MUQADIMAH JUGURAN SYAFAAT AGUSTUS 2016
IT adalah sepotong kue ekonomi yang menakjubkan. IT bisa mengantarkan seseorang menjadi lebih kaya raya dari siapapun di muka bumi. Sehingga pendiri salah satu jejaring sosial terbesar di dunia ia bisa memberikan 99 % kekayaannya untuk kegiatan sosial, sebab 1 % sisanya sudah berlebih untuk sekedar memenuhi apa yang menjadi kebutuhan pribadinya. Banyak jalan orang untuk menempuh keberlimpahan, ada orang yang menempuhnya dengan jalan kebaikan, sehingga ketika ia sudah menjadi berlimpah kemudian mudah saja menjadi seorang filantropi, seperti si pemilik jejaring sosial tersebut. Akan tetapi banyak juga orang yang menempuh jalan keberlimpahan dengan mengakali sistem, mengakali orang lain, sehingga semakin berlimpah hidupnya semakin ia angkuh dalam pucuk piramida, tak iba melihat penderitaan sesama.
Filantropi adalah sebutan bagi orang-orang yang memiliki kontribusi besar bagi sesama. Ia bukan hanya menyisihkan sebagian yang ia miliki, tetapi ia mensedekahkan sebesar-besar dari kapasitas pribadinya. Apakah harus kaya raya sekaya konglomerat dulu untuk bisa menjadi filantropi? Sebetulnya tidak harus juga. Tatanan masyarakat Nusantara di era dahulu bahkan adalah tatanan masyarakat filantropi.
Masyarakat filantropi bukan masyarakat ‘ahli sedekah’ dalam arti rajin menyisihkan sebagian kecil hartanya, melainkan mereka adalah masyarakat yang mendedikasikan sebesar-besar kapasitasnya masing-masing. Kalau kapasitasnya maksimal hanya membagi undangan, maka ia menjadi pembagi undangan yang istiqomah. Menjadi pembuat jenang hingga penggali kubur, semua saling melengkapi satu sama lain. Mereka mendedikasikan kapasitas diri mereka, bukannya mengikuti pelatihan capacity building untuk kemudian mengkomoditasiannya. Itulah bedanya konsep spesialisasi masyarakat Nusantara dengan profesionalisasi ala Yunani.
Seorang filantropi sepertinya tahu betul bahwa manusia terbaik adalah yang terbesar kemanfaatannya. Kemanfaatan yang merupakan buah dari kapasitas diri yang ia tumbuhkan. Semakin bertumbuh kapasitas pribadinya, semakin rindang dan luas yang ia naungi. Kalau di hadapan kita ada seseorang yang senantiasa menaungi Indonesia dengan segunung tumpukan permasalahannya, pastilah ia seorang yang demikian besar kapasitas pribadinya, seorang filantropi sejati.[] RedJS