Rasa syukur kita haturkan kehadirat Allah SWT, karena pada bulan Agustus yang penuh gegap gempita ini, perjalanan bangsa kita telah sampai pada tahun ke-69 setelah peristiwa Proklamasi kemerdekaan. Di bulan ini kita cukup terhibur, karena di tengah peliknya persoalan bangsa, mulai dari sengketa Pilpres, pembatasan BBM bersubsidi dan lain sebagainya kita masih bisa bersuka cita dengan balap karung, makan kerupuk dan penekan pucang sebagai perhelatan wajib Agustusan.
Di kesempatan cuka cita peringatan kemerdekaan ini, ada baiknya kita menggali lebih dalam tentang makna kemerdekaan dan makna kita hidup berbangsa. Bahwa bangsa kita yang merupakan ibu pertiwi kita saat ini, bukanlah bangsa yang baru mempunyai peradaban sejak proklamasi 69 tahun yang lalu. Akan tetapi bangsa kita adalah bangsa besar yang mempunyai peradaban besar sejak berabad-abad lampau sebelum proklamasi kemerdekaan dibacakan. Sriwijaya, Majapahit, Mataram dengan segala kebesaran peninggalannya adalah saksi bisu yang tidak terbantahkan tentang begitu tua dan luhurnya bangsa kita ini.
Keluhuran bangsa kita tidak bisa kita pahami, kalau kita masih merasa bangsa kita begitu muda, baru 69 tahun saja usianya. Sama seperti tidak pahamnya kita, kualitas manusia masa lalu itu seperti apa, sehingga bisa mewariskan lomba balap karung, lomba panjat pinang dan aneka lomba legendaris untuk memeriahkan perhelatan Agustusan dan kita tidak pernah bosan memainkannya. Lebih jauh lagi kita juga tidak punya jawaban atas pertanyaan di benak kita, sebetulnya leluhur macam apa yang mewarisi kita kesenian kuda lumping dan wayang, yang sekarang sekalipun ditinggalkan oleh anak-anak negeri sendiri tetapi warisan leluhur itu kini disubya-subya oleh warga mancanegara.
Kita mengenal ucapan Jawa “Kebo nyusu gudel”. Produk kebudayaan luhur seperti kuda lumping dan wayang, juga ide untuk membuat lomba panjat pinang pastilah produk leluhur yang mempunyai watak kedewasaan orang tua. Kebudayaan itu pasti dihasilkan oleh leluhur di masa lalu yang memiliki kualitas “kebo” yang dewasa, bukan kualitas “gudel” kekanak-kanakkan. Budaya leluhur yang begitu agung, berkualitas tinggi dan tidak mudah ditiru oleh bangsa manapun didunia itu ibaratnya adalah tanaman unggul yang dihasilkan dari sawah peninggalan leluhur, yang sawah itu begitu subur karena dibajak oleh kebo-kebo yang mumpuni.
Kita harus mengakui keunggulan leluhur kita atas produk kebudayaan yang demikian tinggi itu dengan kesadaran penuh bahwa generasi kita sekarang tidak bisa membuat produk kebudayaan sehebat yang mereka buat itu. Jangankan kita membuat produk kebudayaan yang seunggul wayang kulit atau kuda lumping, bahkan kita membuat perlombaan Agustusan yang sama legendarisnya dengan panjat pinang saja kita belum tentu bisa.
Misalnya saja lomba Agustusan kita ganti, tidak dengan panjat pinang dan balap karung, tapi diganti dengan kompetisi game online. Sudah terbayangkan betapa tidak meriahnya perlombaan game online itu bukan? Jadi sebetulnya siapa yang hebat dan canggih, apakah leluhur yang bisa menghasilkan produk kebudayaan yang berkualitas tinggi seperti contoh-contoh di atas, atau kita yang bisanya hanya meneruskan, tidak bisa membuat produk yang sama hebatnya dengan mereka. Bahkan sekedar meneruskan saja kita belum tentu bagus. Buktinya dari tahun ke tahun, kenikmatan kultural atas perhelatan kebudayaan semakin menurun. Dari tahun ke tahun, generasi kita semakin disibukkan dengan kegiatan mencari uang dan menambah perabot isi rumah kita sendiri.
Dengan kenyataan ini, yang pertama harus kita lakukan adalah kita harus berrendah diri mengakui bahwa kita belumlah memiliki kualitas kebo sebagaimana para leluhur. Generasi kita saat ini barulah memiliki kualitas gudel. Gudel yang merupakan kebo yang masih anak-anak, gudel yang masih harus banyak belajar, gudel yang masih harus mengakui kebelumdewasaannya, masih belum akil baligh¸ sehingga belum bisa menghasilkan produk apapun, termasuk produk-produk kebudayaan yang mempunyai nilai kemanfaatan sosial dan kenikmatan kultural.
Ini kondisi yang terbalik saat ini, kita yang sebetulnya gudel justru merasa lebih dewasa dari para leluhur kita yang sebetulnya mereka adalah kebo. Karenanya yang kita saksikan, anak muda merasa gemagah, merasa dirinya lebih modern, lebih canggih, lebih hebat, dibanding orang tua, dibanding leluhurnya.
Padahal betulkah generasi masa kini lebih hebat dibanding dengan generasi leluhurnya. Secara sederhana saja sudah bisa dipatahkan kesombongan itu. Silahkan diadu, mana yang lebih meriah, lomba panjat pinang atau lomba game online? Mana yang lebih perkasa kalau diadakan lomba marathon, generasi masa kini yang jarang olah raga dan kebanyakan mie instan, atau generasi tua yang rajin mencangkul di sawah? Generasi mana yang lebih mudah meriang, generasi mana yang lebih bingungan?
Setelah menyadari bahwa kita barulah gudel yang tidak seharusnya menyombongkan diri dihadapan para leluhur. Maka berikunya yang kita lakukan adalah, kita harus mau berrendah hati belajar pada leluhur. Belajar bagaimana leluhur mempunyai produk kebudayaan yang mampu bertahan lama, lintas dasawarsa bahkan lintas abad. Belajar dari bagaimana leluhur menjaga sistem kehidupan dengan tidak bergantung kepada pihak luar. Mereka membangun lumbung padi sendiri, menumbuk kopi sendiri, menyuling minyak klenthik sendiri. Betapa mandiri kehidupan leluhur yang semacam itu yang kini sudah jarang kita jumpai, sementara kini kita bergantung pada supermarket dan minimarket untuk memenuhi kebutuhan kita. Karena kebergantungan itulah kita jadi terlalu sibuk mencari uang, bukannya sibuk menikmati hidup dengan cara kita sendiri.
Ada begitu banyak hal yang harus kita pelajari dan ilmui dari para leluhur, kalau kita tidak mau jadi semakin gamoh dan kopong. Tapi pertanyaannya bagaimana kita belajar kepada mereka? Sedangkan di sekolah-sekolah tidak diajarkan tentang ilmu-ilmu para leluhur. Kalau mau mencari buku-bukupun sangat terbatas jumlahnya. Jangankan buku-buku peninggalan leluhur, bahkan makam para leluhurpun entah dimana berada kita menanggapnya tidak penting.
Maka yang bisa kita lakukan saat ini hanyalah meyakini dengan sepenuh hati bahwa sangat tidak etis dan tidak tepat kita merasa gemagah merasa lebih hebat dari leluhur. Sembari itu, kita mengagumi para leluhur dan mendoakan mereka yang telah mendahului kita itu. Dengan memberikan penghormatan pada mereka, mengakui keunggulan mereka dan mengirim doa untuk mereka, mudah-mudahan Allah berkenan mencurahkan hidayah-Nya kepada kita. Sehingga, segala kebodohan hidup dan kesempitan berpikir kita lekas ditolong oleh Allah.
Mereka yang telah mendahului kita, terutama yang telah mengorbankan jiwa raganya untuk kemaslahatan generasi sesudahnya, janganlah dianggap mereka sudah mati dan tidak berguna. Ilmu mereka masih kita butuhkan, kasih sayang kepada mereka tidak boleh kita putus dan hentikan.
Sebagai penutup, berikut firman Allah SWT untuk kita resapi bersama : “Dan jangan sekali-kali Engkau menyangka orang-orang Yang terbunuh (yang gugur Syahid) pada jalan Allah itu mati, (Mereka tidak mati) bahkan mereka adalah hidup (secara istimewa) di sisi Tuhan mereka dengan mendapat rezeki – QS Ali Imron : 169
[] RizkyDwiR/RedJS