Ibu Kandung Anak-Anak Nusantara

Langkah kaki kebangsaan kalang kabut
Menerobos udara yang mengering
Arus waktu mengalir di jalan darah sejarah yang terbuntu
Bau keringat peradaban meracuni paru-paru kehidupan
Jiwa-jiwa retak ditabrak mimpi buruk yang lahir dari got-got kumuh, tempat bersarangnya amarah dan putus asa

Manusia bagai kertas-kertas berhamburan
Digerakan oleh angin yang dikendalikan para pemodal
Lewat sihir globalisasi dan bujuk rayu iklan dajjal kapitalisme
Suara gaduh cekikikan para hantu memantul-mantul dari dinding mall, tempat para gundik belanja dengan uang Negara

Ibu…!
Dari rahim sejarahmu, lahir anak-anak Nusantara
Bayi-bayi ksatria dengan kepak dan paruh rajawali
yang pernah menjelajahi setiap samudera dan benua-benua
alam masih mengenang, Sanjaya dengan kebudayaan tanah, Purnawarman dengan kebudayaan air,
Dua wangsa yang mewariskan penyatuan kebudayaan tanah dan air,,,,tanah air.
Kemudian Sriwijaya, Singasari dan anak kebanggaanmu Majapahit, engkau timang-timang dengan penuh cinta

Ibu…!
Catatan di cakrawala menyimpan senyum ranummu
Bagaimana engkau memetik rembulan, ketika anak-anakmu memerlukan lentera
Dan ketika pagi datang, kau rengkuh matahari untuk membakar jiwa perjuangan anak-anakmu

Ibu…!
Hidupmu sekarang murung
Setelah orang-orang kalap itu mengusirmu,
Mengacak-acak rumah suci Nusantara
Tempat sembahyang para ksatria, ruang semedi para Brahmana dan hamparan tikar tafakkur para Pujangga

Ibu…!
Lihatlah ibu…!
Hampir seabad kami menyusu
Bukan dari puting suci sejarah kebudayaan kami

Ibu…!
Rambutmu kusut, matamu sayu
Diam termangu bersandar pada awan
Selaksa mimpi masa lalu menikam-nikam ulu hatimu

Ibu…!
Kau menyendiri mendekap sepi di tempat terasing
Untuk menjumpaimu, kami harus menyusuri jalan rahasia
Menerobos celah-celah waktu dan menyingkap lipatan-lipatan ruang

Ibu…!
Lihatlah ibu…!
Keremangan jalan sejarah anak-anakmu
Rusaknya tatanan pergaulan kemanusiaan yang alamiah
Anak-anak bangsamu dimasukkan gelanggang pertikaian yang dibedaki gincu indah demokrasi dan hak asasi
Saling cakar dan berebut seperti binatang

Pulanglah ibu…!
Rumahmu sekarang dipetak-petak
Menjadi tempat penyembelihan para petani yang sekarat di sawah-sawah garapannya sendiri
Dapur bersahaja tempat kita dulu menyiapkan makan malam dengan lauk-pauk cinta, sekarang berbau amis, karena tungku di atas api berisi darah buruh-buruh pabrik yang dihisap cukong-cukong.
Daging anak cucumu menjadi santap malam kanibalisme politik

Oooohhh…….perjalanan kebangsaan yang tidak jelas “sangkan parannya”
Rutenya hanya berdasarkan panduan selera para germo yang diangkat menjadi imam

Ibu…!
Kami dilanda rindu yang memburu…
Kapankah taman-taman dan serambi rumah kita ditaburi semerbak bunga-bunga dari konde-mu…
Dengan puisi ini aku memanggilmu…!!!

Agus Sukoco
Sokawera, 13 Nov 2014

Previous ArticleNext Article