Kehidupan sudah digelar satu miliar tahun, merupakan sebuah waktu yang tidak pendek. Begitu pula perjalanan orang mencari Tuhan, telah menempuh waktu yang tidak pendek pula. Pada zaman dahulu, leluhur yang telah mati diyakini keberadaan arwahnya. Interaksi dengan arwah leluhur itu, menjadi pintu pencarian akan Tuhan. Sebagian terburu-buru berhenti mencari, sehingga arwah leluhur ia sangka sebagai Sang Tuhan. Maka lahirlah animisme.
Selain dengan arwah, manusia di masa lampau juga berinteraksi dengan benda-benda. Batu-batu, tumbuh-tumbuhan, gunung, awan hingga rembulan. Interaksi dengan benda-benda dijadikan pintu pencarian untuk menemukan Tuhan. Sebagian terburu-buru berhenti sebelum menemukan, sehingga benda-benda di alam disangka Tuhan. Begitulah dinamisme dikenal.
Jebakan pola berpikir yang menggeneralisir, membuat pengetahuan kita tentang animisme dan dinamisme tidak menyisakan khusnudzon kepada orang-orang yang berinteraksi dengan makam leluhur dan dengan alam bahwa mereka tidak sedang mempertuhankan keduanya. Bagaimana mungkin para leluhur yang memiliki modalitas ilmu kesehatan, yang tekun berinteraksi dengan aneka rupa pohon dalam rangka menemukan kandungan khasiat pengobatan didalamnya kemudian kita zuudzon-i sedang menyembah dan mempertuhankan pohon? Bagaimana mungkin pula kita menuduh hal yang sama kepada manusia mulia bapak para nabi, karena ia menyangkai rembulan dan matahari sebagai Tuhan dalam proses pencariannya?
Kemudian mesin cetak ditemukan, budaya literasi teks berkembang pesat sesudahnya. Proses pencarian Tuhan kemudian tersaji dalam banyak tulisan dan buku. Mulai dari hal ihwal makrifat yang sangat halus hingga hal ihwal syariat yang wadag. Sebagaimana perjalanan orang menuju Tuhan melalui leluhur dan melalui benda-benda, teks tulisan dan buku juga menjadi kendaraan yang bisa digunakan untuk proses pencarian Tuhan.
Teks literatur tidak salah untuk kita jadikan kendaraan dalam perjalanan kita mencari Tuhan, asalkan kita tidak berhenti berjalan. Karena kalau kita berhenti berjalan, jadilah kita pemuja teks, sepertihalnya yang kita tuduhkan kepada nenek moyang dengan tuduhan penyembah leluhur atau animisme dan penyembah benda-benda atau dinamisme. Daripada kita sibuk menuduh nenek moyang, lebih baik kita mencoba-cobai menuduh-nuduh diri sendiri, jangan-jangan malah kita yang litererisme.
Tanda-tanda litererisme terlihat pada ketidakmampuan orang untuk empan papan dalam memperlakukan teks literatur. Berhenti pada huruf, tidak melanjutkan pada arti. Berhenti pada arti, tidak merelung ke dalam makna. Berhenti pada makna, tidak mengindahkan nuansa. Berhenti pada nuansa, tidak hirau pada aksentuasi. Dan seterusnya. Dalil dan sumber bacaan sebagai produk bisa kita analogikan sebagai nasi. Jangan merasa khatam dulu kalau baru mengenal nasi, kita harus belajar beras. Belajar beras saja tidak cukup, kita harus mengerti gabah. Jangan berhenti di gabah, kita harus mengerti padi. Mengerti padi saja belum selesai, kita harus memahami bibit.
Kalau kita memahami ini, kita tidak akan arogan merasa sudah mengenal Nabi Muhammad hanya karena sudah hafal dalil-dalil. Di kedalaman ucapan beliau ada perangai, didalam perangai ada sifat, didalam sifat ada cahaya. Literatur teks mampu menyajikan perkataan beliau, atau sedikit gambaran perangai beliau, tapi apakah mampu mengantarkan sifat dan cahaya Muhammad kepada kita? Bagaimana kita bisa membangun diri, kalau pembelajaran kita berhenti pada produk, tidak sampai ke bibit? Bagaimana ketinggian derajat bisa kita raih, kalau kita sebatas mengulik kulit, tidak sampai ke kedalaman isi.
Rasa-rasanya kita harus berpikir ulang, untuk tidak hanya melulu mengedepankan kecerdasan linguistik-literalistik agar anak cucu generasi mendatang tidak menuduh kita penganut aliran litererisme, sebagaimana kita menuduh nenek moyang di generasi dahulu sebagai penganut animisme dan dinamisme. Masih ada tujuh jenis kecerdasan lain yang saat ini dikesampingkan oleh peradaban, bahkan diantipatii, yakni kecerdasan interpersonal, intrapersonal, naturalis, spasial, logikal, musikal dan kinestetik.[] RizkyDwiR/RedJS