Secara bahasa, sejarah berasal dari kata ‘sajaroh’ yang berarti ‘pohon’. Istilah sejarah selama ini dimaknai secara umum hanya sebatas informasi tentang fakta masa silam. Padahal jika sejarah diartikan pohon, masa silam itu baru mewakili bagian ‘akar’. Sementara pohon sendiri terdiri dari akar, batang, dahan, daun dan buah. Komposisi ke-semuanya itulah disebut ‘sajaroh’. Dengan demikian, sejarah atau sajaroh merupakan formula anatomi tentang kehidupan yang terdiri dari akar masa silam, batang masa kini serta dahan/daun/buah masa depan. Masa kini yang terpenggal dari masa silam tidak akan pernah menghasilkan daun dan buah masa depan, karena batang pohon telah tidak memiliki ketersambungan dengan akar masa silam.
Sebagai sebuah pohon, kebudayaan kita hari ini telah berdiri tidak di atas ketersambungan akar masa silam. Batang pohon peradaban bangsa kita sama sekali bukan lahir dari perspektif otentik dan filosofi orisinal ‘akar’ nilai leluhur sendiri. Maka yang terjadi adalah kerusakan anatomi ‘sajaroh’ yang berimplikasi pada kebimbangan mengelola masa kini sehingga kehilangan presisi dalam memproduk langkah-langkah masa depan .Hampir di setiap ranah dan segmentasi kebudayaan kita menjadi rancu dan distortif. Peradaban yang dikonstruksi dengan landasan nilai yang diproduksi oleh ‘dismanagemen sejarah’ akan membuat umat manusia kehilangan kiblat orientasinya. Indikator ketersesatan kebudayaan manusia modern adalah terjadinya proses sekulerisasi kehidupan. Salah satu out-put dari sekulerisme kebudayaan modern adalah kerancuan dunia pendidikan yang sedang bersama-sama kita selenggarakan.
Tujuan Pendidikan
Dalam islam dikenal tarbiyah. Merupakan bentuk masdar dari kata robba-yurabbi-tarbiyyatan, yang artinya pendidikan. Menurut istilah, tarbiyah adalah suatu tindakan mengasuh dan memelihara serta mendidik. Peran kepengasuhan sesungguhnya merupakan tugas primer yang diamanatkan kepada orang tua atas anak-anaknya. Setiap anak tidak memiliki otoritas untuk memilih dilahirkan dari orang tua siapa. Kedatanganya ke muka bumi melalui mekanisme biologis bernama kelahiran, merupakan hak mutlak Tuhan dalam memilihkan pihak yang menjadi orang tuanya. Dalam konteks ‘tarbiyah’, ketetapan seperti ini mengandung makna bahwa, setiap orang tua adalah ‘guru’ paling tepat bagi kebutuhan ‘kepengasuhan’ anak-anaknya. Siapapun dan bagaimanapun keadaan orang tua kita, mereka adalah pihak yang dipilih oleh Tuhan untuk menjadi ‘pengasuh’ terbaik kita. Setidaknya, tarbiyah di tahap paling awal.
Setiap anak yang lahir adalah manusia baru dengan perjanjiannya masing-masing. Orang tua hanya medium bagi kehadiran ‘manusia baru’ itu di muka bumi. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW mengatakan bahwa, janin di kandungan akan ditiupkan ‘ruh’ di bulan ke empat dengan empat perjanjian otentik mengenai nasib, ajal, amal dan rejeki. Perjanjian otentik itu secara umum adalah sebentuk peran khusus kekholifahan yang sudah ditetapkan sejak sebelum ‘manusia baru’ itu dihadirkan ke dunia. Kemudian di surat An Naml ayat 78 disebutkan, ‘Dan Allah mengeluarkan dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, serta hati agar kamu bersyukur’. Artinya setiap anak atau manusia baru yang lahir itu ‘lupa’ dengan perjanjian otentiknya, sehingga ia harus ‘diingatkan’ kembali tentang siapa dirinya supaya mengerti jenis tugas ke-khalifahanya. Proses mengingatkan kembali itulah dinamakan ‘tarbiyah’. Maka Nabi mengatakan, ‘Man arofa nafsahu faqod arofa rabbahu’, disitu yang dipakai kata rabbahu bukan illahu. Kalau yang dipergunakan adalah kata rabbahu berarti parallel dengan tarbiyah. Jadi tarbiyah, menurut hadist tersebut aksentuasinya adalah ‘pengenalan diri’.
Yang dimaksud dengan pengenalan diri tentu bukan pengetahuan tentang siapa namanya, dimana alamat rumah dan tempat kerjanya. Pengenalan diri sama sekali tidak terutama terkait dengan segala ornament social-budayanya, tetapi pengetahuan mengenai diri esensialnya, jati diri atau diri sejatinya. Lalu bagaimana seharusnya orang tua atau institusi pendidikan menjalankan peran tarbiyahnya?. Karena yang tahu ‘perjanjian otentik’ setiap anak dengan Tuhannya hanya Tuhan sendiri, sementara tidak satu orangpun di dunia ini yang diberi hak untuk ‘mengintip’ catatan rahasia itu, maka kewajiaban orang tua dan sekolah hanya bagaimana menciptakan situasi kondusif bagi setiap anak untuk tumbuh dengan dinamika dan kecenderungan personalitasnya. Bukan malah memenjarakan anak atau manusia baru itu dalam kerangkeng system pendidikan yang mengeneralisir setiap kecenderungan anak dengan kurikulum seragam.
Jika manusia telah mengenali dirinya sendiri, maka ia akan menemukan potensi otentik yang dipinjami Tuhan untuk menjalankan fungsi dan peran ke-khalifahan sesuai dengan perjanjian otentiknya. Tugas orang tua atau sekolah selanjutnya adalah menyediakan ‘ruang tumbuh’ bagi potensi otentik setiap anak untuk berkembang dan menyempurna. Apabila orang tua atau sekolah gagal mengawal dalam proses tarbiyah, maka dampaknya bagi anak adalah ia akan menjadi manusia yang tidak mengerti modal otentiknya dan tidak tahu orientasi hidupnya. Ibarat seseorang yang sesungguhnya dibekali alat berupa Sabit ketika ditugasi kerja bakti di perkebunan, tetapi karena tidak pernah mengenal fungsi Sabit, maka ia akan menggunakan Sabit untuk memotong kayu hanya karena kebanyakan orang yang dilihatnya sedang memotong kayu, padahal orang-orang yang sedang memotong kayu memang mereka membawa alat gergaji. Dan inilah fenomena yang lazim terjadi, pilihan fakultas hanya dimotivasi oleh kecenderungan trend dan peluang ekonomi. Yang lebih aneh lagi adalah orang tua dan sekolah menyelenggarakan jenis ‘ketersesatan’ seperti ini.
Pemantul Hidayah dari Tuhan
Ada semacam proses reduksi dalam kebudayaan modern yang merupakan implikasi dari fenomena sekulerisme. Ilmu adalah hidayah dari Allah SWT. Dan hak prerogratif Allah untuk memberi hidayah. Selama ini yang dimaksud hidayah hanya berlaku dan diterapkan di ranah agama formal, misalnya pada kejadian-kejadian yang menyangkut perilaku moral keagamaan. Ketika ada orang dari gemar berjudi tiba-tiba berubah menjadi rajin sholat, seketika masyarakat akan dengan mudah memaknainya sebagai peristiwa hidayah. Tetapi ketika ada anak dari belum paham 4+4 = 8 kemudian menjadi mengerti setelah belajar matematika, jarang orang menafsiri bahwa pengetahuan tentang matematika juga sebuah fenomena hidayah. Seolah-olah ilmu matematika, biologi, fisika dan lain-lain bukan merupakan ’ilmu’ yang bersumber dari Tuhan. Sikap memisah-misah seperti itu merupakan cara berpikir sekuler, karena menganggap ada hal yang bisa lepas dari keterkaitannya dengan Tuhan.
Tetapi yang harus menjadi perhatian khusus para pelaku pendidikan adalah ketika Tuhan menghadirkan otoritasNya sedemikian mutlak dalam konteks ‘hidayah’. Hal ini bisa kita ketahui melaui FirmanNya surat Al-Zumar(35), ‘ Dan barang siapa disesatkan oleh Allah, maka tidak ada seorangpun yang bisa member petunjuk baginya. Dan barang siapa diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak seorangpun yang bisa menyesatkannya. Bukankah Allah maha perkasa lagi mempunyai kekuasaan untuk mengazhab’. Ada dua sifat Tuhan yang berposisi dialektis dalam konteks ini. Yaitu Tuhan bersikap menyesatkan dan Tuhan berperilaku memberi petunjuk. Fenomena pertama, Tuhan bersikap menyesatkan. Ini tentu berlaku ketika ada suatu sikap, akhlak dan moral serta pola perilaku tertentu yang menciptakan logika untuk disesatkan. Sebaliknya, fenomena berikutnya adalah ketika Tuhan menghendaki untuk memberi petunjuk atau hidayah. Ada suatu kecenderungan dan perilaku tertentu yang membuat seseorang atau sebuah masyarakat berada pada ‘posisi’ dan kondisi yang tepat untuk mendapatkan hidayah dari Tuhan. Dalam konteks ilmu, dua fenomena itu juga berlaku. Artinya, ketika seseorang mendapatkan suatu ilmu, dia berada pada himpitan dua kecenderungan dialektis sifat Tuhan itu. Ilmu yang diperoleh berkemungkinan ‘penyesatan’ dari Tuhan atau sebaliknya, sebuah hidayah. Banyak orang makin menguasai ilmu justru semakin jahat dan destruktif. Ilmu yang merupakan ‘hidayah’ adalah ketika berdampak kepada peningkatan moralitas dan peran konstruktif pemiliknya.
Dari uraian di atas, maka institusi pendidikan, sekolah, pesantren, dan universitas-universitas merupakan tempat bagi anak-anak bangsa menerima hidayah. Peran lembaga pendidikan berada pada suatu kondisi yang ‘rawan’ karena proses transfer ilmu berkemungkinan sebagai petunjuk atau terpeleset menjadi penyesatan. Maka institusi pendidikan harus dibangun di atas logika sikap, akhlak dan moral yang relevan untuk berposisi mendapat hidayah. Ada beberapa factor mendasar dalam membangun moralitas dan akhlak institusi pendidikan yang harus diperhatikan.Pertama ; Jika orang tua merupakan ‘guru’ paling tepat dalam proses ‘tarbiyah, maka institusi pendidikan harus hadir sebagai ‘pengganti’ orang tua yang menjalankan fungsi kepengasuhan lanjutan. Dengan kata lain, hubungan orang tua dan lembaga pendidikan harus dibangun berdasarkan ‘akad’ yang jelas. Akad inilah yang menentukan ‘ke-halal-an’ institusi pendidikan sebagai pengganti orang tua. Kita bisa belajar dari sejarah penyerahan anak dari orang tua kepada kyai di pesantren jaman dulu. Seorang Kyai di pesantren benar-benar menjalankan dan menggantikan peran orang tua. Hampir seluruh hidup sang Kyai di dedikasikan untuk jenis pengabdian kepengasuhan seperti itu. Akad yang dibangun bukan berdasarkan kesepakatan transaksional, tetapi saling rela dan merelakan.Jika serah terima antara orang tua dan lembaga pendidikan masih menyisakan ‘keluhan’ diantara keduanya, maka proses ‘tarbiyah’ menjadi batal nilai. Kedua ; Di surah Yasin ayat 21, Tuhan menginformasikan, ‘ Ikutilah orang yang tidak meminta balasan kepada kalian, mereka adalah orang-orang yang diberi petunjuk’. Dalam konteks pendidikan, ilmu yang bermakna ‘hidayah’ hanya bisa didapatkan dari orang-orang yang tanpa pamrih dalam mengajarkanya. Orang yang ikhlas dalam dunia pendidikan modern sekarang direpresentasikan oleh sebuah institusi. Artinya, institusi pendidkan harus benar-benar setepat mungkin dalam memposisikan diri secara moral sebagai pihak yang menjalankan peran ‘kepengasuhan’, agar seluruh proses belajar-mengajar berlangsung sebagai sebuah peristiwa ‘transfer’ hidayah. Karena kegagalan membangun ketepatan pola perilaku dan logika akhlak, institusi pendidikan akan kehilangan ‘presisi’ dalam merespon dialektika dua sifat Tuhan, Al mudzil dan Al Haadi. Sehingga lembaga pendidikan hanya akan memproduk ‘calon-calon’ pelaku destruksi kehidupan. Dengan kata lain, seluruh proses belajar-mengajar akan kehilangan ‘substansi’ tarbiyah, karena yang terjadi berkemungkinan perwujudan fenomena Tuhan sebagai Al Mudzil.
Institusi pendidikan harus memulai berbenah diri dengan cara menciptakan kultur masjid di dalam seluruh aktifitas pembelajarannya. Hubungan orang tua, murid, dan sekolah dikontruksi sedemikian rupa sebagaimana hubungan antara warga dan masjid. Seluruh kebutuhan operasional peribadatan di masjid diurus oleh takmir masjid dengan cara merundingkanya secara transparan dengan warga. Sehingga meskipun secara financial warga ‘wajib’ berkontribusi tetapi tdak sedang dalam rangka ‘membayar’ ketika akan sholat. Diantara warga dan masjid terbangun hubungan moral, bukan transaksional. Demikian seharusnya sekolah atau institusi pendidikan dalam membangun hubungan dengan masyarakat. Jika masyarakat masih mengalami ‘kecemasan’ ketika akan menyekolahkan anak-anaknya ,karena terancam oleh ‘tarif’ pendidikan, maka lembaga pendidikan belum merepresentasikan diri sebagai ‘orang yang tanpa meminta balasan’ sebagaimana disebutkan dalam surat yasin ayat 21 di atas.
Manusia Seutuhnya
Di lembaga pendidikan paling transaksional dan atheis-pun, orang bisa belajar ilmu biologi, fisika, matematika, kedokteran dan segala jenis ilmu yang kesemuanya itu hakekatnya bersumber dari Tuhan. Tetapi seluruh ilmunya tidak akan menjadi ;tharekat’ kehidupannya. Ilmu yang merupakan fenomena hidayah akan menjadikan para ‘pemiliknya’ menjadi manusia seutuhnya. Manusia yang dengan ilmu yang dikuasainya itu menemukan ‘jati dirinya’. Seorang dokter yang ilmu kedokteranya merupakan hidayah, akan menemukan kenikmatan berjumpa dengan ‘kebenaran dan kebesaran Tuhan’ ketika bisa menyembuhkan orang. Dokter yang menjadikan ilmunya sebagai ‘tharekat’ hidupnya, maka kesembuhan pasien adalah fenomena menakjubkan bagi penglihatan batin dan intelektualnya. Sehingga kesadaran pribadinya akan dipenuhi oleh energy dan semangat menolong orang lain, karena ia merasa berjumpa Tuhan ketika sedang mempraktikan ilmunya. Sebaliknya, jika ilmu kedokteranya merupakan fenomena ‘idzlal’, maka ia hanya akan menjadi ‘pemeras’ yang oportunistis, sakitnya orang lain akan dianggap ‘jalan’ dan kesempatan untuk memperkaya diri. Kondisi dan kualitas manusia sangat dipengaruhi oleh seluruh proses ‘tarbiyahnya’. Ketika proses belajar-mengajar ‘me-negasi-kan’ faktor-faktor spiritualitas, maka pembelajaran telah kehilangan ‘esensi’ tarbiyah. [] Agus Sukoco