Tidak ada yang ditunggu oleh para penggiat selain mempersiapkan setiap terselenggaranya Juguran Syafaat. Kali ini memang tidak seperti biasanya, terutama masalah waktu. Kalau penyelenggaraan Juguran Syafaat biasanya hari Sabtu minggu kedua, atau sehari setelah Kenduri Cinta, maka kali ini diajukan satu minggu dan harinyapun dipilih hari Jumat, malam Sabtu. Tentu ada alasan khusus kenapa dimajukan demikian, itu karena Juguran Syafaat kali ini cukup spesial. Juguran Syafaat malam hari ini pertama kali dihadiri oleh Guru kita bersama, Muhammad Ainun Nadjib, atau biasa kita panggil Cak Nun.
Publikasipun meluas beberapa hari terakhir melalui media sosial. Para sedulur yang hadir berkali lipat dari biasanya. Juguran Syafaat kali ini merupakan penyelenggaraan ke 29 dan dimulai tepat pukul 20.30. Ki Ageng Juguran membuka acara dengan satu nomor berjudul “Tombo Ati”, dilanjutkan sholawat “Annabi” dengan versi samba, “Shalallahu Rabbuna”, “Shalallahu Ala Yasin”, dan “La Ilahailallah”. Seakan menyambut para sedulur yang hadir, Ki Ageng Juguran memahami betul, bahwa melayani hadirin dengan menyuguhkan nomor-nomor pilihan.
Rutin seperti biasa, Kukuh memandu para sedulur untuk bertilawah secara tartil terpimpin membacakan surat Ar Rahman. Dilanjutkan dengan Wirid Padhang Bulan dan Mawlan Siwallah bersama-sama. Atas nama Juguran Syafaat, Kukuh juga menyampaikan selamat hari raya sekaligus permohonan maaf atas kurang maksimalnya pelayanan Keluarga Juguran Syafaat selama setahun terakhir.
Naluri Atau Akal?
Sebelum masuk ke tema “Naluri Transaksional”, Fikry memperkenalkan kembali apa itu Juguran Syafaat dan apa itu Maiyah. Fikry menambahkan bahwa dalam setiap Maiyah yang terpenting bukan kehadiran fisik guru-guru kita, tapi adalah ketersambungan hati dan cara berfikir dengan mereka.
“Salah satu tujuan kita hadir di forum maiyahan dimanapun adalah tujuanya belajar. Inputnya dari tidak tahu, berproses dengansinau, dan outputnya diharapkan menjadi pintar dan berfikir luas.”, sambung Fikry.
Kukuh mengantarkan diskusi ke tema “Naluri Transaksional” dengan memotret kondisi sosial saat ini seperti pelayanan kesehatan yang sudah sangat transaksional. Menurut Kukuh, ini adalah bentuk degradasi kemanusiaan dimana seharusnya pertolongan pasien menjadi prioritas tapi musti ada penjamin administrasi sebelum ada tindakan medis.
Kukuh mencontohkan dengan latihan teater pada tahun 70-an dimana para aktivis teater berlatih secara serius tanpa tahu kapan pentas dan bayarannya seberapa. Tapi seiring berjalannya waktu, saat ini orang berteater sudah malas berlatih kalau tidak tahu kapan pentasnya apalagi tidak tahu bayarannya berapa. Ini adalah contoh mental transaksional.
Kusworo menyambung diskusi dengan mendasari bahwa manusia dibekali oleh Tuhan dengan 2 modal utama, yaitu insting dan akal. Dimana insting adalah kemampuan bertahan hidup sedangkan akal adalah kemampuan mengolah atau daya kreatif. Pada perjalanannya, manusia sekarang sudah sampai pada tahap insting tidak lagi bertahan hidup, tapi masalah untung rugi.
“Ukuran bertahan hidup sekarang sudah berbeda dengan yang dahulu. Dahulu orang cukup bertahan hidup dengan 3 piring nasi, sekarang harus punya mobil, rumah luas supaya bisa dikatakan hidup. Ini bentuk lain dari degradasi nilai kemanusiaan.”, sambung Kusworo.
Ki Ageng Juguran mempersembahkan nomor “Senandung Desa” yang bercerita tentang kenangan tentang suasana desa yang semakin hilang. Diskusi disambung dengan respon para sedulur, antara lain dari Wanto Tirta, Ajibarang yang menyampaikan tentang pengalamannya menyelenggarakan pengajian Cak Nun belasan tahun silam.
Titut Edi merespon diskusi dengan menyampaikan agar kita tidak mengkhianati diri kita sendiri, baik asal usul daerah maupun bahasanya. Menurut Titut, setia kepada diri sejati adalah kunci menuju Tuhan. Seperti biasa juga, Titut Edi mempersembahkan nomor lagu humor spontannya di forum ini yang disambut meriah oleh para sedulur yang hadir.
Transaksi Dengan Tuhan
Tepat pukul 22.30 Cak Nun ikut masuk meilingkar ditengah-tengah sedulur Juguran Syafaat. Sebagai persembahan bersama, Ki Ageng Juguran menampilkan nomor “Tanah Airku” dan juga nomor khusus “Untuk Simbah Guru”.
“Kalau namanya transaksi, itu tergantung dialektikanya. Kita sama Allah itu seolah-olah transaksi, tapi sebenarnya dibungkus oleh cinta yang membuat segalanya menjadi sangat relatif. Kamu membayar sholat, terus diberi pahala sampai kemudahan mencari makan. Tapi itu tidak transaksi-transaksi amat sama Allah. Karena Allah akan membeli yang lebih mahal daripada yang kita perlukan.”, Cak Nun menyinggung tema.
Cak Nun mengajak berfikir para sedulur dengan melemparkan pertanyaan mana kalimat thoyibah yang pas dengan diri kita sesungguhnya.Cak Nun menyampaikan bahwa kalimat yang baik, manajemen yang baik, policy yang baik hinggagovernment yang baik, itu perumpaannya seperti pohon yang baik. Dimana akarnya menghunjam ke bumi, daunnya menjulang ke langit. Yang semakin kekar pohonnya, semakin dalam dan lebar pula akarnya.
“Tuhan memiliki asmaul husna, itu bukan berarti Tuhan adalah asmaul husna, itu bukan maha lagi namanya. Tapi yang bisa kenali ada 99 nama. Selebihnya masih banyak. Sama seperti warna, ada bermacam warna yang bisa kita tangkap, tapi kita tidak bisa menyebutkan namanya satu persatu.”, sambung Cak Nun.
Cak Nun kemudian mensimulasikan kalimat thoyibah dengan kalau ada 5 orang yang srawung dengan kita, ada yang kerjanyangalem-ngalem terus, dia mewakili Alhamdulillah. Ada yang mengakui kita, itu kalimat la ilahailallah. Ada yang selalu kagum, maka dia Subhanallah dan ada yang takut-takut merasa bersalah maka dia Istighfar.
“Kemudian, mana yang paling dekat dengan kita? Yang ngalem, yang ngakoni, yang ngagumi, atau yang minta maaf?Kira-kira Gusti Allah dekat dengan siapa? Kalau diakui dan dialem itu sudah pasti Tuhan juga seperti itu, tapi kalau dimintai maaf itu bukan urusan Tuhan, tapi urusannya di kita. Saya rasa istighfar itu yang paling pas dengan diri kita sebagai manusia.”, sambung Cak Nun.
Dalam setiap forumnya, Cak Nun selalu berpesan agar slealu proporsional dalam menilai orang. Kita diminta untuk tidak melebih-lebihkan siapapun, baik syeh, kiai, ulama atau siapapun. Karena dalam hidup kita yang utama itu adalah Allah dan Kanjeng Nabi. Cak Nun ingin para sedulur menempatkan diri Cak Nun pada tempat yang tepat.
“Mohon kita jangan salah menempatkan diri kita terhadap orang lain. Kita hanya bisa bertawakal, sambil mencari ketepatan dalam hidup. Jangan salah patrap.”, ungkap Cak Nun.
Menjaga Patrap
Kusworo kemudian mengulas hasil diskusi sesi pertama tadi dimana yang banyak terjadi saat ini adalah sebuah degraasi nilai kemanusiaan. Toto Rahardjo, yang ikut datang menemani Cak Nun merespon dengan memberi contoh berita di surat kabar, dimana seorang bupati di Aceh mengatakan seorang wanita yang tidak berpakaian sesuai syariat layak diperkosa. Ini adalah bentuk kiamat kemanusiaan, diantara banyak sekali berita-berita di media massa yang sangat tidak pantas dimuat secara kemanusiaan.
Cak Nun mengingatkan kembali bahwa transaksi itu diperbolehkan, dan yang harus hati-hati itu ada pada 4 hal, yaitu agama, kebudayaan, kesehatan dan pendidikan.
“Dokter itu melayani kemanusiaan, tapi tidak bisa tanpa menggunakan suntik, obat dan lain-lain. Benda-benda yang dipakai ini harus ditempuh secara transaksional. Jangan sampai dokter bertransaksi pada saat mengobati. Jadi yang tepat, pasien itu urunan untuk beli alat. Juga untuk jasa dokter yang harus kita hargai.Tapi dokternya sendiri tidak boleh punya niat mencari uang dengan mengarang-ngarang sakit dan obat.”, tambah Cak Nun.
Toto Rahardjo meminta Cak Nun menjelaskan perbedaan antara denotasi dan konotasi.Denotasi adalah hal-hal yang sifatnya pokokatau utama. Sedangkan konotasi adalah tafsir atau terjemahan dari sebuah denotasi. Menurut Toto, kiamat kemanusiaan ini berangkat dari salah kata atau kalimat. Yang seharusnya dipakai tidak dipakai, yang seharusnya tidak memakai malah berlebihan dalam berpakaian. Sebagai contoh kata islam nusantara yang sedang hangat pada saat ini.
Cak Nun menganalogikan bahwa Islam itu adalah ketela, sedangkan NU, Muhammadiyah, Suni Syiah, MTA itu adalah getuk, timus, kripik dan lain sebagainya.
“Jangan menilai getuk sebagai telo. Itu saja yang bikin kita bertengkar. Denotasinya itu Islam, dikonotasikan menjadi NU, Muhammadiyah, Sunni Syiah.. Jangan kemudian NU jadi agama, jangan Muhammadiyah jadi agama. Apalagi maiyah, maiyah itu harus tetap menjadi tepung, tidak boleh menjadi padat. Kalau tepung maiyah ada yang menjadi getuk itu tidak masalah, tapi itu bukan tepung maiyah. Itu hanya manfaat dari maiyah yang berubah menjadi getuk.”, sambung Cak Nun.
Dalam setiap forum Cak Nun selalu mengajak berfikir para sedulur yang hadir dengan analogi-analogi yang sederhana dan mudah dicerna oleh semua pihak. Seperti analogi ayam berkokok yang berbeda-beda di setiap daerah. Cak Nun juga selalu mengajak gembira semuanya dengan melontarkan humor-humor segar yang sarat makna sebagai penyegar suasana.
“Semua penipu itu sopan. Semua yang memperdaya anda itu halus, pintar dan canggih. Ada yang langsung ke anda, ada lewat kaset, televisi dan video. Itu semua anda jangan terjebak mana denotasi mana konotasi, anda harus mengerti ilmu yang tidak kelihatan, yang letaknya didalam.”, ucap Cak Nun.
Cak Nun menuturkan bahwa kacau balaunya kebudayaan, politik dan sebagainya di Indonesia itu karena tidak ada yang hati-hati dalam menjaga patrap. Kita tidak meletakan sesuatu pada tempatnya, meletakan kaki menjadi kepala, sampai meletakan kepala menjadi kaki. Cak Nun juga mengajak berfikir bahwa negara itu idenya kita, sedangkan pernikahan itu idenya Tuhan.
“Mana yang akan lebih kita pilih, negara bubar atau keluarga bubar? Tentunya lebih mending negara bubar. Karena nantinya pun di akhirat kita tidak ditanyai mengenai negara, politik, DPR, parpol, NU, muhammadiyah, dan lain-lain.”, ucap Cak Nun.
Untuk menampung diskusi, Cak Nun melontarkan pertanyaan pendek kepada para sedulur, adakah yang merasa hidupnya gagal. Ada seorang yang merespon dan merasa bahwa hidupnya gagal total. Kemudian diyakinkan oleh Cak Nun bahwa kegagalan hidup itu apabila sudah pada final kompetisi, bukan pada babak penyisihan seperti sekarang ini. Jika sekarang umur kita masih 20an, maka kesempatan itu masih ada.
“Gagal itu kalau turnamen berakhir, yaitu pas mati. Selama masih punya babak berikutnya dalam hidup, maka kita masih punya kesempatan memperbaiki kehidupan.Jangan sampai ada yang merasa gagal hidupnya. Kalau besok kita mati, itu sekarangbelum gagal. Ketika kamu sudah mati, dan kamu dalam keadaan gagalpun maka kita tidak bisa mengatakan gagal. Jadi sebenarnya tidak ada orang yang gagal.”, sambut Cak Nun.
Respon Para Sedulur
Sebagai penyela antar sesi, Ujang dari Ki Ageng Juguran melantunkan Suluk Simtuduror. Dilanjutkan dengan beberapa pertanyaan dari para sedulur, antara lain pertanyaan tentang sikap kita terhadap pemimpin kita yang tidak mengetahui Islam secara utuh. Salah seorang sedulur mengeluhkan dosanya yang begitu banyak, tapi tidak punya kemampuan memperbaiki diri. Ada juga yang bertanya mengenai transaksi berdoa dengan Gusti Allah, kalau kita ibarat wayang, maka bagaimana sikap terbaik kita terhadap dalang kita.
“Kita itu jangan tidak menyiapkan apa-apa kalau mau mendengarkan jawaban. Jadi tidak usah punya ilmu kalau tidak punya patrapnya. Mending menjadi orang bodoh, tapi tahu secara alamiah benar itu gimana, salah itu gimana, tahu itu gimana. “, respon Cak Nun.
“Saya tidak percaya ada orang yang dosanya lebih besar daripada kebaikannya. Saya orang yang khusnudzan dan optimis. Kita mau mandi, mau tersenyum, mau ketemu orang itu adalah sedang melakukan sunatullah.Sadar atau tidak sadar, kita menjalani kehendak Allah sangat banyak dibandingkan melanggar ketentuannya. Kalau kamu masih mau memelihara kebersihanmu, itu adalah menjalankan sunatullah-Nya.”, sambut Cak Nun.
Cak Nun berpesan untuk aktivasi malaikat agar bisa membantu kita dalam kehidupan sehari-hari agar kita bisa terhindar dari potensi-potensi buruk dalam diri kita sendiri.
“Orang tidak ditagih oleh Allah untuk berpanen. Yang ditagih adalah kesungguhan kita dalam menanam, menyirami. Kita tidak diminta untuk menumbuhkan padi. Kita cuma bisa tandur, mebersihkan rumput dan menunggu. Jadi, anda tidak ditanya Indonesia kok tidak berubah. Kalau tidak berubahpun tidak masalah, kita tidak disalahkan. Yang ditanya adalah daya juangmu, kesungguhanmu. Yang penting anda sudah membuktikan bahwa anda sudah memperjuangkan sesuatu. Dalam konteks apapun.”, tambah Cak Nun.
Cak Nunmenyampaikan tentang potensi khalifah pada diri kita. Allah menakdirkan dari padi menjadi beras. Kita berhak mengubah beras menjadi nasi, tapi kita tidak punya hak mengubah beras menjadi jagung. Menurut Cak Nun, kita ini bukanlah wayang 100%, tapi kita masih punya hak untuk rekayasa, hak ijtihad, hingga hak mentakdirkan. Meskipun tetap dibatasi oleh qodarnya Allah itu sendiri.
Tentang pemimpin yang tidak Islam, Cak Nun berpendapat bahwa yang seharusnya ditaati adalah Allah dan Rasulnya, itu saja. Kalau ada dalil yang mengatakan kita harus mengikuti ulil amri, maka kita harus cek betul tata bahasa, majas, sastra dan arti yang sebenarnya dari dalil tersebut. Cak Nunmenjelaskan kembali beda antara negara dengan pemerintah, dimana pemerintah itu seperti pekerja rumah tangga sedangkan negara adalah rumah tangga itu tersebut.
Mengembalikan Denotasi dan Konotasi
Satu nomor dari Ki Ageng Juguran berjudul “Kehidupan Yang Hilang” menjadi kesyahduan sendiri pada tengah malam acara malam hari ini. Titut Edi merespon betapa bahagianya forum ini atas hadirnya Cak Nun. Hadiwijaya, Seniman Lukis Banyumas juga ikut merespon dengan betapa rindunya forum ini selama 2 tahun terakhir menunggu Cak Nun hadir.Hadiwijaya juga mengingat kembali periode tahun 70-80an di Jogja saat Cak Nun masih berproses di Malioboro.
Toto Rahardjo menambahkan bahwa ada banyak hal yang sudah tidak lagi menghargai kemanusiaan dan martabat manusia, bahkan Undang-undang sampai orang beragamapun tidak berdasarkan menjunjung kemanusiaan.Maiyah mengambil posisi pada majelis ilmu yang mengurai ini semua, karena silang sengkarut ini semua akarnya ada pada cara berfikir manusia.
Cak Nun berpesan agar mengembalikan makna denotasi dakwah dan tabligh menjadi kata kerja. Menurut Cak Nun, dakwah itu milik semua orang. Jangankan manusia, ayam saja berdakwah. Kita boleh belajar kepada apapun karena semua berdakwah, dan semua menjadi mubaligh.
“Kalau orang melukis, anda harus bisa menggambar jari secara detail dulu baru anda lari ke aliran abstrak impresionis. Nah, dunia Islam sekarang diisi oleh pelukis-pelukis yang tidak menggambar jari secara detail, tapi sok-sokan mampu melukis aliran abstrak impresionis.”, tafsir Cak Nun.
Dalam penjelasannya, Cak Nunmeminta kita untuk bisa belajar kepada batusebagai benda, tanamansebagai benda yang tumbuh, hewansebagai benda yang tumbuh dan bernafsu, baru belajar menjadi manusia.Menurut Cak Nun, hewan memiliki nafsu tapi tidak pernah rakus ketika makan, karena mereka makan secukupnya saja. Kebengisan harimau dalam memangsa rusa itu adalah sunatullah, bukan sebuah kejahatan.
“Manusia itu ora tegaan, ada kasih sayang, toleransi, bebrayan. Jangan buru-buru beragama dulu. Setelah luslus menjadi manusia,kemudian menjadi khalifah, pengelola bumi. Sekarang, menjadi orang menjadi khalifah tapi belum lulus menjadi manusia. Bahkan jadi hewan saja belum.Maka maiyah mengmpulkan kita semua untuk menjadi pintar dan arif.”, sambung Cak Nun.
Cak Nun meminta para sedulur yang berkumpul disini untuk membangun diri bersama-sama tanpa tergantung pada satu kiai. Para sedulur diminta harus percaya bahwa Allah membimbing kita setiap saat. Tak lupa Cak Nun memberikan PR kepada yang hadir untuk bisa mengkaji beda antara huruf dengan aksara dan juga pertanyaan seperti kenapa tata bahasa kita mngacu pada tata bahasa barat menggunakan pola Subyek Predikat Obyek.
Wanto Tirta, dari Ajibarang menanyakan kepada Cak Nun, apa resep agar bisa konsisten dan selalu bersemangat dalam menjalani setiap perjumpaan dengan ribuan manusia setiap harinya. Cak Nun menjawab dengan kisah pertandingan tinju Mohammad Ali dengan Joe Fraizer. Dimana Ali mampu menang secara TKO atas Fraizer yang kemenangan tersebut dinisbatkan karena Ali masih sanggup berdiri hingga akhir pertandingan. Dalam doanya, ternyata Ali bertransaksi dengan Tuhan dengan meminta energinya untuk besok hari dilimpahkannya pada detik itu juga. Dalam istilah lain “ngebon” energi esok. Tips inilah yang sering digunakan Cak Nun dan Kiai Kanjeng dalam setiap pergelaran yang sangat padat setiap harinya.
Cak Nun mengakhiri forum dengan Suluk Simtuduror dan sholawat Alfu Salam bersama-sama. Setelah doa penutup, para sedulur secara tertib menyalami Cak Nun bergantian. Tepat pukul 02.45 dini hari, forum Juguran Syafaat usai dengan melantunkan “Hasbunallah” bersama-sama. [] RedJS