Kalau ada batu yang keras, jangan marah kepada kerasnya batu hanya karena engkau tak sanggup memecahnya. Olahlah tenagamu, berlatihlah teknik memacah batu dan belajarlah untuk memahami hakekat kerasnya batu. Batu diciptakan berbeda dengan tanah yang lembut dan air yang cair.
Ada orang marah-marah dan mengutuk sebuah puisi hanya karena kesulitan memahami bahasanya yang dalam dan rumit. Menuntut sang penyair memudahkan dan menyederhanakan bahasanya. Kalau ingin yang lembut dan lunak, pilihlah gethuk atau tlethong untuk kau pecah, jangan batu. Setiap benda memiliki watak, karakter dan sifatnya tersendiri. Masing-masing berada pada maqom fungsionalnya sesuai dengan takdir keberadaaannya. Ada pesan yang dititipkan Tuhan melalui kerasnya batu, lembutnya tanah, cairnya air dan tak kasat matanya angin.
Salah satu kebenaran batu terletak pada kekerasannya, presisi regulasi sunatullah-nya angin adalah pada tak kasat matanya, pun demikian air menjadi dinamai air adalah ketika ia bersifat cair. Ada kedalaman makna, kelembutan hikmah, dan mutiara pesan yang membutuhkan diksi dan bingkai komposisi olah kata untuk menyambungkan isi kandungan batin penulis kepada orang lain. Kedalaman akan mendangkal, hikmah akan pudar maknanya dan isi batin penulis akan lenyap menjadi terdegradasi begitu pilihan kata dan formula penyampaiannya dipilih secara serampangan.
Jika ingin yang mudah dan tidak rumit, bacalah berita di koran-koran atau sajian berita seks di majalah esek-esek. Jangan puisi penyair yang begawan atau mutiara hikmah yang bersumber dari telaga batin seorang sufi. Kalimat Rumi, kata-kata Iqbal dan ungkapan-ungkapan ruhani Ibnu Arabi jangan dituntut untuk sama seperti vulgarnya dialog sinetron televisi yang tanpa sedikitpun berniat menyampaikan hikmah apa-apa kecuali sekedar berdagang kekonyolan. Kalau kita membaca tulisan berbahasa inggris, lantas kita tidak bisa paham, bukan tulisannya yang salah karena memakai bahasa inggris, tetapi kita yang harus bersedia belajar bahasa inggris. Atau tidak usah dibaca sekalian, karena pasti penulis sudah menentukan sasaran pembacanya, yaitu orang yang sanggup berbahasa inggris.
Jika seorang kakek sedang bercerita kepada cucunya dengan bahasa khusus yang biasa digunakan oleh keluarga mereka, jangan kemudian kita protes dan menuntut kepada sang kakek agar memakai bahasa yang bisa dipahami semua orang, padahal kita bukan cucunya dan bukan bagian dari keluarga mereka. Tradisi berpikir dangkal dan tergesa-gesa membuat manusia gagal memahami posisi dirinya, sehingga kecenderungannya adalah salah respon kepada setiap hal di depan matanya. Subyektifitas kepentingan pribadi dan gairah ingin dianggap selalu benar ,membuat hobi utamanya adalah menyalahkan setiap yang tidak sesuai dengan keinginannya.
Informasi dan bahasa yang paling gampang diterima oleh manusia modern adalah bahasa industri. Manusia telah mengkerdil menjadi makhluk konsumen bagi para produsen pasar global. Jika ada artis menawarkan sabun atau kecap, setiap kalimatnya baru dianggap komunikatif. Tetapi sedikit saja diajak berkontemplasi, manusia modern akan lelah dan terlihat lesu pikirannya. Kemudian ia menuntut, “Pakai bahasa yang gampang dicerna saja, biar bisa langsung dipahami’. Orang modern sudah tidak memiliki tenaga untuk berjuang mengembarai,memasuki, menyelami dan mengkhayati sesuatu yang lembut, batin dan sublimatif. Terhadap bahasa, ungkapan dan segala sanepan serta sayap-sayap estetika yang merupakan wadah dari inti rahasia pesan-pesan substantif setiap kalimat-kalimat hikmah, manusia modern merasa terbebani.
Apakah lantas karena Tuhan mentakdirkan Al Quran berbahasa Arab kemudian kita menyalahkan Tuhan? Hanya karena kita tidak piawai berbahasa Arab. Belajarlah, hayatilah dan bersabarlah berproses. Jangan terburu-buru menuntut dan menyalahkan siapa-siapa.[] Agus Sukoco