Menagih Benih

Sesuatu yang belum membenda, belum mengidentitas, tetapi di dalamnya terkandung seluruh unsur-unsur pembentuk eksistensi, sesuatu itu bernama benih. Sebutir benda tak menarik, tergelatak bahkan terpendam letaknya, tak ada yang menggubris memerhatikan.

Kalau rindangnya dedaunan bisa memberi manfaat sebagai tempat untuk berteduh. Ranumnya buah bisa disantap sebagai sebuah kelezatan. Kokohnya batang bisa dibudidayakan untuk mencipta kriya. Sementara benih, ia masih ditakdirkan harus menempuh kodratnya di ladang persemaian dengan harus tidak menggubris tagihan-tagihan manfaat kepadanya.

Benih bukanlah benda masa kini sebagaimana daun, buah dan batang. Benih adalah benda masa depan. Benda yang sementara waktu sedang menempuh tahap nir-eksistensi, menjalani puasa kesetiaan terhadap waktu yang harus ia lewati.

Benih jangan ditagih-tagih manfaatnya. Kalau yang Anda maksud manfaat adalah sebagaimana yang Anda pahami tentang manfaat daun, buah dan batang, Anda hanya akan mendapati kecewa. Kecuali Anda sudah memiliki dekonstruksi arti dari apa sejatinya ‘manfaat’ itu?

Satu-satunya cara menagih manfaat dari benih adalah dengan Anda mau menyiapkan apa-apa yang mungkin dibutuhkan untuk menyempurnakan pertumbuhan benih di masa yang akan datang. Mungkin Anda perlu menyiapkan lanjaran, untuk membantu tegaknya tanaman ketika benih tumbuh nanti. Atau bentangan tali-tali vertikal, jika ia benih tanaman jenis sulur yang merambat. Atau anda harus memangkas tanaman di sekelilingnya, kalau masa depan benih itu adalah jenis tanaman rindang.

Prasyarat dari semua itu adalah, Anda harus mampu terlebih dahulu mengidentifikasi, menerka atau setidaknya menerawang, sebetulnya jenis benih macam apa yang ada di hadapan Anda itu? Tanpa kemampuan identifikasi, penerkaan dan penerawangan atas karakteristik benih, bisa-bisa sumbangsih yang Anda persiapkan untuk masa depan benih justru salah dan keliru. Seharusnya butuh lanjaran, malah dibuatkan rambatan sulur. Dan seterusnya.

Namun semua itu tidak harus Anda lakukan juga. Karena benih punya sunnah kealamiannya sendiri dalam menempuh tahap-tahap pertumbuhannya. Dalam mengembangkan kompleksitas unsur untuk eksistensi masa depannya sendiri.

Wah kalau begitu, ya sudah, biarkan benih tumbuh sendiri saja kalau begitu. Bagaimana kalau sekarang kita asyik-asyikan saja, mengoleksi banyak-banyak benih layaknya seorang kolektor. Nanti bisa kita pikirkan ide permainan yang menarik, misalnya permainan adu benih, untuk selingan kita adu kelereng. [] Rizky Dwi Rahmawan

Previous ArticleNext Article