Satu kali saya liburan, saya menginap di sebuah cottage kayu yang dibangun di atas air. Tiap kali sarapan, saya mengambil satu setengah porsi. Seporsi saya makan sendiri, setengahnya saya tabur-taburkan ke dalam air. Setiap kali makanan saya taburkan, ikan-ikan dengan begitu cantik berkerumun, ramai-ramai berebut makanan.
Di kali lain saya berlibur, saya bertemu dengan seorang Ki Sanak yang salah satu kesibukannya adalah menjadi pengamat sosial. Terhenyak saya mendengar sepotong statement kontroversialnya: “Entrepreneurship itu tipudaya!”. Sontak saya yang getol menggeluti dunia entrepreneur sejak bertahun-tahun silam kaget mendengarnya.
Namun, setelah mendengar penjelasan panjang kali lebar dari Ki Sanak tersebut, perlahan statement kontroversial itu dapat juga masuk di akal saya. Sambil mendengarkan penjelasan Ki Sanak, yang terbayang di benak saya adalah kerumunan ikan-ikan yang berebut makanan yang saya taburkan. Ya, ada ratusan, ribuan bahkan puluhan ribu program pengembangan entrepreneurship setiap tahunnya. Dari pemerintah, kampus, swasta maupun LSM. Mereka menjaring begitu massa sebanyak-banyaknya, sambil manaburkan keyakinan seolah-olah entrepreneurship adalah jawaban yang akan menyelesaikan persoalan zaman. Anak-anak muda negeri ini kemudian riuh berkumpul, berjubal berebut harap-harap mendapat bagian dari fasilitasi, inkubasi, pendampingan dan aneka program pengembangan entrepeneurship yang ada.
Sementara di tengah maraknya program-program entrepreneurship, disaat yang sama para pemilik modal asyik dengan dunia mereka sendiri. Semakin permukaan ramai oleh entrepreneurship, semakin mereka tenang bermain-main capital. Mereka tidak bermain lembaran-lembaran uang seperti para pembeli franchise dan gerobakchise. Mereka hanya bermain angka-angka. Angka-angka dengan jumlah nol yang banyak sekali, entah bahkan mungkin nol nya sampai tak hingga jumlahnya.
Di saat bersamaan ketika sekelompok UMKM baru mulai belajar memberi label untuk peyek, rengginang dan slondok yang ia jajakan, disaat itu seorang pemilik modal dari kota kripik mendadak membeli hotel di kota bakpia. Proses pembelian dengan nilai transaksi yang pasti sangat WOW. Besaran transaksinya mungkin kalau dibagikan ke mahasiswa satu kampus, masing-masing mahasiswa mendapatkan jatah yang tidak lebih kecil dari hibah Program Kewirausahaan Mahasiswa (PKM). Program hibah pembinaan kewirausahan yang digelontorkan oleh pemerintah dengan jatah bagi beberapa gelintir mahasiswa saja.
Di saat yang sama ketika pemuda desa menjajal beternak jangkrik, ayam dan lele, di saat itu sebuah BUMN yang sedang menggalakkan program pengusahaan asset menyewakan kios dengan harga yang fantastis. Lebih dari 200 juta untuk ukuran yang hanya sekian meter kali sekian meter. Angka yang berkali-kali lipat dari harga sewa kios wajar di kota tersebut. Kenapa BUMN itu begitu berani memasang tarif begitu tingginya? Karena bahkan ketika kios itu tidak lakupun, salah satu pemilik modal salah satu yang terkaya di kota itu sudah siap memborong seluruh kios, bahkan sak-lahan parkirnya.
Begitulah para pemilik modal besar bermain di air yang nampak tenang tapi menghanyutkan, bermain capital. Ia bermain di gelombang bawah air yang tidak terperhatikan oleh mata khalayak. Sementara kita yang disibukkan dengan mengejar se-Rupiah demi se-Rupiah, masih asyik saja berebut bersama kawan kita sendiri. Tak jarang bahkan rela gontok-gontokkan dengan sesame ikan, demi sebutir upa.
Setelah kita beres dengan urusan zuhud, materialisme dan dematerialisme. Tugas kita berikutnya adalah mencoba-coba menyelam lebih dalam. Agar kita tidak gaduh di pusaran entrepreneurship saja. Minimal mengamat-amati dulu bagaimana gelombang bawah air bekerja : gelombang capitalpreneurship. [] Rizky Dwi Rahmawan