Tumpeng Rasa Syukur
Tepat pukul 21.00 acara Juguran Syafaat dimulai. Para sedulur yang hadir sudah mulai menempati acara, meskipun hujan gerimis sepanjang sore hingga malam, para sedulur tetap setia untuk mau datang ke Pendopo Wakil Bupati Banyumas. Acara Juguran Syafaat dimulai dengan membaca surat Yassin secara tartil terpimpin oleh Kukuh. Setelah itu disambung dengan wirid Padhang mBulan bersama-sama. Rifangi kemudian memandu sedulur untuk melantunkan shalawat Badar diiringi pemusik dari sedulur Purbalingga.
Kusworo membuka acara sesi berikutnya dengan menceritakan bahwa Juguran Syafaat kali ini lebih banyak akan syukuran karena seminggu yang lalu diberi kelancaran mbarang nggawe Silaturahmi Penggiat Maiyah 2014 di Baturraden. Kukuh menyambung dengan mengenalkan personel tim pemusik Juguran Syafaat yang tampil malam hari ini. Kemudian Rifangi membawakan nomor musik “Alhamdulillah wa Syukrulillah”.
Tumpeng yang sedari tadi ada ditengah-tengah sedulur yang hadir kemudian dipersilakan untuk dinikmati bersama. Anggi selaku ketua panitia acara Silaturahmi Penggiat Maiyah 2014 kemarin, mengawali memotong tumpeng diikuti sedulur yang lain. Semua menikmati kebersamaan dan rasa syukur ini sembari menikmati beberapa nomor yang dipersembahkan oleh para pemusik.
Kusworo, sebagai moderator, menceritakan proses penyelenggaraan Silaturahmi Penggiat Maiyah 2014 kemarin di Baturraden. Silaturahmi ini dihadiri simpul-simpul Maiyah se-Nusantara yang masing-masing mempunyai karakteristik yang otentik. Ada forum diskusi intelektual yang kental, ada forum seni budaya, ada forum sholawatan, hingga forum khusus wiridan.
Rifangi memandu sholawat “Ya Nabi” diiringi musik dari sedulur Purbalingga. Agus Sukoco menyambung dengan membawakan cerita sahabat nabi yaitu Ukasyah, yang meminta memeluk nabi sebelum nabi wafat. Rifangi melanjutkan dengan lantunan sholawat “Rabbibil Musthofa”.
Rizky bercerita bahwa di dalam Maiyah, kita disadarkan bahwa kita tidak sedang bersholawat/ menyapa kepada orang yang sudah meninggal (red : Kanjeng Nabi), tapi orang yang hidup yang berbeda dengan hidup yang kita ketahui sebagaimana kita hidup.
“Hidup ini bisa kita ibaratkan hidup kita sekarang di dimensi ketiga. Kalau dalam sekolah ya SD. Maka kita akan susah memahami yang sudah berada didimensi kelima, SMA. Bahkan yang sudah kuliah. Maka yang kita bisa lakukan adalah, merubah konsep di pikiran saja bahwa Nabi Muhammad itu tidak meninggal, tapi hidup. Walaupun mungkin kita belum punya penjelasan ilmiahnya karena kita masih SD.”, tambah Rizky.
Rizky bercerita tentang diskusinya dengan orang atheis, dimana bagi mereka mempercayai bahwa yang namanya Muhammad adalah yang terpuji dalam diri kita. Mereka begitu mudah menemukan Muhammad dalam hidupnya, begitu menemukan yang terpuji, maka disitulah Muhammad hadir.
Rifangi membagi pengalamannya kemarin ziarah ke Sentono Arum, Menturo, makam dari Keluarga Cak Nun di Jombang dan bisa bergabung ke forum Padhang mBulan, Jombang.
“Kita sering menganggap bahwa kalau kita hidup itu kita bisa melihat hanya yang bisa kita lihat dengan indera mata. Tetapi manusia oleh Tuhan dianugerahi berbagai macam indera. Sayangnya manusia memanfaatkan 5 saja. Hidup kalau parameternya hanya mata, hanya jasad, jadi hanya apa yang kita lihat saja. Sementara sebenarnya hidup itu sendiri adalah ketika kita masih ada dalam kesadaran. Kalau parameter hidup kita adalah mata, kalau anda punya saudara di Jakarta, berarti dia sudah mati. Karena tidak terlihat oleh mata. Tetapi kenapa masih dianggap hidup, karena ada dalam kesadaran kita. “, tambah Rifangi.
Hadiwijaya, salah satu orang sepuh di Juguran Syafaat, memberikan pandangan tentang penjelasan hidup dengan falsafah huruf jawa Hanacaraka.
“Dalam wayang, diceritakan para ksatria perang kembang melawan 4 buta. Yaitu buta terong, buta rambut geni, buta cakil dan buta galiuk. Ini adalah sebuah bentuk ibarat manusia mengendalikan 4 hawa nafsunya sendiri, yaitu amarah, supiah, lawamah dan mutmainah.”, ujar Hadiwijaya.
Hadiwijaya menceritakan tentang proses melukisnya sejak tahun 70an di Jogja. Hadiwijaya membersamai proses dengan Cak Nun hanya saja di bidang yang berbeda, Cak Nun di sastra dan teater sedangkan Hadiwijaya di seni rupa. Cak Nun dikenal sebagai pribadi yang setia kawan dan sangat menghargai persahabatan.
Satu nomor dari Toto dan sedulur Purbalingga, yaitu Lingkaran Aku Cinta Padamu, sebuah lagu yang dipopulerkan oleh Iwan Fals.
Yang Wajib, Yang Mewajibkan
Rizky menjelaskan menjelaskan tentang tema Kewajiban Asasi Manusia. Ini adalah pintu yang pernah di buka oleh Cak Nun beberapa waktu yang lalu. Jika setiap yang ada di bumi ini diciptakan berpasang-pasangan, ada gelap ada terang, ada siang ada malam, ada panas ada dingin, maka hak asasi manusia pun berpasangan dengan kewajiban asasi manusia. Ini yang selama ini tidak pernah kita bahas.
“Malam ini kita akan ngudari satu-satu, dibalik maksud kita diwajibkan itu sebenarnya apa sih? Jangan-jangan kita diwajib-wajibkan untuk hal yang tidak perlu. Misalnya, dua hari yang lalu itu ada hari belanja online nasional. Ini yang mencanangkan sebenarnya adalah salah satu toko online besar di indonesia. Ini tujuannya jelas, agar di hari itu orang lebih memilih belanja online daripada beli di toko.”, tambah Rizky.
“Nah terkait tadi, kalau mas Rifangi tadi menyebutkan bahwa kita hanya mempercayai lima indera dalam diri kita, maka yang aktif hanya lima. Yang lain dianggap tidak ada, maka tidak aktif. Kalau anda tidur, kita mimpi, itu mata terpejam, kalau selama ini kita meyakini bahwa alat untuk melihat hanya mata, maka pada saat kita tidur, mata kita terpejam tetapi didalam mimpi kita bisa melihat dengan jelas dengan detail warna. Dengan apa kita melihat? Pasti tidak dengan mata. Ini adalah petunjuk bahwa kita memiliki indera yag lain, tetapi kita tidak pernah kita cari.”, Agus mengawali.
“Manusia itu ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Jadi Tuhan bikintengu, bikin srondol, bikin cacing, bikin jin sampai malaikat, itu sebenarnya puncak karya Allah, masterpiece, aksani takwin ya manusia. Tidak ada yang lebih dari itu. Ini karya puncak dari kemahabesaran Tuhan. Sampai Tuhan menyuruh malaikat pada saat itu untuk sujud.”, Agus Sukoco menambahkan.
“Jadi kalau Pak Hadi bikin lukisan, merasa hasil lukisannya sudah bagus, itu kita lihat-lihat terus. Kita puji karya kita sendiri, kita kagumi karya kita sendiri. Sampai kita panggil teman-teman untuk membuktikan bahwa karya kita memang bagus. Lah, ketika Tuhan bikin manusia, kemudian di Quran disebut, malaikat disuruh untuk bersujud, itu artinya ketika Tuhan bikin karya manusia, itu Tuhan sedang mengagumi karyanya sendiri, itu bukan kagum dengan manusianya, tetapi kagum dengan Dirinya sendiri, karena kemahabesarannya. Sampai memanggil malaikat diminta untuk mengakui kebesaranNya.”, sambung Agus.
“Selama ini yang disebut sujud, karena cara pandang kita materalis, yang disebut sujud itu ketika badan kita terbungkuk. Esensi sujud itu tidak harus dalam peristiwa fisik, tetapi itu peristiwa kekaguman, apresisasi para malaikat, ketika melihat Allah bikin karya terbaikNya yaitu manusia. Nah, dari karya masterpiecetiba-tiba menjadi sekarang. Disogok mau, bernafsu buruk, gampang kepenginan, ini saya kira tidak seperti ini.Kenapa karya terbaik kok yang terjadi realitasnya seperti sekarang? Pasti ada yang salah.Ada sesuatu yang mengurung kita, sehingga kita tidak bisa keluar dari kurungan itu, sehingga potensi-potensi yang luar biasa dari karya Allah yang masterpiece ini tidak terjadi. Apa yang mengurung tadi? Mari kita cari bersama.”, tambah Agus.
Rohman dari Purwokerto merespon tentang penjelasan sholawat bahwa dalam lafal bahasanya “Assalamu’alaika”, ‘alaika ini adalah bentuk bahasa dimana digunakan untuk “kepadamu yang dihadapanku”. Terkait dengan tema, menurut Rohman, manusia sudah ditugasi sebagai kholifah di bumi dalam bentuk pengabdiannya kepada Allah.
“Kalau orang mendengar kata kewajiban itu pasti yang terlintas itu adalah beban. Misalnya, kewajiban untuk sekolah. Maunya sewaktu kecil ya kita main terus, tapi orang tua bilang kalau ndak sekolah nanti susah kerja. Lalu, betulkah kewajiban itu adalah beban? Ini yang harus kita meredefinisi. Kewajiban akan menjadi beban, kalau kita belum nyambung dengan siapa yang mewajibkan kita. Kita masih prosedural, hanya melaksanakan yang diwajibkan, tetapi tidak nyambung ke yang mewajibkan.”, sambung Rizky.
“Tema kali ini adalah bentuk sinisme dari keadaan yang tidak primer, namun dianggap primer. Misalnya, ada ukuran-ukuran yang dibangun yang kemudian kita terikat oleh ukuran itu, dan merasa wajib. Nah merasa wajib. Karena kalau tidak melakukan, karena sudah terbangun ukuran maka dianggap ketinggalan jaman, tersisih dari pergaulan. Nah, ada yang membikin ukuran. Yang membikin ukuran inilah yang mngurung kita dengan banyak hal yang tercipta dari ukuran-ukuran yang mereka punya kepentingan. Sehingga menggeser pemahaman kita, mana yang sesungguhnya wajib.”, tambah Agus.
“Nah kita tidak pernah mencurigai hal ini. Sampai hal yang kelihatannya ilmiah, 4 sehat 5 sempurna, tidur harus 8 jam. Ini siapa yang mewajibkan, dan kita terus saja percaya, dan tidak pernah mencurigai bahwa semua dibangun untuk mengurung kita sehingga kita menjadi kerdil, tidak sesuai dengan yang dimaksut tuhan dengan menciptakan potensi-potensi luar biasa yang diciptakan pada diri manusia.”, kata Agus.
Agus kemudian menganalogikan kewajiban beribadah kita kepada Tuhan seperti kita numpang di rumah orang, pekewuh dan kemudian ikut bersih-bersih dirumah tersebut. Maka kemudian yang punya rumah pasti melihat kita rajin dan tidak akan menelantarkan kita dirumahnya. Sama seperti kita numpang di rumah Tuhan, dan bentuk pekewuh kita adalah beribadah kepadaNya.Ibadah adalah ketika kita menjalani kewajiban keniscayaan sebagai penumpang di rumah Tuhan, di bumi ini.
“Asalkan kita menjalani kewajiban dari rasa pekewuh kita, maka hidup sudah ada yang memikirkan. Kita hidup harus dengan kesadaran menumpang saja. Kita menjalani sesuatu yang kira-kira membuat Tuhan senang sebagai tuan rumah kita. Nanti kita menemukan kejutan-kejutan dalam hidup yang tidak terbayangkan sebelumnya”, tambah Agus.
Fikry yang kemarin baru melanglang buana dari Pulau Kalimantan dalam rangka bekerja, menceritakan pengalamannya disana. Menurut Fikry, Indonesia yang sebenarnya ada di Kalimantan dimana harga BBM sudah melambung tinggi, tapi rakyatnya tidak pernah sibuk meributkan hal ini.
“Bagi orang Kalimantan, ketika kita minta tolong, maka bentuk kewajiban mereka adalah menolong kita tanpa pamrih. Bahkan jika diberi bayaran, mereka malah marah dan tersinggung. Ini adalah salah satu kewajiban asasi manusia. Dalam diri mereka masih mempunyai harga diri dan rasa kemanusiaan yang dalam. “, sambung Fikry.
Agus menyambung dengan membuat analogi dimana ada seorang gadis cantik bertahi lalat. Bagi Agus, tahi lalat adalah sebuah ornamen yang dibuat Tuhan untuk menyempurnakan kecantikan si gadis itu. Begitupun juga dunia. Dunia adalah tahi lalat yang dijadikan ornamen penyempurna di wajah keagungan Tuhan.
“Kalau kita memiliki jarak pandang yang tepat, maka ketika melihat tahi lalat akan menjadi penyempurna keindahan. Tetapi kalau melihatnya terlalu dekat, maka yang terlihat tahi lalatnya saja, bukan kecantikannya secara utuh.”, ujar Agus.
Agus menceritakan pengalamannya mendapatkan rokok ditengah malam, dimana warung sudah tutup dan kemudian ada orang lewat di depan rumah memberikan rokok kepadanya. Bagi Agus yang nikmat itu bukan sekedar rokok yang ia hisap, tapi siapa yang secara tepat menciptakan skenario luar biasa, sehingga setelah makan pada tengah malam, dia kehabisan rokok, dan ada orang lewat di depan rumah memberikan rokok secara cuma-cuma. Orang mendapatkan uang besar bisa jadi tidak meemukan keindahan hidup, kenikmatan hidup, karena mereka berhenti dimaterinya. Kalau mereka memahami dan menemukan siapa yang menskenario sebatang rokok yang datang di tengah malam, itu bisa lebih nyaman daripada uang milyaran rupiah.
Rifangi mempersembahkan nomor sholawat “Ya Imamar Rusli” sebagai jeda antar diskusi.
Mugi dari Banjarnegara merespondiskusi sebelumnya dengan penjelasan pentingnya mendefinisikan diri kita sebelum kita mendefinisikan kewajiban manusia. Ada tingkatan manusia dari abdi hingga ke khalifah yang perlu kita gali lagi, perlu kita maknai ulang.
Refleksi Silaturahmi Penggiat Maiyah 2014
Rizky menjelaskanbahwa konsep penyelenggaraan Silaturahmi Penggiat Maiyah 2014 kemarin adalah bentuk mbaranggawe dalam khasanah Jawa. Dimana semua orang justru malah ingin ikut membantu entah itu masang tratag, melayani tamu, membersihkan piring, dan lain sebagainya. Rizky mengapresiasi tim dapur yang sudah bekerja sangat maksimal hingga zero delay.
“Indonesia itu tidak punya akar kebangsaan, yang punya akar kebangsaan itu Jawa, Dayak, Batak, Ambon. Maka carilah akarnya. Yang kita anggap suku itu adalah bangsa. Yang namanya Indonesia sekarang sudah terkontaminasi oleh kewajiban-kewajiban dunia, seperti menandatangani masyarakat ekonomi asean, dll. Sedangkan Jawa, Dayak, Sunda, tidak menandatangai apapun. Mereka masih otentik.”, tambah Rizky.
Agus juga mengapresiasi tim dapur yang bekerja sangat maksimal. Agus mengaku belajar tentang Tuhan dari mereka yang bekerja sepenuh hati tanpa bayaran. Keimanan seseorang kepada Tuhan tercermin pada bagaimana perilaku sosialnya.
“Momen Silaturahmi Penggiat Maiyah 2014 kemarin mungkin tidak menghasilkan aturan baku, atau fatwa-fatwa khusus, tapi semua simpul se-Indonesia kumpul, hati mereka satu dengan yang lain menjadi lebih dekat, ada energi yang mempersatukan, mereka pulang ke tempat masing-masing membawa sesuatu yang tidak nampak, tapi sangat jelas dan hakekatnya lebih nyata rasa bahagia sekaligus haru.”, tambah Kusworo.
Malam hari ini penuh dengan sukacita berbagi pengalaman Silaturahmi Penggiat Maiyah 2014 kemarin dengan berbagai macam cerita, seperti ada yang menjadi ojek payung, ada yang baru pertama kali ke hotel, ada yang menyuguhi tamu pada dini hari dengan es buah, dan lain sebagainya. Para sedulur yang hadir menyambut dengan gelak tawa beberapa pengalaman cukup unik sedulur lainnya.
Sesi berikutnya adalah ungkapan sukacita dari sedulur-sedulur semua berupa beberapa persembahan nomor musik. Sebuah nomor duet dari Toto dan Meta dipersembahkan bersama, satu nomor lagu yang baru saja diciptakan lirik dan aransemennya oleh Agus Sukoco. Ujang dengan tim pemusik sedulur Purbalingga menyumbangkan nomor “Neng Ndunyo Piro Suwene”. Hilmy tak kalah saing, ikut mempersembahkan nomor dari Letto yaitu “Sebelum Cahaya”. Kukuh juga menambahkan satu nomor dari Letto lagi, yaitu “Sampai Mati Sampai Nanti”. Slamet, salah satu orang yang disepuhkan di Juguran Syafaat, merampungi sesi ini dengan nomor melayu “Renungkanlah”.
Nol Saham, Nol Hak
Kusworo membuka sesi diskusi kembali dengan mempersilakan sedulur yang lain membagi pengalaman. Mamat dari Cilacap, menerangkan bahwa Allah bahkan memberikan hak terlebih dahulu kepada manusia, baru meminta kewajibannya. Ini seperti Allah meniupkan Ruh kepada manusia, sebagai bentuk hak. Baru meminta manusia mengabdi kepadanya, sebagai bentuk kewajiban. Ada dua kewajiban manusia, menurut Mamat, yaitu pertama kewajiban menemukan dirinya sendiri yang kedua adalah kewajiban mendeskripsikan Tuhan di alam kehidupan.
Agus merespon pernyataan Mamat dengan memberikan penjelasan ulang, apa itu hak apa itu kewajiban. Dalam hubungan kita dengan pemerintah terdapat hubungan hak dan kewajiban. Kewajiban kita membayar pajak, menjadi warga yang patuh, sedangkan hak kita dari pemerintah adalah mendapat perlindungan, kesejahteraan, dan sebagainya.
“Hubungan kita dengan Tuhan, di dalam diri kita itu tidak terdapat hak. Kalau Tuhan memberi, itu adalah anugerah. Bukan karena kita berhak mendapatkan. Dihdapan Tuhan kita tidak punya hak. Kenapa? Karena orang yang punya hak, dia mempunyai saham disitu. Terdapat kehidupan, bahkan terhadap diri kita, kita tidak mempunyai hak, tidak mempunyai saham apa-apa. Sehelai rambutpun kita tidak punya saham didalam diri kita. Maka semua yang kita terima, itu bukan karena kita memang berhak menerima, tetapi karena Tuhan cinta kepada kita, maka Tuhan menganugerahi kepada kita.”, respon Agus.
“Karena Tuhan mencintai dan kita dianugerahi, maka Tuhan baru menuntut timbal balik dari anugerah itu dengan jawaban cinta kita. Dengan perilaku perilaku yang sesungguhnya tidak menguntungkan tuhan. Kalau kita disuruh sholat bukan karena Tuhan butuh disembah, dikira Tuhan gila sembah, gila hormat. Tuhan tidak demikian. Sholat saja bagi kita, kalau kita pahami sebagai kewajiban maka harus kita tingkatkan bahwa itu adalah kewajiban yang tidak kita maknai seperti kewajiban sekarang yang kita maknai. Itu adalah bentuk pemberian. Sholat itu menguntungkan kita. Kalau kita disuruh sholat, maka kita diberi Tuhan.”, tambah Agus.
Agus menambahkan kalau manusia merasa terbebani oleh perintah-perintah Tuhan itu karena dia tidak memahami bahasa dan irama cinta dari Tuhan yang tiap hari kita lupa dan kita tidak bisa merasakan. Bahkan karena kita kadung memiliki pamrih-pamrih dalam hidup.
Kasito, dari Banyumas merespon bahwa sistem pendidikan kita saat ini justru mewajibkan ke murid-muridnya untuk menghafalkan doa terlebih dahulu, bukan mengenal Tuhan terlebih dahulu. Rizky menggarisbawahi bahwa dalam Maiyah ini merubah beragama yang prosedural menjadi beragama yang substansial. Yaitu merubah cara pandang yang terbalik, contohnya kewajiban beribadah yang sebelumnya menjadi beban, tetapi kita balik menjadi sebuah cinta kasih.
Anggi yang kemarin menjadi Ketua Panita Silaturahmi Penggiat Maiyah 2014, membagi pengalamannya dalam menyatukan persepsi dan kerjasama antara sedulur Purwokerto dengan sedulur purbalingga dalam satu lingkaran kerja yang solid.
Menurut Rizky, kewajiban yang paling asasi dari manusia adalah ketika manusia ikut mengagumi masterpiece ciptaan Tuhan. Sedangkan yang terjadi saat ini adalah, manusia justru menghina-hinakan dirinya sendiri, dan ikut-ikutan menjadi iblis yang diperankan Tuhan untuk tidak ikut mengagumi masterpiece-Nya.
Tepat pukul 02.00 WIB dini hari, Juguran Syafaat diakhiri dengan nomor lagu “Istighfar”, dan dilanjutkan salam-salaman melingkar semua sedulur yang hadir.[] HilmyNugraha