Penduduk negeri pewayangan yang tinggal di muka bumi tidak pernah melepaskan urusan-urusan mereka dari kepatuhan dan masukan-masukan pertimbangan para pejabat langit di kahyangan, yakni para Dewa. Lalu lintas vertikal justru akan semakin traffic ketika permasalahan besar melanda mereka, ketika gonjang-ganjing terjadi. Para ksatria itu sepertinya memang belum terjangkit marcapadaisme seperti kita hari ini, sehingga mereka faseh betul menentukan Bathara atau Bathari siapa yang harus dituju dan yang tidak perlu dituju untuk diajak terlibat dalam jenis masalah yang mereka hadapi.
Kalau sekiranya harus ada peperangan yang di gelar, kesibukan mereka ganda. Pertama: menyiapkan pasukan. Kedua : naik ke mayapada, entah meminta dhawuh atau konsolidasi strategi. Mereka tidak percaya diri kalau menggelar perang hanya menggunakan rumus diri sendiri, tidak melibatkan rumus para Dewa. Dalam perang Baratayudha misalnya, mudah bagi Kresna untuk mengatur agar perang cukup selesai sehari, agar jaminan menang ksatria-ksatria anak-cucu Pandawa terbaik diturunkan semua. Akan tetapi, semua itu tidak dilakukan, sebab meyakini rumus ‘langit’ tak sesempit rumus obsesi kemenangan yang ada dibenak mereka. Sesuai advice dari para Dewa melalui Bathara Narada, Perang tetap digelar 18 hari, Wisanggeni dan beberapa anak cucu Pandawa terbaik justru tidak diajak ke medan pertempuran padang Kurusetra.
Di dalam rumus dunia, mungkin pilihan sikap-sikap semacam itu dianggap kurang represif, tidak akseleratif, atau bahkan dituduh pembiaran, cenderung putus asa. Tetapi masa iya sih, demi mengklarifikasi semua tuduhan itu, kita harus beberkan formula besar seperti apa sebetulnya yang sedang kita kerjakan di tengah peperangan yang masih sedang berlangsung? [] RedJS