Sadarkah kita bila selama ini kita membiasakan diri sendiri untuk apa saja ‘untuk’. Sekolah untuk bisa kerja. Berkesenian untuk mendapatkan penghargaan. Menghadiri hajatan untuk agar kelak hajatannya dihadiri balik. Dari urusan-urusan duniawi, hingga urusan ukhrowi, bersedekah untuk mendapatkah berlebih. Berbakti pada orang tua untuk jalan rejeki menjadi lebih mudah.
Seperti anak kecil yang bermain di arena bermain di mal-mal, apapun yang ia lakukan adalah untuk memperoleh point, bermain basket untuk mengumpulkan point, bermain balap mobil untuk mendapat point bahkan menari di atas panggung dance juga untuk menghimpun point.
Padahal, sewaktu kita kecil dulu, kita menyaksikan bagaimana orang-orang tua kala itu mereka menari bukan untuk apapun, tetapi karena mereka menikmati menari. Mereka berkarawitan bukan untuk bekal manggung, tetapi karena mereka menikmati karawitan. Mereka mocopatan bukan untuk mengikuti lomba, tetapi karena mereka menikmati mocopatan.
Kondangan didatangi, bukan atas pamrih apapun, tetapi karena lekatnya kekerabatan sehingga menjadi mustahil jika tidak mendatangi. Orang tua dibaktii bukan mengharap apapun, tetapi karena dalam benaknya terdapat mustahil jika sampai tidak berbakti kepada orang tua.
Pun demikian, syukuran digelar atau tidak digelar itu tidak ada hubungannya dengan syirik, bid’ah atau motivasi apapun. Hanya sebab di hatinya terbetik mustahil, ‘bagaimana mungkin kok sampai saya tidak bersyukur?’.[] RedJS