Diskusi Sesi Pertama
Gerimis malam hari ini tidak menghalangi para sedulur untuk bisa hadir di forum Juguran Syafaat. Acara Juguran Syafaat kali ini diawali dengan membacakan surat Yassin berjamaah untuk ayahanda Agus Sukoco (Penggiat Juguran Syafaat) yang wafat seminggu yang lalu. Dilanjutkan dengan satu nomor dari Ki Ageng Juguran yaitu “Alhamdulillah”. Seperti biasa sesi santai perkenalan dipandu oleh Kukuh dan Karyanto. Jamaah yang hadir semakin beragam asal daerahnya, ada yang berasal dari Cilacap, Purbalingga, Kebumen hingga Banjarnegara. Sesi perkenalan diselingi dengan satu nomor sholawat oleh Ki Ageng Juguran dengan judul “Shalallahu Rabbuna”.
Rizky dan Fikry memberikan mukadimah Juguran Syafaat edisi September ini yang mengambil tema “Menjawab Zaman”. Rizky menyampaikan bahwa rumus untuk menjawab pertanyaan zaman 10 tahun yang lalu tidak bisa digunakan pada saat sekarang ini. Fikry juga menambahkan, semakin kita mencari ilmu maka pertanyaan zaman semakin bertambah pada diri kita. Menurut Fikry, untuk berproses menjawab zaman yang diperlukan pertanyaan zaman, kemudian kita coba untuk menjawab zaman. Dalam proses menjawab zaman ada dua point penting yang menjadi bekal, yaitu potensi diri manusia dan istiqomah. Dan yang akan menjadi jawaban zaman yaitu momentum itu sendiri.
Titut Edi merespon mukadimah tema malam ini dengan sanepa “Pasar Ilang Kumandange”, yaitu kondisi pasar tradisional yang mulai luntur karena yang sekarang terjadi adanya minimarket dan pasar di internet. Juga sanepa “Kali Ilang Kedunge” bisa diartikan pejabat hilang kewibawaannya. Menurut Titut, diri kita dijajah dengan rasa tidak percaya diri terhadap kemampuan dan sumber daya alam bangsa ini. Sesi pertama Juguran Syafaat diakhiri dengan nomor “Baina Katifah” yang dibawakan apik oleh Ki Ageng Juguran.
Analogi Gambar Gajah
Juguran Syafaat malam hari ini lagi-lagi sangat spesial, karena dihadiri oleh teman-teman Letto dari Yogyakarta. Hadir bersama para sedulur Juguran Syafaat antara lain Sabrang Mowo Damar Panuluh, Patub, Dedot, dan juga beberapa kru Letto. Kusworo dan Rizky mengambil peran moderator untuk sesi berikutnya dengan menyapa dan memperkenalkan teman-teman Letto yang sudah hadir di Pendopo. Menurut Kusworo apa yang dilakukan oleh Sabrang adalah upaya menjawab zaman, yaitu karyanya melalui musik (Letto) dan juga beberapa film seperti Minggu Pagi di Victoria Park, Rayya Cahaya diatas Cahaya, dan terakhir Tjokro Guru Bangsa.
Sabrang menyapa semua yang sudah hadir dengan menyampaikan kebahagiaannya bisa datang ke Juguran Syafaat, dan menganggap ini bukan acara kunjungan melainkan silaturahmi persaudaraan. Persambungan persaudaraan ini dipererat dengan satu nomor musik dari Letto yang dibawakan secara akustik dengan judul “Ruang Rindu”. Sedulur yang hadir tampak bahagia dengan sambutan yang hangat ini.
Sabrang menyambung dengan bercerita awal mula tertariknya dengan pembuatan film, yaitu tentang storytelling, bagaimana teknik menyampaikan nilai dalam bentuk cerita.
“Prinsip yang kita pegang baik di Letto maupun di film adalah kita tidak berkata-kata, tidak berkarya jika tidak punya alasan untuk berkarya. Tidak ada misi yang dibawa. Tidak besar-besar tapi paling tidak ada yang mengahalalkan untuk berkarya. Jadi karya itu bukan urusan saya, bukan urusan narsis, bukan untuk ekspresi, tapi urusan konten dan isi yang tadi kita bicarakan.”, lanjut Sabrang. Kemudian Sabrang menceritakan sedikit tentang proses pembuatan beberapa filmnya yang digarapnya beberapa tahun lalu juga pesan-pesan apa yang terkadung dalam masing-masing film tersebut.
Titut Edi menyambut kehadiran Sabrang dan teman-teman dari Yogyakarta dengan mempersembahkan lagu karyanya “Kukus Menyan”. Rizky menyambung diskusi dengan mempersilakan sedulur yang hadir untuk melontarkan pertanyaan ke depan. Doni dari Banyumas menanyakan tentang pengaruh musik terhadap dunia modern dan juga apakah Sabrang memiliki beban moral untuk harus bisa melebihi kehebatan orangtuanya.
Sabrang merespon dengan definisi musik yaitu sebagai noise yang teratur. Apa yang ada dialam ini bisa dikategorikan sebagai musik, seperti bambu yang berkerat, air mengalir dan degup jantung yang teratur. Menurut Sabrang musik bukan sebagai alat provokasi tapi bagian dari alam semesta ini. Musik bukan apa yang kita dengarkan, tapi apa yang kita temukan didalam telinga.
“Musik tidak harus dari manusia, juga bisa dari alam. Musik tidak lahir dari manusia, tapi dipantik oleh manusia. Musik tidak selalu membawa orang ke suasana provokasi, jangan lupa Sidarta Gautama terinspirasi dari pemetik gitar yang ada didepannya. Jadi bukan musiknya yang membuat provokasi, tapi lemahnya pikiran yang membuat mudah diprovokasi. ”, ujar Sabrang.
Untuk merespon pertanyaan kedua, Sabrang menuturkan bahwa dalam hidup ada dua term, ada personalitas ada identitas. Personalitas adalah apa yang ada dalam diri kita yang tidak bisa kita pilih dan didapat dari lahir. Contohnya rambut kriting, orang tua, tinggi rendah tubuh, dan lain sebagainya. Identitas adalah yang sebaliknya.
“Jadi kalau ada orang membanggakan personalitas, itu tidak masuk akal bagi saya. Kamu bangga kalau kamu tampan, lho kamu kan tidak ikut menyumbang apapun. Apa yang kamu banggakan disitu? Itu kan urusan kebetulan saja.“, respon Sabrang.
“Hebat itu apa mas? Bahwa dia didengarkan oleh orang banyak? Hitler juga didengarkan orang banyak. Bahwa ketika mati dia antar orang banyak, itu orang hebat. Kanjeng Nabi hanya orang enam yang mengurus wafatnya. Jadi definisi hebat itu saya nggak tahu. Semua orang menemukan dirinya. Dia tahu personalitasnya dari lahir, kemudian dia mengetahui identitasnya. Identitas adalah kumpulan kepercayaan terhadap dirinya. “, tambah Sabrang.
Menurut Sabrang, orang yang bisa menemukan dirinya sendiri itu akan lebih besar daripada identitasnya maupun personalitasnya. Beberapa orang yang menganggap beban atas orangtuanya, itu dikarenakan menyerap betul identitas tanpa sadar. Sabrang menuturkan bahwa tidak ada orang yang bisa menjalani perjalanan orang lain. Sehebat-hebatnya anaknya Michael Jackson ingin seperti bapaknya, pasti hanya menjadi Michael Jackson KW.
Sabrang menganalogikan ada dua orang yang menggambar gajah dari arah yang berbeda. Maka dua-duanya memiliki muatan kebenaran atas gambar gajah, meskipun gambarnya berbeda. Orang yang bodoh adalah orang yang tidak mau melihat gambar temannya. Karena kalau dia hanya bisa melihat gambarnya sendiri, maka hanya melihat gajah dari satu sisi. Kalau dia bersedia melihat gambar temannya, dia akan bisa melihat lengkap gambar gajahnya. Dan itulah kebenaran dan ilmu yang sejati.
“Anak yang benar pendidikannya, akan melihat bapak ibunya hebat. Akan melihat kucing dirumahnya hebat. Karena dia menemukan ilmu dari itu semua. Ilmu adalah dari dirinya yang leihat, bukan dari faktnya. Karena melalui satu fakta kita bisa mengambil ratusan ilmu.”, ujar Sabrang.
“Hidup ini bukan satu rumah tujuh kamar, tapi satu rumah dengan tujuh pintu. Kamu mau masuk pintu fisika, matematika, ilmu sosial, kalau kamu sudah masuk rumah, semua ilmu berhubungan. Jangan difikir musik tidak ada hubungannya dengan fisika, musik itu gelombang yang berjalan diudara untuk masuk ke telinga. Tutup botol dengan Gusti Allah, lauful mahfuz itu juga nyambung. Masalahnya yang kita cari adalah sambungannya. Bahwa kepastian mereka bersambung, itu pasti.”, tambah Sabrang.
Sabrang menyampaikan bahwa tidak ada benar salah dalam hidup. Karena yang menurut kita benar, itu suatu saat pasti salah, kalau kita menemukan benar yang lebih lanjut, yang lebih presisi. Yang kita anggap salah, pasti akan benar kalau kita mengetahui jarak pandangnya, resolusi pandang, sudut pandangnya, cara pandangnya.
“Dalam analogi gambar gajah, yang kita cari bukan mana yang paling benar, tapi kelengkapan kebenaran itu. Dari sudut pandang yang banyak, dari resolusi yang macam-macam, dari cara pandang yang macam-macam kita kumpulkan. Kita akan punya kelengkapan kebenaran gambar gajah. Itupun masih limit. Selengkap-lengkapnya kita lihat gambar tentang gajah, itu bukan gajah lho. Kita tidak menyentuh kebenaran gajah itu. Itu hanya potret tentang gambar gajah. Betapa jarak kita begitu jauh dari kebenaran, sampai di Quran kita selalu minta’tunjukilah kami jalan yang benar’. “, tambah Sabrang.
Gerakan Mana Yang Menjawab Zaman?
Satu nomor dari Letto menyelingi sesi diskusi kedua “Permintaan Hati”. Agus Sukoco ikut urun pertanyaan kepada Sabrang tentang perubahan takdir, apa kita bisa merubah takdir, apa takdir sudah merupakan bentuk kepastian. Sabrang menganalogikan dengan video game sepakbola, dimana kita bebas menentukan siapa musuhnya, siapa saja pemainnya, bola ditendang kearah mana, tapi tidak bisa mengeluarkan bola dari televisi. Karena ini sudah ditentukan, semua yang ada dalam video game tersebut sudah tertulis dalam bahasa pemorgraman. Kalau tidak ditulis maka tidak mungkin terjadi.
“Tuhan sudah menuliskan semuanya, salah satu tulisannya disebut dengan hukum alam. Jadi ada kemungkinan posibilitas yang tidak bisa kamu lewati karena sudah ada peraturannya tertulis jelas.”, tambah Sabrang.Free will atau kebebasan memilih menurut Sabrang bukan ketika mengantuk kita memilih makan, itu adalah hubungan sebab akibat. Free will adalah kebebasan kita memilih cara pandang dan ilmu terhadap fakta yang terjadi.
Satu nomor dari Ki Ageng Juguran dengan irama dangdut yaitu “Darah Muda” dengan vokal Slamet. Rizky menanyakan bahwa begitu banyak gerakan-gerakan anak muda sekarang yang semuanya tujuannya kepada kebaikan, lalu bagaimana kita bisa memilih mana yang paling tepat dan relevan untuk zaman sekarang. Sabrang menjawab bahwa semua gerakan tersebut akan dibuktikan oleh waktu, sama seperti Cokroaminoto yang melahirkan anak-anak muda pekerja sejarah. Kalau kita berjuang dengan target hasil maka kita akan menerima kekecewaan.
“Kalau kamu mau mencapai tujuan, kamu konsentrasi pada apa yang bisa kamu kontrol pada dirimu sendiri. kalau konsentrasi pada dirimu sendiri, kamu tahu bagaimana membawa diri, bagaimana menjadi dirimu. Dalam berjuang, kita percaya jalan yang kita pilih, urusan yang menjadikan itu urusan Tuhan.”, tambah Sabrang.
Menurut Sabrang, membantu orang lain itu bukan apa yang ingin kita bantu, tapi sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh yang kita bantu. Memahami limitasi adalah hal yang paling berat dalam hidup kita.
“Setiap zaman ada jawabannya sendiri. Kamu jangan mereplikasi apa yang sudah ada. Kalau kita sekarang melihat zamannya seperti apa. Apakah masih efektif berjuang dengan demo? Kita harus mempelajari medan perangnya. Maka kita baru bisa menjawabnya dengan tepat. Bukan berhasil tidak berhasil, yang kita wajib adalah menjawab zaman, bukan menjawab dengan benar.”, respon Sabrang.
“Maiyah memang belum memantik akan melakukan apa. Tapi kita berbicara ke kesadaran dahulu. Kita tahu dahulu, benar dalam memperlakukan benar salah, benar dalam memperlakukan ilmu, benar dalam memperlakukan diri. Kalau itu sudah aman, baru kita masuk ke gerakan. Tunggu saja waktunya.”, tambah Sabrang.
Rizky menambahkan bahwa sekarang yang dianggap konkret adalah yang heroik perjuangannya, sedang kita ini seperti dongkrak yang menunggu ban bocor, yang kita perjuangkan adalah jangan sampai dongkrak menjadi berkarat. Kusworo menyambung dengan pertanyaan zaman yang terjadi pada saat Cokroaminoto dan Mbah Kholil pada saat itu dan relevansinya pada saat ini.
Menurut Sabrang, yang harus kita lakukan adalah bukan mencontoh mentah-mentah cara perjuangan mereka, tapi adalah kerangka berfikir mereka, ibarat data, kita bukan mendownload datanya, karena ada kemungkinan korup, tapi download lah softwarenya, karena itu bisa kita gunakan untuk mengolah data apapun.
Ki Ageng Juguran mempersembahkan satu nomor barunya yaitu “Menjemput Janji” disambung dengan nomor akustik dari Letto yaitu “Senyumanmu” dan “Sandaran Hati”. Titut Edi ikut pula menambah kehangatan dengan nomor musik humornya yaitu “Balapan Tengu”.
Parenting Ala Sabrang
Diskusi hangat masih berlangsung meskipun sudah masuk pukul 00.15. Sabrang didaulat oleh para sedulur untuk menjadi narasumber yang siap untuk ditanyai apapun, entah itu perihal seni, filsafat, gerakan sosial hingga pola asuh anak.
Agus Sukoco kali ini ikut bertanya tentang bagaimana sesungguhnya cara yang paling tepat sebagai orang tua mengantar anak putra menemukan kedewasaan sosialnya atau perjanjian dengan Tuhannya.
“Kenapa anak diturunkan ke bumi melalui kita, itu karena memang mereka membutuhkan kita. Membutuhkan pengalaman kita untuk menjadi dirinya sendiri. Dia spesifik menjadi anak kita, karena dia butuh pengetahuan dari kita. Yang harus kita lakukan dalam mendidik anak adalah memberikan limit pengetahuan dan pemahaman yang kita ketahui.”, ujar Sabrang.
Sabrang juga menyampaikan bahwa setiap diri mendapatkan tugas untuk masyarakatnya, tapi yang lebih penting pahami dulu diri kita sendiri. Mendidik anak adalah dengan membebaskannya.
“Bagaimana membebaskannya, adalah dengan pengetahuan kita. Dia tahu pilihan, dia tahu limitasi, dia tahu identitas kita. Maka dia akan punya identitasnya sendiri. manusia akan lahir dua kali, kelahiran pertama adalah kelahiran saat kita lupa saat kelahiran. Kelahiran yang kedua adalah ketika lahir kembali dengan pilihan lahir kitasendiri. Disitulah terlihat tugas terhadap masyarakat. Yang bisa orang tua lakukan adalah merefleksikan perjalanannya, bukan memaksakan perjalanannya. Menjadi salah satu referensi yang dipercaya anaknya. Bukan hukum.”, tambah Sabrang.
Titut turut menanyakan tentang penciptaan manusia kenapa bisa diciptakan berbeda-beda, apa karena jenis tanah liatnya yang berbeda. Sabrang menjawab bahwa manusia diciptakan bisa berbeda-beda itu karena evolusi bertahan masing-masing, sehingga menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan yang ada. Imron dari Purbalingga, menanyakan tentang limitasi kita dalam menjawab zaman. Dan Togar dari Purwokerto menanyakan tentang cara pandang yang berbeda.
Sabrang menyampaikan bahwa kita disini bukan mencari kesalahan dengan sudut pandang yang berbeda. Kita bisa mencari kesalahan dari Quran hingga Tuhan, tapi apa gunanya mencari kesalahan. Harapan kita mencari apa yang benar, bukan siapa yang benar.
Menurut Sabrang, kalau limit pengetahuan kita sudah luas, sudah tahu pertanyaannya apa, berarti kita punya kemampuan disitu. Kalau kita masih bingung tentang masalah ini bagaimana, berarti bukan tugas kita menjawabnya. Sebelum memberesi negara menjadi presiden jadi gubernur dulu, sebelum menajdi gubernur jadilah camat dulu, sebelum jadi camat jadi lurah dulu, sebelum itu jadilah kepala keluarga, dan benahi dalam dirimu sendiri. Sabrang menambahi bahwa kita ini masih kalah dengan nafsu, sudah bercita-cita memberesi negara.
Anggit dari Purwokerto dengan latar belakang pelaku penjualan saham menyampaikan beberapa informasi terkait dengan kondisi ekonomi global yang sekarang ini. Dedi dari Purwokerto menanyakan kenapa Sabrang bisa mencipta lirik untuk Letto dengan begitu indah. Disambung juga Nurul dari Jakarta yang menanyakan tentang partikel Tuhan.
Sabrang menjelaskan sedikit tentang asal usul penamaan partikel Tuhan atau Higgs Bosson yang merupakan marketing dalam dunia ilmu fisika. Menurut Sabrang, misi utamanya dalam bermusik adalah menyampaikan apa yang dia pahami dengan cara yang bisa diterima oleh masyarakat. Sabrang menjawab dengan apik masing-masing pertanyaan dari para sedulur.
Rizky menutup sesi diskusi dengan menyerahkan kesimpulan diskusi pada diri sendiri karena masing-masing memiliki proyeksi sendiri. Ki Ageng Juguran memungkasi acara pukul 02.45 dengan nomor Sholawat Badar. [] RedJS