MUQADIMAH JUGURAN SYAFAAT MEI 2016
Berdiplomasi itu berbeda dengan bersilat lidah. Sering kedua istilah itu digunakan secara tertukar-tukar, karena tidak paham keduanya memiliki makna yang berbeda jauh. Bangsa ini berdiri atas peran besar para pejuang diplomasi yang ulung memainkan perannya secara berseni, bangsa ini bukan berdiri atas peran para pendekar dari perguruan silat lidah manapun.
Apabila saat ini kita menganggap seni diplomasi bukanlah hal yang penting untuk dipelajari, hal itu bisa jadi karena selama ini kita kadung TIDAK merasa diri sebagai subyek. Telah menahun akut, kita diperlakukan sebagai pelengkap penderita saja. Bagi forum-forum keagamaan, kita disebut sebatas sebagai obyek dakwah. Oleh pemerintah, kita tidak disebut subyek pajak, tetapi wajib pajak. Sebuah pemilihan kata yang moderat, karena kalau disebut obyek pajak, nanti kita tersinggung karena dianggap sama dengan tanah dan bangunan. Impersonalisasi terjadi di hampir semua sendi kehidupan, di pasar kita disebut pangsa pasar. Dalam proses politik kita hanya dihargai biting-nya. Semua itu membuat kita amnesia total, bahwa kita adalah juga subyek di tengah berbagai lapis kepentingan. Subyek seharusnya menyadari bahwa dirinya primer, menyadari bahwa ia memiliki hak tawar yang dinamis terhadap apa saja yang menyangkut kepentingan dirinya.
Pendiri bangsa kita dahulu terkenal ulung dalam berdiplomasi. Yang mengagumkan, sejarah mencatat proses belajar mereka dilakukan secara otodidak. Mengapa otodidak? Karena saat itu media belajar belum se-memadai hari ini. Hari ini kita mengalami kemajuan pesat, termasuk dalam hal akses pembelajaran. Akan tetapi, nampaknya hari ini kita harus tetap belajar secara otodidak pula. Karena hari ini kita sudah kadung dikepung industri dan modernitas, sementara industri dan modernitas tidak menghendaki kita mengerti dan menguasai seni diplomasi. Mereka tidak ingin infiltrasi mereka terganggu, alih-alih kita diberi akses belajar, justru kita dininabobokan selelap-lelapnya. Kita hanya tahu bahwa kita sedang makin maju, karena kian hari kian banyak negara datang bertamu walaupun entah apa isi diplomasi mereka dengan pemerintah kita.
Tetapi kita tak perlu minder dan pesimistik, karena kita tidak akan sungguh-sungguh belajar secara otodidak. Sebagai bangsa yang sangat dicintai Tuhan, kita dapat berguru langsung kepada Tuhan. Dia memiliki seindah-indah seni diplomasi dalam berkomunikasi dengan makhluk kecintanaan-Nya. Keindahan yang bisa kita selam dalami di setiap ayat tersurat juga ayat tersiratnya. [] RedJS