Kalau kita bersikukuh dalam cara pandang materialisme alias kebendaan, tetapi menuntut untuk dapat melihat kehadiran Tuhan, pasti, cepat atau lambat, kita akan ‘pingsan’. Pingsan secara psikologis. Bisa frustasi, stuck, disorientasi atau entah apa bentuknya.
Seperti kisah Musa di bukit Tursina yang menagih kehadiran wujud Tuhan. Belum jua ia menyaksikan wujud-Nya, ia jatuh pingsan, karena mata kasatnya tak sanggup menampung wujud kehadiran-Nya.
Cara pandang materi hanyalah pintu menuju tangga-tangga keilmuan berikutnya yang lebih luas, lebih menyeluruh, lebih substansi. Keliru jika kita justru mengagung-agungkan pemahaman-pemahaman, prinsip-prinsip, pola dan struktur yang berbasis cara pandang kebendaan. Terlebih me-nabi-kan logika. Terlebih memper-tuhan-kan rasionalitas.
Ia tidak membawa kita kita pada ujung manapun dari pencarian alamiah jiwa kita. Ujung yang paling bisa diharapkan kita diantar padanya adalah ujung berupa pintu awal penghikmahan kehidupan, yakni bertemunya kita dengan tawaran Tuhan untuk berguru kepada Khidir.
Khidir bukan sebagai mitologi, tetapi khidir sebagai hikmah dan amsal atas kehadiran Tuhan di setiap peristiwa yang kita jumpai. Karena sekalipun kita berhadap-hadapan dengan materi, sesungguhnya bukan materi yang betul-betul sedang berjumpa dengan kita.
Seberapa mampu kita menemukan kehadiran-Nya di dalam setiap selubung materi itu?[] RedJS