Mendadak masyarakat dibuat terkejut, di SPBU tidak tersedia pasokan premium. Kejadian di penghujung bulan perayaan kemerdekaan ini terjadi merata di banyak daerah di negeri ini. Seperti sebuah modus operandi terorisme, masyarakat seolah sengaja dibuat panik dengan kelangkaan premium yang telah menjadi kebutuhan dasar sehari-hari mereka. Antrian panjang berjubel, berita heboh mengabarkan, sosial mediapun tak kalah gempar oleh keluhan dan umpatan.
Kelangkaan memang memicu kepanikan. Ketika Perusahaan Listrik Negara mengalami kelangkaan pasokan listrik, ia melakukan pemadaman bergilir sehingga kehebohan cukup teredam, tetapi kali ini ketika Perusahaan Tambang Minyak Nasional yang mengalami kelangkaan, bukannya membuat operasi senyap, justru malah menyulut situasi yang menghebohkan. Dan goalnyapun berhasil, saat ini seluruh rakyat jadi tahu, kalau bahan bakar subsidi langka adanya.
Inilah contoh soal problematika sosial yang sedang terjadi di negeri kita saat ini. Kali ini kita tidak sedang mendiskusikan solusi, kita hanya ingin meraba makna kata-kata saja. Kalau diperhatikan, kata ‘subsidi’ dalam frasa bahan bakar subsidi apakah merupakan kenyataan faktual ataukah hanya pengistilahan saja? Bermakna denotasi atau konotasi?
Mari kita telisik bersama. Kalau memang rakyat tidak punya uang, sedangkan pemerintah punya uang dan prihatin melihat rakyat yang kesulitan membeli bahan bakar. Kemudian pemerintah menyisihkan sebagian uangnya untuk membantu rakyat membelikan bahan bakar sehingga rakyat bisa membelinya dibawah harga aslinya, maka kata ‘subsidi’ merupakan sebuah denotasi.
Akan tetapi kalau rakyat yang punya uang, kemudian rakyat menitipkan uangnya untuk dikelola kepada sekelompok tim yang bernama pemerintah, kemudian tim yang ditugasi mengelola itu membelanjakan uang rakyat untuk membeli bahan bakar sehingga rakyat tinggal menambahi sebagian kekurangannya, maka istilah ‘bahan bakar subsidi’ merupakan kalimat bermakna konotasi. Pertanyaannya, kenapa pemerintah tidak menggunakan kalimat denotasi saja, malah membuat kalimat konotasi. Mungkin, mereka melakukan konotasifikasi seperti itu berharap agar rakyat merasa berhutang jasa kepada mereka.
Banyak contoh lain mengenai kejadian konotasifikasi, misalnya sering kita jumpai di badan kereta api atau di tiket bus tertulis “Penumpang ‘dilindungi’ oleh asuransi”. Begitu juga tawaran ‘perlindungan’ yang sering disampaikan oleh banyak promosi asuransi. Kata dilindungi dan perlindungan di atas apakah bermakna denotasi atau konotasi? Yang dilakukan perusahaan asuransi ketika terjadi kecelakaan adalah pemberian dana santunan. Dana santunan diberikan sebagai kompensasi karena orang yang bersangkutan sudah menyetorkan sejumlah biaya premi dan menyepakati akad premi-kompensasi di dalam polis. Jadi sebetulnya kata dilindungi atau perlindungan hanyalah pengistilahan yang merupakan konotasifikasi dari kata kompensasi. Karena mekanisme yang terjadi secara definitif adalah peristiwa pemberian kompensasi.
Kalau kita mau jeli, ada banyak sekali istilah-istilah dalam kehidupan sehari-hari yang bermakna konotasi. Kata ‘anugerah’ dalam kegiatan anugerah penghargaan apakah benar-benar anugerah? Kata ‘perwakilan’ dalam Dewan Perwakilan Rakyat apakah benar-benar mekanisme mewakilkan dan mewakili? Lalu begitu banyak kalimat slogan dan jargon juga tidak mengandung makna definitif denotatif didalamnya.
Kata dibutuhkan adalah sebagai jembatan penyampai pesan dan makna di dimensi sosial manusia. Kalau keterikatan kata sudah terurai dari makna-makna yang harus dia bawa, apa itu tidak berpengaruh pada tumbuh kembang kualitas kehidupan sosial kita? Kerancuan terjadi dalam banyak hal, slogan melayani masyarakat kadang berubah menjadi menggagahi masyarakat. Pengertian khusyuk keliru dengan pengertian konsentrasi. Sikap toleransi rancu dengan budaya permisifisme. Jargonnya pelayanan publik tapi yang terjadi adalah predator publik.
Begitulah degradasi pertumbuhan kehidupan kita dalam bermasyarakat. Kata yang seharusnya menjadi alat komunikasi pengantar makna, pengantar ilmu dan pengantar hidayah, menjadi berbahaya karena saat ini hanya diperalat untuk kepentingan promosi, persuasi dan alat jualan segala rupa komoditas belaka. Baik komoditas barang maupun jasa. Baik barang dan jasa yang layak untuk diperdagangkan ataupun bukan. Mari kita coba teliti lagi, barangkali masih ada kata-kata yang mengandung makna baik denotasi maupun konotasi yang digaungkan kepada publik tidak untuk keperluan kalkulatif transaksional.[] RizkyDwiR