Juguran PC. IPNU-IPPNU Banyumas, 28 Februari 2016
Ada sekitar 300an muda mudi berkumpul disini. Kalau dilihat cukong calon legislatif, sudah pasti diincar menjadi lumbung suara demi jabatannya. Tapi toh, umurnya belum mencukupi untuk menjadi pemilih. 17 tahunpun belum. Dan uniknya, pikirannya segar, daya tahannya luar biasa, energinya meluas membumi. Mereka adalah kader IPNU dan IPPNU se Kabupaten Banyumas.
Pada tanggal 28 Februari 2016, kali ini mereka menghelat sebuah acara seharian dalam rangka memperingati Hari Lahir IPNU ke 62 dan IPPNU ke 61 beriringan dengan Hari Lahir Kabupaten Banyumas yang direvisi beberapa waktu lalu. Pada paginya mereka melakukan kirab pawai berkeliling komplek Pendopo Sipanji Kecamatan Banyumas. Beberapa acara seperti Lomba Tumpeng dan Lomba Qori turut memeriahkan rangkaian acara ini. Dan pada puncaknya, setelah Dhuhur diselenggarakan acara dengan format santai atau orang Banyumas biasa menyebut Juguran.
Agaknya puncak acara dibuat konsep mirip dengan Juguran Syafaat. Duduk lesehan, tempat singup di pendopo, diselingi musik-musik santai, obrolan santai namun tetap berisi dan interaktif berbagai arah. Tentunya karena beberapa kader inti IPNU Banyumas memang rajin datang ke Juguran Syafaat dan beberapa kali bersinggungan event bersama. Menjadi uji praktikum kembali akan tema besar Kepangasuhan dari para penggiat JS untuk ikut mbombongi dan nyemangati adik-adik dari IPNU Banyumas.
Tema diskusi kali ini adalah “IPNU dulu, IPNU sekarang dan IPNU esok”. Dimoderatori secara apik oleh Rizky yang biasanya aktif di Forum Juguran Syafaat. Beberapa narasumber sudah hadir dihadapan rekan dan rekanita IPNU Banyumas, sebutan akrab untuk kader IPNU. Untuk pemapar pertama dipersilakan Era dari KNPI Banyumas yang dulunya merupakan kader IPNU yang menjelaskan bahwa kita membutuhkan sarikat untuk identitas dalam sebuah perjuangan. Era menggarisbawahi peran besar IPNU dalam penggodokan kader muda Nahdlatul Ulama. Selanjutnya, Afif yang kader IPNU juga pernah menjuarau salah satu kompetisi dakwah di televisi nasional kita, menuturkan beberapa problematika yang terjadi ketika menjadi kader IPNU, antara lain stigma negatif dari lingkungan sekitar. Afif menyemangati bahwa yang dilakukan kader IPNU adalah hal yang sama sekali berbeda dengan apa yang pelajar lain lakukan diusianya. Mewakili tuan rumah pendopo, Ahmad Suryanto Camat Banyumas juga menekankan nilai keikhlasan dalam setiap berkegiatan. Selain itu Ahmad juga sedikit menceritakan sejarah Pendopo yang dahulunya merupakan pendopo utama Kabupaten Banyumas. Titut Edi, selaku Budayawan Banyumas, menambahkan bahwa sebagai orang islam terlebih NU, maka kita harus mencintai alam dan daerahnya.
Agus Sukoco yang tak lain penggiat Juguran Syafaat ikut menyampaikan kebahagiaannya bertemu dengan anak muda yang sangat militan seperti kader IPNU dan IPPNU. Dalam paparan singkatnya, Agus berkisah tentang Nabi Khidir yang pesan hikmahnya dalam refleksi waktu dahulu, kini dan esok hari. Dalam penjelasanya, Agus percaya bahwa apa yang dilakukan kita kemarin sangat berkaitan dengan keadaan kita kini. Dan apa yang akan terjadi esok hari adalah buah investasi dari apa yang kita lakukan sekarang.
Agus juga menyampaikan bahwa yang musti dirubah pertama kali adalah cara berfikir. Jika sudah berubah maka akan mempengaruhi mental kita. Berlanjut pengaruhnya ke sikap hidup kita dan berikutnya hasil budaya kita. Agus juga mengingatkan bahwa point penting khas dari pelajar IPNU adalah dalam menjaga tradisi belajarnya. Agus mengharapkan bahwa apapun yang sudah menjadi tradisi dalam kalangan NU seperti tahlilan, ziaroh dan lain-lain, lakukan saja sepenuh hati, sambil pelan-pelan dikaji hikmah dan sudut pandang sosial ilmiahnya. Pelajar IPNU diharapkan juga mampu mencerdasi apapun yang terjadi disekitar lingkungannya. Seperti perbedaan dalam tata cara beribadah hingga isu sosial terbaru saat ini.
* * *
Memang Beda
Disisi lain, beberapa muda mudi terlihat berduaan dikomplek pendopo. Obral obrol ngalor ngidul. Buang waktu menghabiskan sore menikmati angin sepoi-sepoi. Entah membicarakan rencana apa. Jauh kontras dari adik-adik yang sedang menyimak penjelasan kakak-kakak narasumber yang berada di dalam pendopo. Terlihat berbeda nampaknya mata adik-adik ini. Penuh binar asa, menyalakan energi jiwa mudanya. Mereka sanggup menelan pemahaman-pemahaman filosofis dari yang dipaparkan oleh kakak-kakak narasumber.
Beberapa rekan ikut merespon diskusi sebelumnya. Fauzi dari Kebasen, menanyakan apakah dengan besarnya NU akan membahayakan beberapa ormas yang lain. Ihsan dari Banyumas, ikutbmenanyakan bagaimana caranya IPNU bisa menjadi kawah candra dimuka untuk manusia Indonesia serta bagaimana hubungan Islam dengan jawa. Pertanyaan-pertanyaan segar muncul tidak terduga dari beberapa yang hadir. Rifki dari Banyumas juga ikut urun pertanyaan bagaimana seharusnya karakter pelajar NU dari Banyumas.
Titut Edi merespon bahwa pemuda yang berkarakter adalah mereka yang mempunyai daya ganggu. Daya ganggu disini bukan berarti menyukai kekisruhan, tapi berbeda dengan yang lain. Mempunyai satu hal kebaikan menonjol yang bisa menjadi andalan hidup. Titut juga menjelaskan bahwa budaya dan agama adalah sama-sama bentuk mencari keselamatan hidup. Disinilah Islam dan jawa bisa bertemu dan bersambungan dengan baik.
Agus Sukoco merespon bahwa yang terjadi saat ini adalah arus globalisasi dimana setiap orang dipaksa mempunyai ukuran hidup yang sama. Orang hebat adalah seperti orang barat. Orang kalau tidak putih kulitnya maka tidak cantik. Trend fashion menjadi tolak ukur gaya hidup sekarang. Maka bentuk perlawanannya adalah menjadi diri sendiri yang otentik. Agus menyemangati bahwa IPNU ini adalah tempat yang tepat bagi para pelajar untuk menempa dan menemukan jati dirinya. Agus percaya bahwa mereka adalah generasi terbaik Indonesia dalam 10 tahun mendatang.
Tepat pukul 16.00 WIB, acara dirampungkan. Rizky sebagai moderator menutup acara dengan berpesan bahwa aktif di IPNU dan IPPNU adalah ikut andil dalam menjadi sejarah panjang Islam di Nusantara. Meski acara sedari pagi, mereka tetap kuat bertahan hingga sore hari untuk mengikuti acara puncak ini. Satu persatu adik-adik ini meninggalkan pendopo tempat acara. Tidak sedikit mereka yang menaiki kendaraan bak terbuka untuk pulang ke rumah. Mereka pulang membawa pemahaman akan tujuan mereka untuk belajar saat ini. [] Hilmy Febrian Nugraha