jam 12 siang pasti laku, tapi apa patut?

Pak Titut bercerita pengalamannya kemarin ada seorang bertanya “Pak Titut nek gawe huruf A si keperiwe?”, Ya A ya kya kiye, “Mboten, seniki A tinggal tul”. Anak sekarang tidak tahu gambar A, tahunya tingga tul A tul B tul C.

Rizky menyambung, “Anak yang nulis huruf A tinggal tul gitu yang saya tahu namanya anak generasi Z, yaitu yang bayi lahir sudah tahu touch screen itu sekitar tahun 2000-sekarang. Di bawahnya lagi generasi Y mungkin itu yang masih mengenal buku halus itu dari tahun  1980-1999. Kalau Pak Titut ini kan generasi A mungkin karena masih mengenal sabak. Jadi mungkin setiap generasi itu dari A-Z penanganannya memang berbeda, itu yang mungkin untuk ilmu parenting kita.”

Rizky melanjutkan dengan menyampaiakan “Jangan-jangan cara kita menyerap informasi itu salah atau harus diperbaiki, jadi kalau sekarang ada Kiai ngomong apa yang dipikir omongannya sedangkan kalau saya, saya sedang belajar kalau Kiai ngomong apa yang saya pelajari, ini kiainya seperti apa dulu. Sekarang hilang seolah-olah kita itu berguru yang penting transaksi ilmunya bukan persambungan kita dengan Kiainya dengan gurunya padahal itu yang mungkin menjadi ruh dari ilmu itu sendiri. Mungkin kita tidak perlu tahu dari definisi dari menulis dulu atau mentakdirkan dulu tapi kalau kita melihat perane yang menyampaikan wejangan itu malah itu akan menjadi laku hidup kita.”

Cyber Technologi adalah Berkah

Giliran Mas Agus kembali memberikan respon-respon, “Pertama saya sepakat bahwa kita akan dipaksa oleh situasi untuk kembali pada diri sendiri, jadi hari ini kita memang sedang dipaksa untuk tidak jadi diri sendiri, kita dipaksa jadi barat, arab, orang lain. Hari ini bangsa kita juga atau umat manusia di dunia juga sedang bergerak atau puncak kelelahan menjadi orang lain, salah satu indikatornya adalah coba lihat warung-warung saja sudah dibikin atapnya pakai daun kering, dipinggir sawah terus disamping dibikin outbound, itu sudah dipuncak kelelahan.”

“Jadi kalau dulu penjajah salah satunya menggunkan media untuk membangun opini, menebar informasi berdasarkan parameter yang mereka bangun maka sekarang kita mendapat berkah adanya internet, di sini Mbah Nun mengatakan penguasaan terhadap Cyber Technologi, saya memaknai bahwa ini berkah tergantung kita menguasai atau dikuasai, yang disebut menguasai adalah bagaimana kita menggunakannya tetapi mengisinya dengan informasi-informasi yang bersumber dari parameter yang kita bangun sendiri, bukan kita mengkonsumsi.”, papar Agus.

“Jadi sekarang gini awal kita tidak menjadi diri sendiri, Mbah Nun pernah nulis di tempo pasca tertangkapnya presiden PKS kasus sapi tentang konspirasi global. Jadi menurut Mbah Nun (kalau tidak salah) jaman Nabi Musa selesai itu tiba-tiba muncul ada Isa dengan seluruh keajaiban-keajaibannya umat Nabi Musa ini cemburu ‘loh ini bayi bisa ngomong, tidak punya bapak, populer’, melebihi kepopuleran Nabi Musa sehingga dibikin rekayasa sampai berakhir penyaliban Yesus kemudian lahir agama Nasrani sehingga estafet dari risalah ke Nabi Muhammad terbajak lahirlah agama itu. Kemudian sampai ke Nabi Muhammad juga direduksi lagi agama Islam, yang harusnya ajaran Islam adalah menebarkan nilai-nilai universal karena peran Muhammad itu universal, kalau Nabi-Nabi sebelumnya itu lokal  regional.”, Lanjutnya.

“Nah ajaran Islam atau kita sangka Islam hari ini kita terima sebagai agama Islam direduksi sedemikian rupa seolah-olah menjadi ajaran yang kehilangan universalisme, sehingga semua dipaksa untuk menjadi Arab padahal semua bangsa kita di suruh Tuhan jadi orang Nusantara. Kita disuruh Tuhan jadi orang Jawa kita disuruh Tuhan untuk jadi orang Banyumas, kita tidak pernah minta jadi orang Nusantara, Jawa, Banyumas  artinya itu takdir Tuhan dengan kata lain kita memang disuruh Tuhan untuk jadi orang Banyumas maka setiap wilayah ini daerah memiliki seting alam sendiri yang membentuk watak otentik yang kemudian melahirkan perilaku yang kita sebut sebagai budaya. Nah itulah yang disebut diri kita sebagai bangsa. Nah hari ini sedang ditenggelamkan peradaban Jawa kuno sedang ditenggelamkan yang kemudian sedang dimunculkan adalah segala ilmu dan informasi-informasi yang kita anggap modern yang bersumber dari Yunani kuno asal-usul dari kebudayaan barat.”, Mas Agus masih melanjutkan.

“Sampai konsep kenegaraan saja sudah lebih yakin kepada barat dengan teriak politiknya padahal Jawa juga punya konsep bagaimana Sunan Kalijaga mengkonstruksi Demak pasca runtuhnya Majapahit, kemudian Sunan Kalijaga difitnah dengan dibangun opini melalui berbagai media pembelokkan sejarah sehingga hari ini kita mengenal Sunan Kalijaga hanya sebatas tokoh klenik, bukan sebagai konseptor atau sebagai negarawan sehingga kita lebih mempercayai John Lok, Karl Mark, Imanuel Khan dan lain-lain di dalam menkonsep  tatanan sosial atau yang kita sebut negara, kita tidak pernah mencoba menginspirasi Sunan Kalijaga, karena Sunan Kalijaga sudah direduksi eksistensinya. Ini sudah mulai dibuka oleh Tuhan sedemikian rupa pintunya untuk kita. Kalau televisi, koran itu kita butuh modal untuk menguasai mereka, mereka dikuasai kapitalis, kita tidak bisa masuk, ini tidak mungkin dimuat di koran tapi acara hari ini bisa kita masukkan ke internet gratis, itu artinya pintu sangat lebar untuk kita menyebar dan menguasai yang disebut Cyber Technologi. Jadi ini berkah luar biasa, mereka yang bikin di dalam menjajah seolah-olah ini buat makin menyempurnakan penjajahan tapi sesungguhnya mereka telah membuka pintu bagi bunuh diri peradaban  barat karena sebentar lagi informasi-informasi dari tanah Nusantara akan segera menyebar ke seluruh pelosok dunia dan saya percaya itu. Ini sudah mulai ditengah kelelahan orang tidak menjadi dirinya sendiri.” Lanjutnya lagi.

***

Usulan RPJMA (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Allah)

“Tentang pertanyaan menjalani yang menulis yang dtakdirkan atau menulis mentakdirkan yang ditulis. Intinya gini saya sering mengatakan gini hari ini malam minggu saya ketemu teman-teman ada takdir seperti ini ada kejadian seperti ini, seandainya hari minggu yang lalu atau jum’at kemarin kita ketemu Tuhan, Tuhan kita tanya “Gusti, ngenjang malam minggu teng pendopo sinten mawan terus arep kepripun?”. Tuhan Al Alim Maha Tahu pasti Dia tahu, kalau Tuhan tahu apapun yang terjadi hari ini memang ini rencana Tuhan, bahwa Tuhan tidak mejawab merahasikan itu memang Tuhan untuk memperindah dan menciptakan tahap-tahap eksotisme hidup, kalau semua sudah dibuka ya ora indah.”, Mas Agus mencoba merespon pertanyaan dari Feli.

“Diteruskan kalau Tuhan kemarin kita tanya kejadian ini sudah tahu, Tuhan tahu nggak kejadian besok yang menimpa kita apa? Tuhan pasti tahu. Artinya ini memang sudah direncanakan kejadian apapun besok tetapi Tuhan juga kalau ini rencana Tuhan  kelau semua adalah rencana Tuhan, adakah rencana Tuhan yang buruk? Tidak ada rencana Tuhan yang buruk, bahwa kemudian menimpa kita berefek buruk itu karena Tuhan menciptakan jarak dialog dengan makhluk, maka ada dalil yang mengatakan ‘ana ‘indadzonni abdi’ artinya: rencanaku sing apik kabeh tidak ada yang buruk, tetapi kalau engkau menyangka buruk akan berdampak buruk bagimu, kalau engkau menyangka baik maka rencanaku akan berdampak baik.  Jadi adanya kejadian apapun yang saya sebut ringkes adalah ini pasti rencana baik Tuhan tinggal bagaimana kita memaknai dan mengkhusnudzoni semua yang terjadi.”, Mas Agus menguraikan.

Tuhan juga punya rumus lagi:  “Yang bisa merubah ketetapanku adalah doa”, jadi seandainya kita tanya, inilah di mana Tuhan sangat mutlak tetapi Tuhan membagi otoritas kepada manusia pada prosentase tertentu. Tuhan sangat multak tetapi Tuhan tidak egois, Tuhan membagi, Tuhan tidak sentralistik  tapi Dia bersikap memberikan hak otonom kepada kita juga, ‘Gusti kula ngenjang kedadene nopo mawon?’, ‘Ya aku si wis gawe rencana tapi nek kowe nduwe ide silahkan ide”, jadi kita bisa berkoordinasi dengan Tuhan dengan apapun, misalnya gini, ‘Gusti wulan ngajeng kula duwe mobil mboten?’, ‘Nyong ya arep ora ngomong ko’, ‘kula kepengin due’, ‘ya aku memang wis rencana kue’. Seandainya ‘Aku ora rencana kue tapi nek kowe nduwe ide itu tak setujui’, misalnya.”, Mas Agus mencoba memberikan simulasi.

“Kita masih terpisah antara doa dan ikhtiar seolah doa adalah ‘Ya Allah..’, terus begitu kita melakukan upaya-upaya fisik itu bukan bagian dari permohonan, wong baik ‘Ya Allah kula nyuwun sugih’, itu ya doa, terus kita berusaha kerja keras itu juga doa. Misalnya saya sakit ‘Ya Allah sembuhkan saya’, itu doa. Kemudian saya minum paramex itu juga bentuk doa yang lain karena yang menyembuhan adalah sama-sama Allah. Jadi posisi keduanya sama-sama bukan penentu sembuh. Jadi ayo lakukan, kula usulkan. Kalau dalam bagian usulan di pemerintahan itu ada RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) itu usulan-usulan diajukan ke pusat, pusat nanti ada yang disetujui ada yang tidak. Jadi kita usulkan baik dalam bntuk permohonan hati atau dalam laku kerja. Itu semua merupakan RPJMA (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Allah) yaitu yang kita usulkan untuk hidup kita. Jadi negara ini saja sudah ayat Tuhan, negara menyediakan hak daerah untuk membuat RPJMD, Allah juga menyelenggarakan kepada makhluknya untuk membuat RPJMA. Jadi ini yang disebut menjalani tulis atau menulis dan akan menjalani tulisan kita sendiri, itu kerjasama dan pembagian otoritas Allah dan kita”, Pungkas Agus.

Agus kemudian berkelakar tentang kelompok orang-orang yang berbangga diri mengaku ahli surga, memakai seragam busana surge tetapi tindakannya justru meresahkan dan mereduksi universalitas Islam. “Sementara ini ada kelompok-kelompok yang merasa bahwa Islam harus ada seragamnya. Yang jadi aneh mlebu sorga urung genah kok wis nganggo seragame? Itu kalau orang yang belum jadi polisi tapi sudah memakai seragam polisi, berarti..”, Jamaah tertawa dan Mas Agus merasa tidak perlu melanjutkan.

Memasuki dinihari nampak Pak Titut semakin segar, ia kemudian sharing tentang pertanyaan yang pernah ia dapati  “Pak Titut nek wong sugih ya cobaan, sengsara ora due ya cobaan tapi kula kepengin dicoba sugih bae kepripun, kok nyong urung tau sugih sebab mending dicoba sugih daripada dicoba ora due?”

Mas Agus kemudian merespon, “Kalau kita sudah bisa memaknai sugih dan melarat itu ujian maka yang tahap kedua yang harus kita maknai adalah ukuran lulus dan tidak lulus, Pak Titut ingin dicoba sugih, menurut Pak Titut tanda lulus itu apa, ukuran bahwa lebih mudah diuji sugih. Kalau pilihan kita sugih di dalam diri kita ada pemikiran bahwa lewih gampang ujian sugih padahal Rasulullah sendiri mengatakan bahwa banyak umatku diuji oleh kemiskinan itu kuat atau lulus tapi ketika diuji dengan kekayaan dia tidak kuat dan tidak lulus. Itu statement Nabi yang tingkatnya wahyu jadi pasti benar.”

“Bahwa kemudian kita diuji itu Allah sudah ngukur, Allah tidak akan membebani melampaui batas kemampuannya, pertanyaannya tapi kenapa ada orang stress bunuh diri, katanya Gusti Allah nguji tidak akan melampaui batas, berarti dia tidak mampu? Lho Allah sudah ngukur misalnya Pak Titut naik ke atas apa misalnya itu ada beras 50 kg di sana ada anak 10 tahun, 5 tahun, 30 tahun, Pak Titut akan ngerti ini tidak akan mungkin kepada anak 5 tahun ‘kiye ditampani kiye!’. Pak Titut tidak bisa mengukur bahwa dia tidak mampu. Nah Tuhan pasti tidak memilih anak yang 30 tahun tetapi jangankan sekedar anak biasa mbok Ade Rai kalau dia ‘salah posisi’ dalam menerima bobot itu, tetap ia akan tetep keseleo.”, Mas Agus menjabarkan.

***

Menjawab Soal Kehidupan

“Kalau saya sakit saya harus menyetujui bahwa Tuhan sudah menetapkan sejak lama bahwa hari ini saya sakit, ‘Tapi kan ko ngimum obat Gus?’. Nah, minum obat hanya upaya saya menjawab soal ketika saya sakit bukn sedang menolak ketetapan saat saya sakit. Karena saya sakit jadi harus saya jawab tapi bukan sedang menolak sakit. Minum obat ini hanya cara saya menjawab kondisi sakit, ibarat soal 1 + 1 ya jawabannya 2. Kalau saya sakit jawabane obat bukan menolak ketetapan saya sakit. Maka ketika tidak sembuh kita toh sudah menjawab dengan tepat, jadi kalau kita sakit tidak berobat ya salah tapi berobat juga jangan dalam rangka menolak ketetapan Tuhan kepada kita untuk sakit. Ini memang sikap batin perilakunya bisa sama nilainya bisa beda.”, Jelas Agus.

“Orang dulu keperang gesekna bandotan mari, siki bisa infeksi karena sudah salah sikap batinnya, orang mencret godong jambu sembuh, apa saja bisa menjadi jawaban-jawaban atas apa saja yang menimpa kita. Kira-kira konsep Maiyah adalah membenahi tauhid supaya sikap sosial kita juga tidak keliru di dalam menjalani kehidupan.”, ujar Mas Agus.

Persatuan Indonesia, Persatuan Malaysia, Persatuan Filipina

Lebih luas mas Agus menjelaskan ketepatan sikap batin leluhur diantaranya terlihat dari warisan Pancasila, dimana Tuhan tepat diletakkan di nomor satu. “Kalau orang sudah menjadikan Tuhan sebagai kesadaran utama hidupnya maka output moralnya pasti universalitas yaitu kemanusiaan, kalau sudah kemanusiaan itu berarti sudah universal tidak milih-milih agama tapi kemanusiaan, kalau sudah kemanusiaan dalam dirinya karena sudah tidak ada kotak-kotak primordial maka dia akan menciptakan Persatuan, dengan sendirinya persatuan, Persatuan gagal kita ciptakan karena kegagalan berTuhan sehingga sikap moral kita menjadi primordial bukan universal maka dalam dirinya bukan persatuan, jadi kelak suatu saat prinsip 5 ini akan menjadi dasar falsafah hidup orang sedunia bukan hanya Indonesia, suatu saat Malaysia dasar negaranya, 1. Ketuhanan Yang Maha Esa, 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3. Persatuan Malaysia, lalu persatuan Filipina dan seterusnya.”, Paparnya.

“Ini saya kira temen-temen sudah marem dengan apa yang kita bahas malam ini, saya persilahkan temen-temen untuk berdiri dan bersalam-salaman”, ajak Kusworo sekaligus sebagai statement penutup di akhir forum Maiayahan malam hari itu. KAJ setia mengiringi dengan Ya Rabbibil Musthofa. [] Hilmy/Rizky. Verbatim: Hirdan. Foto: Fikry/Anggi.

Mukadimah : FILANTROPI

MUQADIMAH JUGURAN SYAFAAT AGUSTUS 2016

IT adalah sepotong kue ekonomi yang menakjubkan. IT bisa mengantarkan seseorang menjadi lebih kaya raya dari siapapun di muka bumi. Sehingga pendiri salah satu jejaring sosial terbesar di dunia ia bisa memberikan 99 % kekayaannya untuk kegiatan sosial, sebab 1 % sisanya sudah berlebih untuk sekedar memenuhi apa yang menjadi kebutuhan pribadinya. Banyak jalan orang untuk menempuh keberlimpahan, ada orang yang menempuhnya dengan jalan kebaikan, sehingga ketika ia sudah menjadi berlimpah kemudian mudah saja menjadi seorang filantropi, seperti si pemilik jejaring sosial tersebut. Akan tetapi banyak juga orang yang menempuh jalan keberlimpahan dengan mengakali sistem, mengakali orang lain, sehingga semakin berlimpah hidupnya semakin ia angkuh dalam pucuk piramida, tak iba melihat penderitaan sesama.

Filantropi adalah sebutan bagi orang-orang yang memiliki  kontribusi besar bagi sesama. Ia bukan hanya menyisihkan sebagian yang ia miliki, tetapi ia mensedekahkan sebesar-besar dari kapasitas pribadinya. Apakah harus kaya raya sekaya konglomerat dulu untuk bisa menjadi filantropi? Sebetulnya tidak harus juga. Tatanan masyarakat Nusantara di era dahulu bahkan adalah tatanan masyarakat filantropi.

Masyarakat filantropi bukan masyarakat ‘ahli sedekah’ dalam arti rajin menyisihkan sebagian kecil hartanya, melainkan mereka adalah masyarakat yang mendedikasikan sebesar-besar kapasitasnya masing-masing. Kalau kapasitasnya maksimal hanya membagi undangan, maka ia menjadi pembagi undangan yang istiqomah. Menjadi pembuat jenang hingga penggali kubur, semua saling melengkapi satu sama lain. Mereka mendedikasikan kapasitas diri mereka, bukannya mengikuti pelatihan capacity building untuk kemudian mengkomoditasiannya. Itulah bedanya konsep spesialisasi masyarakat Nusantara dengan profesionalisasi ala Yunani.

Seorang filantropi sepertinya tahu betul bahwa manusia terbaik adalah yang terbesar kemanfaatannya. Kemanfaatan yang merupakan buah dari kapasitas diri yang ia tumbuhkan. Semakin bertumbuh kapasitas pribadinya, semakin rindang dan luas yang ia naungi. Kalau di hadapan kita ada seseorang yang senantiasa menaungi Indonesia dengan segunung tumpukan permasalahannya, pastilah ia seorang yang demikian besar kapasitas pribadinya, seorang filantropi sejati.[] RedJS

MAMPIR MEDANG (12) : BERGANTI-GANTI INVENTARIS

Hidup itu perjalanan. Ibaratnya di dunia kita disuruh berperjalanan di darat, maka kita dipinjami inventaris berupa mobil hardtop. Badan kita ini mobil hardtop itu. Lalu nanti fase darat selesai, hidup di dunia selesai, kita akan berpindah alam.

Anggaplah kita akan berpindah dari daratan ke lautan. Maka mobil hardtop tidak lagi terpakai. Kemudian Allah menyiapkan inventaris kendaraan baru, yakni sampan.

Ada ukuran-ukuran yang kini berlaku, karena itu adalah ukuran-ukuran darat. Tetapi, ukuran-ukuran itu tidak lagi akan berlaku setelah kita meninggalkan daratan. Laut memiliki rumus dan ukurannya sendiri yang berbeda dari darat.

Di dimensi dunia ini, banyak ukuran-ukuran hidup bersama yang sudah dimanipulasi. Misalnya orang yang paling dihormati adalah yang paling kaya raya. Yang disebut sukses adalah mempunyai banyak uang. Dan seterusnya.

Tapi di kehidupan sesudah dunia nanti. Ukuran-ukuran yang hari ini disepakati berlaku itu tidak akan berlaku lagi. Di dimensi kehidupan yang lebih tinggi, yang berlaku adalah ukuran yang lebih sejati : “…inna akromakum indallohi atqokum”.[] RedJS