Pak Titut terkenal sebagai dukun Cowongan. Tapi Pak Titut tidak dikenal sebagai dukun pemanggil hujan. Karena pertunjukan Cowongan yang sering kali ia bawakan bukanlah tari pemanggil hujan sebagaimana ritual pada aslinya, Pak Titut hanya menyuguhkan Cowongan sebagai teater yang bernilai seni tinggi, bukti ketinggian citarasa seni para leluhur yang harus dikenali oleh anak cucu generasi sekarang.
Pertunjukkan Cowongan yang Pak Titut bawakan dimana-mana itu adalah satu dari banyak contoh kekayaan khasanah festival di negeri ini. Ada beragam lagi lainnya yang bagus untuk kita inventarisir.
Bulan Agustus adalah bulan festival, rakyat gegap gempita menyambut bulan festival ini tak peduli di kota maupun di desa, di pusat kemajuan maupun di pelosok. Festival di bulan Agustus adalah bukti bahwa negeri ini tidak krisis festival. Di banyak negara yang festival haruslah diprogramkan dan dianggarkan oleh pemerintah, lalu pelaksanaannya ditenderkan kepada Event Organizer tertentu. Terlihat ramai dan meriah, tetapi yang hakikatnya berpesta adalah Event Organizernya.
Berbeda dengan festival di bulan Agustus, Dimulai tanggal satu orang berduyun-duyun tua, muda, laki-laki, perempuan sudah mulai memasang bendera (layur), mengecat jalan (labur) dengan semangat kemerdekaan penuh tawa suka dan tidak perduli ada bayaran atau tidak bahkan sampai larut malam merelakan dirinya untuk libur bekerja yang sejatinya ini adalah sebuah kerja nyata.
Dibentuk panitia untuk menyiapkan aneka mata acara lomba di dalam festival. Favorit bagi anak-anak adalah balap kelereng, bagi ibu-ibu adalah ‘nyunggi tampah’. Tanah lapang atau sekedar pekarangan kosong menjadi tempat favorit untuk pelaksanaannya. Orang berduyun-duyun mendatangi. Hadiah bagi anak-anak sederhana nominalnya tapi penuh makna. Seringkali bukan semata-mata karena hadiah, justru semangat berduyun-duyun yang membuat kemeriahan.
Ditengah kemunduran yang dicapai negeri ini, banyak orang nyinyir menyaksikan festival-festival yang digelar oleh warga itu. Apanya yang diperingati, kemerdekaan yang mana, wong negara belum menunjukkan tanda-tanda untuk semakin bisa berdikari kok.
Semoga saja ungkapan nyinyir itu tidak sampai ke telinga warga, sehingga mengurangi sukacita mereka dalam berfestival. Kalau toh benar Indonesia hakekatnya belum benar-benar merdeka, anggap saja mereka tidak sedang bersuka cita memperingati kemerdekaan. Mereka hanya sedang ber-festival bertema ‘hari kemerdekaan’. Seperti Pak Titut yang tidak sedang ber-ritual Cowongan, hanya sedang ber-teater bertema ‘Cowongan’.[]
Ditulis oleh:
Rizky Dwi Rahmawan
Hirdan Ikhya