HARGA BURJO di warung tenda di pojokan pasar semangkok harganya sudah dua kali lipat dari harga beberapa tahun yang lalu. Nasi goreng non-spesial di Pecinan juga kurang lebih sama, beberapa tahun lalu harganya masih setengahnya. Begitu juga nasi rames, juga nasi kucing dan aneka produk kuliner konsumsi rakyat kecil lainnya.
“Duit wis ora aji” atau uang semakin tidak ada nilainya. Inflasi begitu deras melanda, menghujani sampai ceruk-ceruk kehidupan wong cilik. Kalau kita berpikir kembali ke masa lalu, seandainya tidak ada kenaikan BBM yang begitu signifikan kala itu, seandainya tidak ada kebijakan ini dan itu, maka mungkin harga nasi goreng, bubur kacang hijau dan berjenis-jenis makanan rakyat lainnya tak perlu melonjak tajam hingga dua kali lipat seperti hari ini. Hal ini juga tidak perlu terjadi pada jenis barang dan jasa kebutuhan lain non-pangan.
Tapi sudah kepalang terjadi, nasi sudah menjadi bubur. Ridho atau tidak ridho, kita harus menerimanya. Ada pilihan-pilihan sikap arif yang bisa diambil di situasi seperti saat ini : Pertama, kita membuat benteng komunitas. Membuat kedai makanan di dalam komunitas masyarakat tempat kita berada, sehingga kita bisa atur sendiri harganya suka-suka kita. Pengelolaannya dari, oleh dan untuk kita-kita sendiri. Untuk memungkinkan harga menjadi lebih murah, kita membangun sistem budidaya mandiri, komunitas kita sendiri yang menyiapkan. Biaya-biayapun bisa ditekan sedemikian rupa. Jika ini bisa dikerjakan, maka kita dapat menekan jumlah pengeluaran kita sehari-hari. Solutif?
Kedua, kita membentengi diri masing-masing dengan revolusi cara berpikir tentang kewajiban pengeluaran-pengeluaran kita. Mengubah orientasi kuliner yang selama ini adalah pemenuhan selera, dikembalikan pada substansinya yakni berorientasi pada pemenuhan nutrisi. Protein di dalam daging sapi, diganti dengan tahu tempe yang dengan cara berpikir baru maka keduanya akan menjadi sama nikmatnya. Lalu, mendalami hakikat nasi goreng yang sejatinya hanyalah nasi yang digoreng diberi bumbu, sehingga kita tidak harus membeli tapi rela menggorengnya sendiri. Pun demikian mengembalikan kepada cara berpikir yang lebih substantif tentang belanja sebagai gaya hidup dan aneka gaya hidup yang berpotensi pemborosan lainnya. Dengan cara berpikir yang sudah kita revolusi, maka kita akan menemukan cara-cara yang pemenuhan hidup secara lebih sederhana dengan tanpa mengurangi kenikmatannya. Solutif?
Mana yang mau Anda pilih? Cara pertama atau cara kedua? Atau tidak memilih diantara cara-cara itu, menikmati basah kuyup dilanda hujan deras inflasi? [] Rizky Dwi Rahmawan