Cubitan Cinta

SEPASANG KEKASIH kadang nampak aneh dan tidak rasional perilakunya. Yakni ketika perilaku sepasang kekasih dipandang dari sudut luar ruang ruhani pergumulan cinta. Bagaimana tidak menjadi nampak aneh, bukan anak kecil tetapi mereka saling mencubit. Saling cubit itu sama sekali tidak lucu. Perilaku yang tidak punya efektivitas. Bahkan cenderung menyakitkan. Itu kalau perilaku saling cubit hanya dipikirkan secara rasional matematis saja. Padahal, perilaku saling cubit adalah formula dialog yang lahir dari metabolisme batin orang jatuh cinta. Sesuatu yang sangat naluriah dan estetis.

Setidaknya ada tiga prinsip nilai dalam hidup, yakni : kebenaran, kebaikan dan keindahan. Kebenaran adalah urusan hukum. Benar dan salah dikonstruksii dan diproseduri oleh ilmu. Sedangkan kebaikan adalah soal moral.  Lalu keindahan adalah mengenai naluri estetika yang termuat didalamnya berupa cinta.

Cinta adalah tombol aktivasi syaraf estetika. Mekanisme kerjanya di luar keharusan-keharusan ilmiah. Untuk merengkuh cakrawala romantisme keindahan percintaan, kadang-kadang membutuhkan adegan yang melanggar hakikat kewajaran akal sehat. Kadang bahkan perlu dilakukan  secara ekstrim dan dramatis.

Misalnya, dalam keadaan normal, orang akan berteduh ketika kehujanan. Namun, sepasang kekasih yang sedang terbuai di dalam cakrawala romantisme cinta, hujan justru sengaja disongsong dengan riang gembira. Memilih hujan-hujanan ketimbang berteduh. Seorang dokter yang yang mengimani dengan segenap perspektif  medis  bahwa kehujanan erat kaitannya dengan sakit sekalipun, ia dapat saja membatalkan keyakinannya tersebut ketika ia kadung direngkuh cinta. Hujan menjadi kehilangan hubungan dengan sakit flu atau masuk angin.

Kembali ke perilaku cubit mencubit. Seseorang berani mencubit orang lain, terlebih dahulu ia harus sudah memastikan bahwa diantara mereka sudah terbangun hubungan cinta. Tanpa kepastian sudah terbangunnya hubungan, cubitan akan dianggap penganiayaan dan penghinaan. Hanya orang-orang yang benar-benar saling mencintai yang memiliki alat baca untuk menerjemahkan cubitan sebagai artikulasi perasaan batin yang indah nan estetis. Jelas, perilaku mencubit tidak bisa dilakukan kepada sembarang orang. Apalagi kalau ada bawahan yang coba-coba memberanikan diri mencubit atasannya. Bukan kemesraan yang didapat, kasus besarlah yang akan datang menghadang.

Sejatinya, Tuhan sangat mencintai manusia. Bahkan Tuhan sengaja berendah hati membangun hubungan dengan makhluk-Nya dalam pola Cinta. Namun sayangnya, manusia sering memposisikan diri berada di sudut luar ruang pergumulan cinta yang ditawari oleh Tuhan tersebut.

Manusia kadung tenggelam dalam belenggu rumus dan ukuran hidupnya sendiri.  Berlagak menggunakan bahasa hukum dan regulasi formal, sehingga ketika Tuhan sedang berbahasa cinta memberikan sejenis cubitan, diam-diam kita justru menuduh Tuhan sedang menyakiti. Tak jarang justru malah diam-diam kita mentersangkakan-Nya.

Tuhan dalam mencintai makhluk-Nya mungkin kerap ‘bertepuk sebelah tangan’. Manusia yang Dia anggap kekasih ternyata acap kali berlagak sebagai  ilmuwan yang landasan sikapnya adalah rasional matematis. Sedikit saja ‘dicubit” oleh Tuhan dengan diberi ujian hidup, yang spontan kita rasakan adalah penderitaan dan keteraniayaan. Bagaimana ini, kejadiannya malah menjadi seperti atasan yang depresi karena dicubit bawahannya?

Kalau ada orang kaya raya tidak menerima lamaran cinta seorang gelandangan mungkin masih terkesan wajar dan normal, tetapi jika yang terjadi sebaliknya, maka betapa sombongnya gelandangan itu. Merasa menderita dengan ujian hidup,  itu sebuah tanda bahwa belum terbangunnya hubungan saling mencintai antara kita dengan Tuhan.

Padahal sejak kita belum diciptakan dan masih berujud ruh, Tuhan sudah menyatakan cinta-Nya yang agung.

Itu berarti kita telah bersikap abai terhadap tawaran cinta Tuhan. Jenis kesombongan seperti apa yang mengendap di dasar kalbu kemakhlukan kita hingga dengan bodoh menolak cinta Sang Maha Pemegang Saham alam semesta yang kadar cintanya tak terukur?

Kita akan terus salah sangka kepada Tuhan jika konsep dan pola hubungan dengan-Nya masih dibangun dengan perspektif rasional matematis yang demikian formal. Padahal, interaksi cinta merupakan formula komunikasi yang tersusun dari gelombang rasa yang di atas rasional bahkan gaib.

Kekasih yang saling mencintai akan menunggu cubitan demi cubitan di sela-sela santap malam dan kecupan-kecupan mesra pada sebuah perjumpaan. Kado cokelat yang manis dari sang kekasih memang menawan dan enak, tetapi luka kulit memerah karena dicubit juga memberikan pengalaman rasa yang tak kalah. Meski kelihatannya aneh, tapi eksotis.

Jika yang disebut dan dirasa nikmat serta yang dianggap menguntungkan  hanya ketika mendapat perolehan materi, maka itu pasti jenis interaksi kalkulatif transaksional bak orang berdagang. Begitu juga seandainnya yang bisa kita syukuri dan nikmati hanyalah ketika sedang mendapat ke-enak-an hidup, jangan-jangan Tuhan masih sekedar kita perlakukan sebagai mitra bisnis yang menjadi pelampiasan gairah eksploitasi materiil kita semata.

Aktifitas cinta sepasang kekasih yang sedang dilanda asmara merdeka dari kalkulasi dan transaksi, enak dan tidak enak tidak diparameteri oleh perolehan untung dan rugi. Tidak jarang kerugian materi akan membuat para penghayat cinta semakin tenggelam dalam kenikmatan.

Ketika doa dan ikhtiar kita masih terkatung-katung di awan khayalan, ketika harapan-harapan masih terbang bebas dari bumi kenyataan dan belum di-ijabahi Tuhan, mungkin karena Tuhan sedang berlaku sebagai kekasih yang sedang mencubit makhluk yang sangat dicintainnya.[] Agus Sukoco

Previous ArticleNext Article