JUGURAN SYAFAAT EDISI Desember 2015 kembali menempati tempat yang baru, yaitu Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Purwokerto. Dengan lokasi pendopo Jawa yang cukup lapang, Juguran Syafaat dimulai dari pukul 21.00 WIB. Seperti biasa, acara diawali dengan pembacaan Al Quran surat Al Mudatsir. Dilanjutkan dengan wirid Padhang mBulan dan Hasbunalloh bersama-sama. Sesi awal dipandu oleh Karyanto, Kukuh dan Hilmy. Karyanto diawal atas nama penggiat memohon maaf atas perpindahan tempat penyelenggaraan Juguran Syafaat. Kukuh menyampaikan bahwa Juguran Syafaat kali ini adalah putaran bulan ke 33 kalinya. Hilmy dan Kukuh memandu sebelumnya yang dilakukan adalah perkenalan satu persatu. Sesi awal ini diharapkan bisa mengetahui maksud dan harapan datang ke forum ini. Beberapa yang ikut urun rembug menyampaikan keinginannya bergabung dengan forum ini karena forum yang berbeda dari biasanya. Rasa penasaran dan mengikuti lini masa di jejaring maya adalah beberapa alasan dari sedulur yang hadir.
Satu nomor dari Ki Ageng Juguran dengan sholawat“An-Nabi” menghangatkan suasana forum. Dilanjutkan masih dengan perkenalan dan testimonial dari beberapa sedulur yang hadir. Beberapa yang tertarik ikut Juguran Syafaat karena sudah mengikuti di fanpage facebook Maiyah Nusantara dan Juguran Syafaat.
Sebuah Pengantar
Kusworo mengambil alih peran moderasi di diskusi sesi kedua dengan meminta beberapa penggiat untuk ikut maju kedepan dan berbagi awal mulanya ada forum Juguran Syafaat. Kemudian Fikry menceritakan latar belakang perkenalan dengan Maiyah, dimana dimulai dengan komunitas“Semangat Donk” yang sejak tahun 2006 sudah melingkar bersama menggarap media dan pelatihan untuk sekolah-sekolah di 4 kabupaten sekitar Banyumas. Fikry menyambung dengan penjelasan tentang standar kebaikan yang harus dimiliki oleh masing-masing manusia.
“Pertama, ternyata kok yang namanya konsep kebenaran itu banyak bangetmaka saya membuat fatwa untuk diri saya sendiri bahwa setiap orang itu harus punya standar kebaikan dirinya sendiri, itu pertama. Kedua setiap orang boleh mengadopsi standar kebaikan dari orang lain. Ketiga setiap orang tidak boleh memaksakan standar kebaikan dirinya terhadap orang lain.”, sambung Fikry.
Fikry menambahkan bahwa kita harus memiliki sikap yang tepat melihat kebenaran, yaitu terhadap Tuhan, terhadap diri kita, dan terhadap orang lain. Jika terhadap Tuhan, sebenar apapun kita, maka dalam diri kita tetap memiliki rasa sesat dan inilah koridor ‘ihdinas sirotol mustaqim’. Lain terhadap diri kita sendiri, kita boleh fanatik dengan meyakini kebenaran yang kita peroleh. Namun lain lagi jika sikap kita terhadap orang lain, kita tidak boleh memaksakan kebenaran yang kita peroleh. Fikry menambahkan contoh nyata dimana dia mencoba menerapkannya kepada sikap parenting-nya kepada anak.
Kusworo merespon dengan menyampaikan tema besar Maiyah adalah ‘mencari apa yang benar, bukan siapa yang benar’. Ini adalah bentuk pencarian akan kebenaran yang sejati. Kalau menggunakan analogi dari Sabrang MDP maka proses ini adalah memotret gajah dengan lebih tajam pixel-nya dan banyak angle-nya, sehingga kita bisa semakin jelas mendapatkan kebenaran dari gajah tersebut.
Satu nomor Ki Ageng Juguran dengan vokal Tita berjudul ‘Bunda’ dibawakan dengan apik secara akustik. Hilmy menambahkan sedikit reportase penyelenggaraan Silaturahmi Penggiat Maiyah Nasional kedua di Magelang tanggal 4-6 Desember kemarin. Kegiatan tersebut mempertemukan penggiat Maiyah seluruh nusantara dengan Dzat Maiyah yaitu, Syeh Nurshamad Kamba, Cak Fuad dan Cak Nun.
Rizky memberikan penjelasan tentang mukadimah tema kali ini “Mampir Medang”, berasal dari falsafah Jawa yang sangat tenar yaitu “Urip Mung Mampir Ngombe”. Rizky menarik kembali ke bahasan apa beda antara falsafah, motto, jargon, slogan dan lain sebagainya. Hal ini diperuntukkan agar tidak salah menempatkannya dalam setiap konteks pembahasan.
SK dari Tuhan
Agus Sukoco mengawali dengan ungkapan nelangsa-nya karena Juguran Syafaat berpindah tempat beberapa kali. Agus mengambil sebuah analogi dimana kucing sebelum melahirkan dia harus berpindah tempat sebanyak tujuh kali. Yang menarik tentunya, kucing ini adalah binatang kesayangan Rasulullah, sehingga sampai sekarang dilindungi sedemikian rupa oleh masyarakat.
“Mampir Medang, kalau mampir berarti kita berangkat dari satu titik keberangkatan menuju satu titik tuju. Mampir sejenak di dunia yang disebut sebagai orang Jawa sebagai ‘mampir ngombe’.Artinya kata ‘mampir’ ini bukan berdiri sendiri tetapi ada makna dimana kita sedang melakukan perjalanan dari dan akan ke. Sekarang kita sedang berada di dunia yang hanya berderajat mampir, nah dari mana kita sebenarnya?”, sambung Agus.
Dalam penuturannya, Agus menjelaskan tentang awal mula penciptaan manusia yang ditugaskan menjadi khalifah di bumi. Kalau diibaratkan dengan SK (Surat Keputusan) maka manusia mempunyai SK berupa ayat Allah yang berbunyi “Wa-idz qala Rabbuka lil malaa-ikati innii jaa’ilun fil ardi khaliifah”. Jika manusia mempunyai kesadaran bahwa dia mempunyai SK dari Tuhan, maka dia berderajat lebih tinggi dari malaikat, tetapi jika tidak mempunyai kesadaran ini maka ayat ‘Ulaika kal an’am balhum adzal’ berlaku, yaitu kita lebih rendah dari binatang.
“SK tadi bersifat kualitatif. Kalau manusia mampu membangun kesadaran spritualnya, membangun prinsip-prinsip teologisnya sedemikian kuat di dalam dirinya maka dia ber-SK, kalau dia ber-SK maka berlaku prinsip mandat dan dimandati. Letak kekuatan orang yang disuruh terletak pada yang menyuruh, maka kita menjadi berlipat-lipat kekuatan, kita punya ekstra kekuatan artinya kita berpeluang lebih selamat.”, tambah Agus Sukoco.
Agus menganalogikan kalau SK Pegawai bisa digadaikan atau menjadi jaminan hutang ke bank, maka SK dari Tuhan adalah bentuk jaminan kita kepada Tuhan bahwa kita akan mendapatkan grujugan “Min Haitsu La Yah Tasib”, rejeki dari yang tak diduga-duga dari Tuhan melalui bendaharawan surganya. Manusia Jawa mengerti persis bahwa kehidupan kita di dunia ini hanya sekedar mampir, ibarat kita pergi dari Purbalingga akan menuju ke Jakarta kemudian mampir di Tegal. Maka ketika mampir kita tidak akan terpengaruh dengan kondisi yang terjadi di lokalan Tegal. Kita akan disuguhi air putih atau kopi, kita tetap tahu bahwa Tegal bukan tujuan utama.
“Nah banyak orang yang tidak memposisikan peristiwa mampir sebagai mampir. Seolah-olah itu tujuan sehingga ia sangat terikat secara batin, secara perasaan maka apapun yang terjadi menjadi sedih, karena dia tidak ngerti bahwa sesungguhnya perjalanan masih harus diteruskan.Nah banyak orang bahkan tidak sempat melanjutkan perjalanan karena di situ kepencut bahkan mbojo sisan nang kono.”, imbuh Agus.
Agus menuturkan bahwa dunia ini cukup dipacari saja, jangan dinikahi. Karena kalau dinikahi akan menjadi beban berat dan keterikatan batin yang kuat, hingga lupa bahwa ini sebenarnya hanya ampiran saja. Falsafah Jawa ini menjadi obat yang mujarab ditengah kesumpekan hidup kita, kalau ada masalah apa-apa kita menjadi enteng menghadapinya dengan berepdoman bahwa “urip mung mampir ngombe”.
Dalam kesempatan ini, Agus Sukoco membacakan puisi tentang “Kata-kata” yang tadi baru saja ditampilkannya di Pertunjukkan Komunitas Seni Purbalingga. Ki Ageng Juguran menyambung dengan vokal Tita mempersembahkan nomor “Tuhan Berguru”.
Kusworo merespon lagu yang baru saja ditampilkan karya Kiai Kanjeng yang liriknya ditulis oleh Cak Nun, bahwa perjalanan hidup manusia sangat panjang dan kita terus berguru dari titik awal hingga titik tuju. Kusworo juga menambahkan bahwa gerakan revolusi mental yang didengungkan pemerintah sekarang belum menyentuh pada perubahan cara berfikirnya yang sangat dasar. Sesuai dengan penjelasan Cak Nun bahwa mental adalah output dari cara berfikir. Dan inilah yang selalu digarap oleh forum-forum Maiyah, mencari ketepatan cara berfikir.
Arif dari Purwokerto, merespon dengan penjelasan bahwa kalau menurut surat Al Hajj ayat 47 dimana disebutkan satu hari di akhirat dalam hitungan Tuhan itu seperti seribu tahun dalam perhitungan kita di dunia. Maka dalam beberapa penafsiran mengatakan kalau satu jam di akhirat sama dengan 41,6 hari. Maka kalau umur manusia 63 tahun itu setara dengan 1,5 jam di akhirat. Dan ini bentuk relevansi falsafah Jawa “Urip mung mampir ngombe” tadi dengan ayat Al Quran.
Rizky menarik kembali dengan respon bahwa falsafah dari KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) berarti sikap batin yang mendasari.Rizky juga merespon kondisi aktual sekarang ini, yaitu Hari Belanja Online Nasional dimana dalam situs-situs belanja online banyak sekali kata-kata yang dipelintir sehingga banyak pelanggan yang tertipu karena promo yang tidak jujur. Rayung dari Purwokerto kali ini ikut kembali mempersembahkan suaranya dalam nomor tembang ballads “Saksikan Bahwa Sepi” dari Ebiet G Ade.
Menjamaahkan Jamaah
Agus Sukoco menuturkan kondisi masyarakat yang gampang sekali berbenturan karena perbedaan. Agus mencontohkan dalam pertandingan sepakbola, antar RT bisa jadi ajang benturan, tapi ketika naik ke antar desa, musuh yang tadi berlawanan menjadi kawan dan siap memusuhi lawan desa lain. Ini terus naik hingga dalam urusan bangsa, agama dan lain sebagainya.
“Manusia harus mengerti, sesungguhnya manusia tidak bisa disempitkan oleh peristiwa primordialisme bahkan disempitkan oleh peristiwa nasionalisme. Jadi nasionalisme itu sesungguhnya masih sebuah kesempitan karena kalau sudah ngomong manusia, dimanapun manusia itu berada di negara apapun, dia tetap manusia. Dan dia tetap sama dengan kita. Maka tidak ada orang lain. Kalau masih nasionalisme, orang Malaysia adalah orang lain. Apalagi kalau masih antar kabupaten, maka kabupaten lain adalah orang lain, tapi kalau sudah manusia mana yang akan kita orang lainkan?”, sambung Agus Sukoco.
Agus Sukoco menambahkan penjelasan tentang berjamaah dimana sampai Rasulullah memberikan aksentuasi khusus terhadap sholat berjamaah hingga Allah ‘memaksa’ lelaki harus berjamaah seminggu sekali dalam sholat Jumat. Latar belakang pewajiban ini letaknya bukan pada persitiwa sholat berjamaahnya, tetapi sholat berjamaah hanya media untuk memaksa manusia bertemu muka kemudian bersatu bersama.
“Masa Tuhan hanyaseneng melihat kebersamaan gerak, saya kira letaknya bukan pada sholatnya itu, tetapi sholat dipakai oleh Tuhan oleh Islam untuk menggiring manusia disatukan targetnya yaitu penyatuan tadi. Yang terjadi sekarang adalah sholat bareng tapi dewek-dewek hanya kebersamaan tempat tapi sesungguhnya hatinya berkeping-keping dan terpecah-pecah tercerai-berai.”, sambung Agus Sukoco.
Dalam penjelasannya, Agus mengisahkan asal mulanya Rasulullah memaksa umatnya untuk sholat berjamaah sampai mengatakan kalau orang islam yang tidak sholat berjamaah termasuk kaum munafik. Peristiwanya karena pada saat itu Rasulullah sangat sulit mengidentifikasi mana sesungguhnya umat Islam yang punya loyalitas terhadap perjuangannya. Ada sebagian umat yang mengaku Islam tapi tidak mau ngeton di masjid dan masih punya kepentingan dengan Abu Jahal. Keadaan sekarang mulai sudah kehilangan esensi jamaah dan masjid-masjid sudah dikuasai oleh ustad-ustad penguasa masjid.
“Maka saya dan temen-temen bikin ide makan malam berjamaah. Jadi di RT temen-temen itu ada kita kumpulin uang. Habis ‘isya kita kumpul makan malam artinya makan malam kita pakai ditengahsholat sudah tidak bisa kita pakai untuk mewujudkan esensi jamaah. Lho sekarang kan habis sholat sudah sendiri-sendiri bahkan salaman saja dilarang, jadi interaksi sosial bener-bener dihalangi. Apalagi gendu-gendu rasa apalagi membicarakan hal-hal yang sifatnya sosial dan kehidupan sehari-hari sudah hilang,wong salaman saja dilarang.”, ujar Agus Sukoco.
“Kita harus tetep membangun esensi jamaah sesuai dengan aksentuasi pesan Islam kehidupan bersosial. Maka makan malam berjamaah nanti kita tunggu donaturnya di tempat masing–masing kalau ada makan malam kumpul.Di situ guyub terjadi senda gurau kemudian yang tidak akrab jadi akrab maka di situ mulai terjadi rempugan-rempugan tentang urip mulai mendengar kabar bahwa si A sakit, si B sedang menderita, si C sedang kesulitan dengan biaya sekolah, mulai terdengar dari rengeng-rengeng diacara makan bersama, karena rengeng-rengeng sosial sudah tidak terdengar di dalam masjid-masjid yang sunyi dan penuh para malaikat yang bersorban itu.”, sambung Agus Sukoco.
Fikry merespon bahwa ditempat tinggalnya masih menemukan jamaah masjid yang saling berinteraksi dengan yang lain. Ini dibuktikan dengan ketika salah satu jamaah yang sakit, semua jamaah masjid itu ikut menengok keadaan si sakit setelah sholat Isya. Rizky menyambung dengan apa yang harus kita teliti kembali segala tindakan kita sudah tepat belum sikap batin atau falsafahnya. Rizky menilik pada beberapa peristiwa kebudayaan seperti hajatan yang dulu penuh dengan falsafah sehingga semegah apapun tidak pernah merepotkan shohibul hajat. Tapi sekarang yang terjadi orang hanya mewarisi repotnya saja, tanpa mengerti apa falsafah dibaliknya.
Time is Money?
Agus, salah satu sedulur yang hadir dari Purwokerto, merespon dengan menyambungkan falsafah Jawa “mampir ngombe” dengan paradigma barat yang mengatakan “Time Is Money”, sebagai bentuk penghormatan berharganya waktu. Kusworo menanggapi dengan persepsi orang yang melihat petani Indonesia malas bekerja, sehingga berangkat pagi, siang sudah pulang. Tapi sebenarnya mereka banyak melakukan pekerjaan lain diluar bertani, masih ada mencari kayu bakar, beternak dan lain sebagainya. Kusworo juga mengambil contoh pedagang di pasar yang sudah bekerja sejak pukul 12 malam sebagai bentuk kerja keras mereka tanpa kenal waktu.
“Berbeda dengan di Belanda atau di negara maju dengan ekosistem seperti itu mereka harus bener-bener berjuang mati-matian untuk bisa bertahan hidup dan itu yang kemudian melahirkan rekayasa industrialisme dan kapitalisme. Dimana informasi yang disebarkan adalah bahwa sumber daya alam itu sangat terbatas sementara yang didorong melalui iklan melalui macem-macem itu keinginan yang tidak pernah terbatas. Dan itu yang dilakukan sebaliknya oleh agama, agama adalah meyakini bahwa sumber daya alam dari Tuhan itu tidak terbatas tapi melaui metode puasa macem-macem manusia dipaksa untuk mengerti batas-batas. Jadi sangat bertolak belakang apa yang terjadi di barat dengan di jawa falsafah jawa itu tadi.”, respon Kusworo.
Agus Sukoco menanggapi pernyataan tadi dengan sikap orang Jawa yang begitu tahu efektifitasnya hidup di dunia sehingga menggunakan falsafah “Urip Mung Mampir Ngombe”. Kalau menggunakan rumus 1,5 jam tadi, dengan tugas berat kita sebagai manusia, maka kita tidak bisa berleha-leha disitu. Agus Sukoco menganalogikan dengan tentara yang dikirim ke daerah konflik selama tiga bulan. Jangan sampai yang terjadi adalah tentara tersebut terbuai dengan keindahan alam daerah konflik tersebut, sibuk mengumpulkan makanan dan lain sebagainya, sehingga ketika sudah habis masa tugasnya dan dimintai pertanggungjawabannya belum selesai menyelesaikan tugas besarnya. Agus kemudian masuk kedalam materi pendidikan, dimana pendidikan seharusnya bisa menemukan siapa jati diri kita sesungguhnya. Kalau diibaratkan tentara, maka kita tahu bekal apa yang dibawa berperang dan tugas apa yang kita kerjakan selama ditempatkan di daerah perang.
Rizky menambahi dengan penjelasan beda antara falsafah, motto, visi, misi, yell. Menurut Rizky, falsafah dalah sebuah sikap batin yang mendasari tindakan. Motto adalah afirmasi, visi adalah capaian, misi adalah tindakan, prinsip adalah batasan-batasan, metode adalah cara bertindak.
Agus Sukoco menjelaskan bahwa esensi tugas khalifah sesungguhnya adalah mentransformasi rahmat menjadi barokah. Apapun nanti jenis kekhalifahan masing-masing berbeda. Agus menjelaskan bahwa rahmat itu alamiah, barokah itu kebudayaan, contohnya ketela itu alam gethuk itu kebudayaan, karena ada intervensi manusia mengelola alam menjadi produk.
“Yang sekarang terjadi adalah hak atau otoritas untuk mengintervensi alam atau rahmat ini tetapi produknya tidak dalam kebudayaan yang barokah. Misalnya dalam kasus Freeport, ada alam yang rahmat tadi, mestinya ada aturan satu regulasi atau apapun namanya yang membatasi Freeport ini jatah untuk generasi sekarang kita ambil berapa persen karena ada hak juga anak kita, cucu kita dan generasi sekian. Apakah itu hanya untuk generasi kita? Sehingga generasi yang akan datang tidak. Yang kedua itu rahmat untuk siapa untuk orang Indonesia atau untuk orang Amerika? Kalau kemudian tadi yang terjadi adalah eksplorasi dan tidak tepat sasaran, rahmat harus dikelola untuk membarokahi Indonesia tetapi justru sampainya untuk kesejahteraan di Amerika dan tidak terukur seberapa persen yang boleh kita ambil, tidak ada aturan yang jelas. Maka intervensi manusia itu tidak mengolah rahmat menjadi barokah tetapi menjadi adzab. Maka disini telah gagal bertugas sebagai khalifah dalam konteks pribadi atau dalam konteks kenegaraan ini. Yang terjadi sekarang jadi esensi tugas khalifah adalah mengintervensi rahmat supaya diproduk menjadi barokah, mengeksplorasi alam menjadi kebudayaan yang mensejahterakan yang menyelamatkan.”, imbuh Agus Sukoco.
Agus dari Purwokerto menanggapi kembali bahwa komoditas sekarang yang utama bukanlah sumber daya alam, melainkan waktu. Dalam penjelasannya, orang yang sangat rakus untuk mengekploitasi apapun ternyata dia terbentur oleh waktu, ternyata yang harus dieksploitasi bukan alam tapi waktu. Ini yang mendasari ada paradigma “Time Is Money”. Nomor “Menjemput Janji” dari Ki Ageng Juguran mengantarkan diskusi Juguran Syafaat ini ke tengah malam.
RechecktionTujuan
Meta dari Purwokerto ikut berpendapat mengenai pendidikan parenting, dimana orang sekarang gampang sekali percaya dengan tokoh-tokoh atau buku yang beredar saat ini sebagai contoh panduan hidup. Mereka lupa bahwa madrasah yang utama adalah orang tua mereka. Meta mengambil contoh pendidikan ala Ali Bin Abi Thalib dimana umur 0-7 tahun, anak diperlakukan sebagai raja dimana kita dimanja hidupnya, umur 7-14 tahun seperti tawanan perang dimana kita diberi beban kewajiban sehari-hari, dan umur 14-21 tahun seperti sahabat dimana kita bisa sharing keseharian kita. Fikry merepson dengan banyaknya orang sekarang yang sudah sibuk mengatur anaknya, tapi dirinya sendiri sebenarnya belum selesai.
Hardi, sedulur dari Purwokerto, menyampaikan tentang tahap hidup orang hindu yaitu Purwa, Madya dan Wasana. Dimana Wasana bisa berarti sebagai akhir bisa berarti pula sebagai awal. Ini berkaitan dengan hidup adalah perjalanan yang panjang. Hardi menambahkan bahwa point yang harus kita lakukan pada saat mampir adalah rechecktion. Rechecktion adalah bentuk pengakuratan posisi terhadap tujuan akhir. Kalau dalam perjalanan pendaki gunung, diperlukan pembacaan peta ulang dan penentuan arah kompas saat istirahat sejenak sebelum naik ke puncak gunung.
“Kalau saya boleh belajar dari kawan saya,pandita di Bali itu mengenai Karma Wasana tadi, bagaimana kita menentukan tugas kita, menunaikan tugas kita, darma kita dengan baik. Yang kedua bagaimana kita belajar, mungkin salah satunya adalah parenting tadi. Yang ketiga menentukan arah menujunya itu yang paling terpenting, jangan-jangan pada saat ini kita sudah berhenti cuma di Tegal saja.”, sambung Hardi.
Agus Sukoco menanggapi penjelasan Hardi dengan istilah dalam Islam yang disebut kiamat. Dalam Islam, kiamat dimaknai secara fisik sebagai kehancuran, padahal kata itu sendiri berasal dari kata ‘bangkit’ atau ‘kebangkitan’. Dalam khasanah Jawa dikenal ada idiom dari Sunan Kalijaga yaitu ‘urip kue lagi turu,nglilire angger wis mati’ artinya justru kalau kita merasa sedang bangun, merasa ada itu keberadaan kita sesungguhnya di alam mimpi karena kita hakekatnya sedang tidur.
“Soal arah siklusnya adalah innalillahi wa innailaihi raji’un, dari Allah menuju ke Allah, kalau siklusnya dari Allah menuju Allah. Kalau kita pakai perspektif lahiriyah material, maka kalau kita melihat kakek kita, buyut kita, mbah-mbah kita maka itu adalah orang masa lalu. Artinya di belakang kita kalau materi, tetapi ketika memakai perspektif rohani siklus innalillahi wa innailaihi raji’un maka mbah kita yang pernah di alam ini, sudah selesai di alam ini. sedang melanjutkan perjalanan ke Tuhan.Mbah kita sekarang sesungguhnya di depan kita.”, tambah Agus.
Agus menambahkan bahwa ukuran arah tepat yang kita pakai adalah ‘khoerunnas anfauhum linnas’. Ukuran inilah yang menentukan kita berhasil tidaknya menjalani kehidupan ini. Bisa jadi, ibarat sedang mampir ngombe kita malah terlena dan pulang kembali ke arah sebelumnya, ini adalah bentuk bahwa PR kita di dunia ini belum selesai kita kerjakan.
Respon-respon
Banyak sedulur yang hadir ikut merespon diskusi malam hari ini. Bukti keterbukaan forum Maiyah adalah siap menerima respon darimana saja. Ari dari Purwokerto ikut urun pendapat bahwa hidup ini dia ibaratkan seperti mendaki gunung. Ketika mampir untuk beristirahat di pos-pos, kita juga musti menjaga kelestarian tempat dan kebersihannya, karena nanti akan ada orang yang mampir ketempat istirahat itu juga. Togar dari Sokaraja menangkap fenomena bahwa dalam memelihara kesuburan tanah diperlukan waktu 100 tahun, itu merupakan tanda bahwa umur kitapun sangat pendek sehingga dalam memelihara alam tetap tidak ikut menikmatinya sendiri, tapi untuk anak cucu.Nurwahid dari Purwokerto, mempertanyakan kepada forum bagaimana parenting yang baik seandainya orang tua kita sendiri tidak bisa dicontoh secara baik. Yus sedulur dari Purwokerto, menerangkan sedikit tentang skema rabbinas, malikinnas, dan illahinnas dalam surat An Nas. Nurul dari Jakarta, ikut merespon paradigma “Time Is Money”, dengan pengalamannya sewaktu bekerja tidak bisa memberikan waktu yang lebih kepada adiknya, sehingga ia mengganti rasa bersalahnya dengan memberikan hadiah. Ifa dari Purwokerto menanggapi ada beda antara istilah nginum, ngombe, dan medang. Ifa juga berpendapat, bisa jadi kita mampir medang-nya tidak hanya sekali dalam kehidupan panjang ini.
Rizky menanggapi pertanyaan dari Nurwahid, bahwa kita musti belajar bukan hanya secara verbal literal sehingga pelajaran utama bukanlah berbentuk quote tapi sikap yang kita lihat, yang ditampilkan oleh orang tua kita sehari-hari. Kalau kita menemukan orang tua kita tidak berbuat baik, maka itupun menjadi pelajaran untuk kita bahwa itu merupakan hal yang tidak baik.
“Ini nyambung dengan salah satu pesan yang cukup penting menurut saya di Silatnas kemarin dari Mbah Nun dan Syekh Nurshamad Kamba. Bahwasannya ini kalau ditarik lebih luas lagi ya tentang cara belajar kita jangan terjebak verbal litaral gitu ya. Al-Quran adalah Nabi Muhammad yang dituliskan. Nah selama ini kan kita sibuk membuat jargon kembali kepada Quran dan sunnah tapi yang dimaksud kembali pada teks literal Quran dan tidak kembali kepada manusia Al-Quran itu sendiri yaitu akhlaqnya Nabi Muhammad.”, sambung Rizky.
Agus Sukoco menanggapi bahwa dalam khasanah Jawa terkadang berbalik dengan paradigma Barat. Contohnya dalam hal efektifitas waktu. Orang Jawa jaman dahulu menanak nasi begitu lamanya, dimulai dari mencari kayu bakar, membelah kayu, membuat api hingga memasaknya sendiri yang begitu lama. Ini berbeda dengan sikap orang barat, kemudian menemukan penemuan teknologi rice cooker atas nama efektifitas waktu. Tapi orang Jawa dahulu tidak merasa sedang membuang waktu dengan percuma karena didalamnya penuh dengan kesabaran dan kematangan batin. Sedang orang sekarang, menciptakan efektifitas dalam hal apapun hanya untuk sebatas tujuan materiil saja. Kusworo menambahkan bahwa orang Jawa dahulu bisa mengambil banyak hikmah dengan menanak nasi saja, sedangkan orang sekarang bisa sudah melakukan banyak hal, tapi tidak mendapatkan ilmu atau hikmah apapun dalam hidupnya.
Kusworo sedikit menarik kesimpulan dari diskusi forum malam hari ini dengan pernyataan bahwa soal efektifitas waktu, dimana waktu tidak dihargai secara materiil saja, tapi bisa dalam proses sesuatu yang cukup lama kita menarik garis rohani melalui hikmah-hikmahnya. Juga perihal rechecktion, bahwa ketika urip mung mampir ngombe maka kita wajib mengecek arah tujuan kita sudah benar apa belum, apakah kita sudah mengeluarkan kontirbusi sosial dalam hidup sebagai indikator keberhasilan hidup kita.
Juguran Syafaat malam hari ini selesai pukul 03.00 di akhiri dengan sholawat “Ya Rabbibil Musthofa” dan salaman melingkar. [] RedJS