Mbah Nun, Penjawab Pertanyaan yang Baik

Emha Ainun Nadjib atau di lingkaran jamaah Maiyah kerap disebut dengan sapaan Mbah Nun hingga menginjak usia 63 tahun hari ini, beliau setia membersamai berbagai lapisan masyarakat. Kontribusi yang beliau berikan bagi masyarakat sudah demikian beragam, tetapi seolah beliau tidak lelah untuk terus, terus dan terus memberikannya. Walaupun beliau telah demikian banyak memberikan dedikasi, tetapi banyak orang mengenal beliau hanya sebatas pada sebuah julukan : budayawan. Seorang kawan saya yang seorang aktivis muda misalnya, ia hanya sanggup mengapresiasi dedikasi Mbah Nun di masyarakat sebatas pada karya seni sebagaimana karya para seniman. Kawan saya itu menyebutkan salah satu contoh seniman itu, Sujiwo Tejo.

Begitulah, seseorang seringkali terbatasi daya apreasiasinya. Hanya karena keterbatasan wawasannya sendiri. Analoginya, kalau seseorang hendak berjualan roti, ia akan membuat roti dengan harga sebagaimana jenis roti yang sanggup ia beli. Ia tidak mampu berpikir untuk membuat roti dengan harga berkali-kali lipat, karena ia menyangka tidak ada segmen pasar dengan daya beli berkali-kali lipat diatas daya belinya. Begitulah gambaran bagaimana seseorang hanya melihat dengan cara pandangnya atas dirinya sendiri.

Pun demikian dalam hal mengapresiasi ketokohan seseorang, apresiasinya dibatasi oleh pengetahuan dan pemahamannya sendiri mengenai apa, siapa dan bagaimana yang disebut tokoh itu. Penilaian terhadap seseorang yang dijuluki budayawan juga belum tentu berangkat dari apa itu definisi seni, budaya dan pariwisata secara benar. Jangan-jangan definisi-definisi istilah itupun masih rancu.

Belum lagi apakah seseorang tersebut sudah menyelidiki, kenapa budayawan menjadi julukan yang disandangkan kepada Mbah Nun. Apakah Mbah Nun memilih dan menentukan sendiri julukan itu? Atau siapa yang memberikan dan membuat julukan itu? Apakah yang memberi julukan itu memang dalam niat tulus menjunjung Mbah Nun atau justru sedang melokalisir agar kebesaran dan ketokohan beliau menjadi kerdil di mata masyarakat?

***

Kalau kita mau mengenal lebih dekat, Mbah Nun ditokohkan bukan hanya oleh orang-orang biasa. Banyak tokoh mengakui ketokohan beliau dan mentakdzimi beliau. Ada tokoh yang menyebut figure seperti Mbah Nun di periode zaman ini di Indonesia hanya ada tiga: Cak Nun, Gus Dur dan Gus Miek. Yang lain lagi menyebut beliau adalah Guru Bangsa sebagaimana HOS Tjokroaminoto 70 tahun lalu dan Diponegoro di putaran 70 tahun sebelumnya lagi. Ada pula yang menyebut beliau Ibnu Rusydi, sang pencetus Renaisance masa kini. Dan entah ada berapa banyak lagi bentuk-bentuk apresiasi bagi ketokohan beliau.

Kita tak perlu perdebatkan beragamnya apresiasi dan julukan bagi Mbah Nun, hak masing-masing pribadi untuk bagaimana seseorang membangun cara pandangnya. Saya juga tidak ingin menambah gelar julukan baru. Namun kali ini, saya hanya ingin sekedar menyampaikan kesan pribadi saya selama kurun beberapa waktu terakhir ini saya menyimak dan mengikuti forum-forum beliau.

Bagi saya, Mbah Nun adalah penjawab pertanyaan yang baik. Begitulah kesan saya terhadap beliau. Dalam banyak forum Maiyahan yang saya ikuti, ketika sesi tanya-jawab, Mbah Nun seringkali seolah tahu maksud dari si penanya, sehingga beliau  memberi jawab pertanyaan yang mengena, menusuk ulu hati pertanyaan. Menurut saya, hal tersebut adalah sebuah kemampuan yang tidak sederhana.

Bukan hanya penjawab pertanyaan yang baik dalam konteks sesi tanya-jawab di dalam forum. Namun Mbah Nun senantiasa mampu menyuguhkan tajuk yang sungguh-sungguh menjawab zamannya. Ketika zaman sedang mengalami masalah kemandegan dan kebekuan dakwah, Mbah Nun menggelar forum-forum dengan format dan konten berupa ‘Sinau Bareng’. Bukan forum podium yang monolog dan monoton, tapi bagaimana di dalam forum tersebut setiap yang hadir diajak terlibat untuk aktif berfikir. Tidak cukup itu, format forum disempurnakan dengan dihadirkannya instrumen-instrumen pencipta suasana keindahan, salah satunya instrument musik.

Lalu, ketika zaman dibuat stress oleh perebutan tafsir juga oleh propaganda penyeragaman tafsir, Mbah Nun tidak ikut memperkeruh air yang sudah keruh. Mbah Nun, menawarkan jawaban berupa tajuk ‘Tadabburan’. Tadabbur dibumikan di tengah-tengah masyarakat, sebagai konsumsi sehat di tengah kerengan orang atas tafsir.

Kemudian ketika orang-orang dibuat resah oleh distribusi informasi yang silang sengkarut, mobilisasi opini yang nggegirisi, Mbah Nun mengenalkan tajuk ‘Ibu Informasi, Keluarga Informasi dan Masyarakat Informasi’.

Begitulah Mbah Nun dengan demikian baik telah menjawab pertanyaan demi pertanyaan zaman.[] Rizky Dwi Rahmawan

Previous ArticleNext Article