Gegap gempita copras-capres di negeri ini makin riuh saja. Para ahli memprediksi, perhelatan perebutan kursi RI 1 kali ini akan lebih ramai dibanding pilpres-pilpres terdahulu. Wajar saja lebih ramai, karena di tengah masyarakat yang telah mengalami percepatan kecerdasan demikian pesat ini, para capres dituntut untuk lebih atraktif dan akrobatik lagi berlaga di panggung pilpres kali ini.
Terlebih nama-nama yang bercokol saat ini, belum ada yang bisa menampilkan diri sebagai lakon panggung yang sinisihan wahyu yang sedang dinanti-nantikan masyarakat. Bukannya mereka tampil menyodorkan diri sebagai manusia setengah dewa, tetapi malah sibuk menyembunyikan setengah denawa sisi kelam mereka masing-masing.
Dua nama besar digadang-gadang akan menjadi winner dan runner up dalam pertandingan yang akan menentukan nasib 270 juta rakyat bangsa ini. Prabowo dan Jokowi. Prabowo sang mantan petinggi angkatan bersenjata ini gagah, membawa misi mengembalikan Indonesia sebagai Macan Asia. Jokowi sang gubernur ini melenggang maju dengan santun membawa misi “blusukan”. Tidak juga bisa mereka melenggang mulus karena Prabowo tersandera berbagai kasus pelanggaran HAM saat ia menjabat semasa orde baru dahulu. Sedangkan Jokowi terantuk-antuk batu sandungan belum kelarnya tugas amanat jabatan gubernur yang ia emban.
Jokowi adalah anak emas media, semasa menjadi walikota Solo, kemudian upgrade menjadi Gubernur DKI Jakarta, rasa-rasanya tidak ada birokrat yang tidak pernah libur masuk berita seharipun selain Jokowi. Namun situasi berubah ketika Ibunda ketum perpolnya Jokowi mendeklarasikan JKW4P. Deklarasi pencapresan Jokowi yang berarti pula pengkhianatan perjanjian Batu Tulis dengan partainya Prabowo.
Setelah itu, Jokowi sepi dari pemberitaan. Sampai selang beberapa waktu, Jokowi kembali ramai, ramai dalam bentuk yang lain : negative campaigne. Topik kegagalan memerintah, inferioritas, pencitraan, kebohongan publik hingga masalah etnis SARA menjadi suguhan yang cukup mengenyangkan publik. Lantas betulkah isu-isu negatif itu, silahkan yang penasaran mencari tahu sendiri pada sumber yang valid. Kalau tidak mau susah payah menelusur mencari tahu, sebaiknya tidak usah terlalu diambil hati agar tidak sampai membuat sakit hati. Lebih baik pikiran digunakan untuk ngebulnya dapur, tidak usah dipaksakan menonton panggung politik, kalau memang itu tidak menarik untuk ditonton.
Berbeda dengan Prabowo, bertahun-tahun mulai dari saat ancang-ancang menjadi capres, hingga masa kampanye Pileg, jarang muncul di media. Bak macan, ia muncul bersamaan dengan siulan burung elang dalam setiap iklan partainya untuk mengucapkan selamat hari ini dan itu. Amat disayangkan, walaupun segagah macan, ia tidak bisa lantang mengaum menyampaikan sendiri bahwa dirinya tidak punya sisi kelam masa lalu kok. Bisanya hanya diam, tidak pernah bisa membuktikan kalau “saya ini bersih kok”, “duduk persoalan penculikan di masa lalu itu begini dan begitu. Saya tidak ikut-ikutan”, begitu misalnya.
Malahan si macan itu mencari-cari tokoh yang bisa ia jadikan tameng. Beberapa waktu yang lalu beredar poster Cak Nun, yang sebuah fotonya saat sedang berpidato dicatut untuk dijadikan tameng oleh sang macan. Foto Cak Nun dicatut digabungkan dengan penggalan kalimat yang pernah Cak Nun ucapkan yang pemenggalan kalimat itu dibuat sedemikian rupa sehingga pembaca akan berkesimpulan bahwa Cak Nun membela Prabowo karena ia tidak punya kaitan dengan isu kelam penculikan di masa lalu. Kebohongan publik murahan yang pantasnya dilakukan oleh tikus atau marmut saja, bukan oleh macan.
Pembuat poster dan banner bergambar Cak Nun bertuliskan quote pembelaan atas Prabowo yang pemenggalan kalimatnya serba dipaksakan itu tidak berpikir bahwa itu hanyalah langkah suksesi yang sia-sia. Kalaupun mampu mendongkrak suara, berapa banyak sih suara yang bisa terdongkrak? Kalau metode pencatutan kalimat ini dipakai sepuluh tahun yang lalu mungkin masih ampuh, tapi kali ini masyarakat sudah terlalu cerdas untuk memilah informasi.
Maka, ini bulan Mei, bulannya tragedi kemanusiaan 1998. Dimana-mana beredar tagar #MenolakLupa. Sayapun memilih untuk menolak lupa, dan mengajak pembaca sekalian untuk regresi ke masa lalu, menilik kembali arsip-arsip tragedi kemanusiaan, Tragedi 1998, Hilangnya Widji Tukul dan para aktivis, Tragedi Tanjung Priok dan lain-lain.
Melalui tulisan ini, saya ingin mengajak pembaca sekalian mencerdasi fenomena pencapresan, mulai dari mengamati fenomena pemberitaan terhadap dua nama besar di atas. Mana yang lebih baik diantara dua nama besar Capres itu bukanlah urusan saya. Yang menjadi kerisauan saya adalah, kenapa berita negatif tentang pencitraan, tentang inferioritas, tentang etnis begitu sexy dibahas, begitu asyik digelindingkan menjadi bola salju. Sementara adem ayem saja tidak pernah mengapung dipermukakan berita negatif tentang penculikan dan pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan. Bahkan ketika memasuki bulan peringatan tragedi Mei 1998 kali ini sekalipun. Ada apa dibalik tidak berimbangnya pemberitaan media? Tidakkah merasa janggal bahwa hal itu berarti sedang ada hal tertentu yang sedang ditonjol-tonjolkan dan hal lain yang sedang disembunyikan. Mari kita ilmui dan cerdasi bersama.
Karena bagi saya aneh kalau topik pencitraan itu lebih enak dipergunjingkan, daripada topik tentang penculikan. [] Rizky/RedJS