MAMPIR MEDANG (19) : TAQWA, PEKEWUH

Seperti apakah wujud taqwa itu? Wujud taqwa itu adalah pekewuh. Ketika seseorang berada dalam kondisi ia hanya numpang, hidupnya bergantung pada kebaikan hati si pemilik rumah, maka yang ada hanya rasa pekewuh kepada pemilik rumah.

Bumi ini milik Allah. Hakikatnya di bumi, diri ini hanya numpang saja, tak ada saham tak ada kepemilikan. Rasa pekewuh adalah keniscayaan, apabila di dalam diri ini yang ada adalah kesadaran numpang di dalam tampungan Allah yang Maha Baik.

Saat seseorang numpang, kok ia rajin bangun pagi, bersih-bersih tidak menunggu di suruh. Maka pemilik rumah akan senang hatinya. Sikap terpuji semacam itu tidak akan muncul, bila bukan dari rasa pekewuh.

Diri ini tidak perlu nodhong-nodhong, ‘mana jatah sarapan saya?’. Tenang saja, asal pemilk rumah senang hati, Dia akan lebih tahu bahwa diri ini lapar, bahkan sebelum rasa lapar itu terbesit.[] RedJS

Batik Kini

Batik itu mempesona. Di kurun waktu terakhir semua mata terpikat oleh pesona orisinil Nusantara yang satu ini. Monumentalisasinya adalah dengan ditetapkannya 1 diantara 365 hari yang ada sebagai hari batik nasional.

Begitu besar permintaan akan batik. Baik permintaan yang lahir alamiah, maupun permintaan yang lahir karena pengkondisian-pengkondisian dan pewajiban-pewajiban yang dilakukan di banyak tempat dan instansi.

Pesona besarnya pangsa pasar batik bahkan mengalapkan pesona motif-motifnya. Sekalipun pelajaran muatan lokal tak absen diajarkan di sekolah-sekolah, tapi coba disurvay berapa banyak anak-anak yang paham akan makna motif atas batik yang mereka pakai.

Sayangnya, sebab mata kita terlalu sipit melihat potensi ekonomi di tengah derasnya batik campaigne ini, maka kelompok lain diantara kita yang justru lebih melek menguasai rantai perdagangan batik.

Seniman batik pun berubah menjadi buruh batik. Karya seni motifnya berubah sebatas komoditas. Nyerok, mbatik, nerusi, ngelir, mepe tidak lagi penting tumakninah mengerjakan proses-proses itu. Target, target dan target penjualan adalah hal yang lebih penting.

Sedekat apa kita bercengkerama dengan pusaka leluhur berupa batik. Seberapa faham atas motif yang kita pakai. Atau seberapa kuat alasan harus memilih memakai atau tidak memakai batik.

Jika mengenakan batik non-tulis, berarti sama saja telah melarisi komoditas yang telah dikuasi sekelompok orang itu, yang telah berhasil menguasai tata niaga batik.

Akan tetapi, kalau memakai batik tulis. Ah, mahal sekali. Rasa-rasanya urusan sandang tak harus semahal itu. Merawat sandang martabat yang justru harus lebih mahal.

Maka, benar saja tatanan di masa lalu, batik peruntukannya hanya bagi kaum bangsawan dan priyayi saja. Yakni bagi mereka yang cashflow pribadinya tetap setimbang meski telah nembelanjakan untuk memiliki busana-busana mahal.[] Rizky Dwi Rahmawan

MAMPIR MEDANG (18) : KEINTIMAN HUJAN

Orang yang dalam konsep hidupnya ada Tuhan, ketika ia memerlukan hujan reda dan tepat di saat itu hujan benar-benar reda, maka yang ia lihat bukanlah hujan, yang ia lihat adalah Tuhan, perkenan dan perilaku Tuhan.

Redanya hujan tepat pada saatnya seseorang butuh hujan untuk reda bisa jadi adalah sebentuk kasih sayang Tuhan. Kasih sayang berupa kemesraan yang sangat personal, intim, karena pemaknaan itu hanya berlaku bagi ia seorang.

Redanya hujan tepat pada saatnya seseorang butuh hujan untuk reda adalah sebuah keintiman seseorang dengan Tuhan. Menjadi tidak pas kalau justru ia gembor-gemborkan, ia bangga-banggakan.

Seperti halnya seorang kekasih yang dengan intim mengecup kekasihnya. Cukup keintiman itu dinikmati berdua. Kalau digembor-gemborkan, dipamer-pamerkan akan membuat malu, tidak enak hati atau bisa jadi marah.

Redanya hujan tepat pada saatnya seseorang butuh hujan untuk reda adalah sesuatu yang sangat intim, sangat personal.[] RedJS

Mustahil Gagal

Kalau yang disebut BERHASIL adalah berolehnya laba, terraupnya untung, maka GAGAL adalah sebuah hal yang menakutkan. Karena gagal dianggap hal yang menakutkan, maka para motivator bisnis mempunyai anjuran ‘Berani Gagal!’.

Mengubah diri dari takut gagal menjadi berani gagal adalah sebuah revolusi mental. Butuh afirmasi, kalau afirmasi tidak cukup, ya butuh dinekat-nekatkan. The power of nekat.

Nyatanya laba dan rugi adalah kemungkinan yang mungkin terjadi. Mau diafirmasi seperti apapun, kalau kalkulasi meleset, rugi yang terjadi. Sudah nekat sekalipun, kalau hitungannya tidak masuk, ya laba tak didapat.

Dua kemungkinan itu adalah keniscayaan yang tidak bisa dielakkan. Maka kalau kita bertanya tentang success story seseorang, ‘sukses’ yang ia dapat adalah sepucuk gunung es sementara tersembungi gumpalan ‘kegagalan’ yang lebih besar.

Maka betapa mengerikannya dualitas sukses dan gagal kalau yang dipahami seperti itu adanya. Karena untuk mendapat sepucuk ‘sukses’ kita harus menenggak sebongkah ‘kegagalan’ yang jauh lebih besar ukurannya terlebih dahulu.

Bukan hanya mental, tetapi juga cara berpikir kita tentang sukses dan kegagalan juga harus direvolusi. Bahwa sukses itu bukan hanya saat kita mendapat laba. Bertambahnya jam terbang kita dalam bisnis itu juga berarti sukses. Sebab di dalam bertambahnya jam terbang, itu juga berarti bertambah pengalaman, mungkin bertambah pula jejaring, bertambah bahan evaluasi. Artinya, kita sukses meningkatkan kapasitas diri.

Maka bagi seorang pembelajar, gagal itu mustahil. Sebab apapun kondisinya, selalu mendapat laba ilmu yang semakin meningkatkan kapasitas dirinya. [] Rizky Dwi Rahmawan

MAMPIR MEDANG (17) : ANAK KECIL YANG BERLAGAK DEWASA

Seorang anak kecil kepengin es, tetapi di-penging oleh orang tuanya. Lalu si anak menangis sejadi-jadinya. Bagi si anak, keputusan orang tuanya melarang ia mendapatkan es adalah keburukan, sebab keputusan itu tidak sesuai dengan apa yang menjadi keinginannya.

Berbeda jika kasus serupa itu dihadapi oleh anak kecil yang berlagak dewasa. Walaupun keputusan orang tuanya berkebalikan dengan keinginannya, ia akan tetap dapat mengontrol emosinya, tidak sejadi-jadinya dalam menangis, sebab lagak dewasanya itu memicu ia mampu berpikir bahwa apapun yang diputuskan orang tuanya kepadanya, pasti tujuannya baik.

Toh memang tidak pernah ia mendapati riwayat orang tuanya mendzholiminya dengan sengaja. Walau mungkin si anak itu baru paham manfaat dari tidak minum es-nya setelah beberapa waktu berlalu, mungkin ia melihat anak-anak lain meriang karena memang sedang musim meriang, sedangkan ia tetap terjaga kesehatannya.[] RedJS

MEA : Melek Ekonomi ASEAN

TAK KENAL, maka tak sayang. Modal pertama untuk melebur menjadi satu masyarakat ekonomi kawasan adalah saling mengenal satu sama lain. Ini yang naga-naganya kecolongan dilakukan selama kurun 2-3 tahun terakhir dalam berbagai program internasionalisasi produk UMKM. Program sosialisasi MEA selama ini hingga saat ini sudah di tahun pertama pencanangan terlalu berfokus pada orientasi formalisasi produk. Mendesain warna-warni kemasan, membangun brand juga meregristasikan legalitas. Semua itu adalah standar normatif yang dipenuhi sebuah produk untuk diterima di pasar modern berjejaring luas.

Namun, apakah cukup standar normatif saja untuk membuat produk yang kita miliki berdaya saing regional? Diterima oleh penduduk manca, yang mereka berbeda bahasa, berbeda kebiasaan, berbeda selera dan berbeda gaya hidup? Orientasi terhadap kondisi pasar yang akan menjadi target persebaran produk kita adalah hal yang nampaknya luput atau setidaknya terlalu minim dikerjakan.

Tanpa pengetahuan yang baik tentang kondisi pasar, kita sulit membangun daya saing produk. Bayangkan saja kita membuat desain kemasan yang begitu warna-warni, sementara ternyata di negara tujuan, budaya desain mereka adalah tipe mono atau duo tone saja, akan terasa aneh, nyeleneh dan asing. Atau kita mengonsep brand kelas premium, nyatanya di negara yang kita sasar mayoritas adalah kalangan bersahaja, kaum menengah ke bawah.

Kita memang harus melek dulu, melihat sembilan negara tetangga kita di ASEAN seperti apa kondisi sosiologisnya. Bisa kita nyicil dari bab-bab yang sederhana untuk mulai kita pelajari, misalnya bab perbandingan harga-harga. Harga bahan bakar minyak di Thailand misalnya, lebih mahal dari Indonesia, kenapa sebab? Sebab Thailand tak punya sumber minyak mandiri seperti negara kita. Berbeda dengan di Malaysia, spesifikasi bahan bakar paling tinggi di negara kita adalah yang paling rendah di sana, RON 92. Dan harganya jauh lebih murah dari Premium RON 88 yang biasa kita konsumsi hari ini, bensin. Apa sebab? Sebab rantai pasok perdagangan minyak disana lebih pendek ketimbang di negara kita.

Lalu harga beras, harga ikan, harga daging sapi. Sebab pada program sosialisasi MEA yang selama ini gencar dilakukan tak diberikan informasi semacam itu, terpaksa jika kita ingin mendapatkanya, kita harus menyempatkan berwisata melancong ke tradisional market dan modern market yang ada di negara-negara tetangga. Itu baru mempelajari soal perbedaan harga. Belum mempelajari tentang perbedaan selera dan gaya hidup.

Kalau bukan kondisi ‘melek’, lantas apa yang membuat kita percaya diri merasa siap bergabung dalam MEA, menjajakan produk dan jasa kita melintasi batas negara di panggung ekonomi regional? Tentu bukan gambling peruntungan belaka bekalnya, bukan? [] Rizky Dwi Rahmawan